Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 25 Oktober 2021

Mengapa UU Cipta Kerja Belum Mendongkrak Investasi

Setelah setahun berlaku, apakah UU Cipta Kerja sudah mendongkrak investasi? Masalah krusial dalam inovasi sektor publik.

Sudahkah UU Cipta Kerja mendongkrak investasi (Ilustrasi: Mohammed Hassan/Pixabay)

TANGGAL 2 November 2021 tepat setahun Undang-Udang (UU) Cipta Kerja berlaku. Dalam setahun terakhir, aturan-aturan turunannya—peraturan pemerintah hingga peraturan menteri—juga telah berlaku. Bagaimana hasilnya?

Mungkin terlalu dini melihat apakah omnibus law ini sesuai dengan cita-cita para pembuatnya, yakni menyelesaikan pelbagai problem investasi untuk mendongkrak ekonomi. Pengumuman Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), hingga semester I realisasi investasi 49,5% dari target Rp 900 triliun atau tumbuh 10% dibanding tahun lalu. Investasi asing dan lokal terfokus pada industri logam dasar, transportasi, gudang, perkantoran, telekomunikasi.

Dalam rapat kerja Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) bulan ini, ada perbincangan cukup hangat tentang mengapa berbagai kemudahan berusaha yang dibuka oleh UU Cipta Kerja—termasuk multiusaha kehutanan—tidak segera dimanfaatkan oleh para pemilik modal. Berbagai pemangkasan prosedur izin seolah tak cukup meyakinkan mereka segera berinvestasi di sektor kehutanan.

Beberapa perusahaan memang telah mengubah perencanaannya dengan mengarahkan bisnis mereka ke multiusaha, tapi jumlahnya sangat sedikit. Presiden Joko Widodo, sebagai inisiator UU Cipta Kerja, rupanya melihat juga situasi ini. Perusahaan-perusahaan negara juga tak kunjung sigap memanfaatkan kemudahan bisnis dan peluang berusaha yang diakomodasi beleid ini.

Dari keadaan itu kita bisa belajar bahwa implementasi kebijakan amat tergantung pada lembaga pemerintah dari pusat hingga daerah untuk menerjemahkannya ke dalam eksekusi bisnis di lapangan. Dalam berbagai usaha berbasis sumber daya alam, UU Cipta Kerja dan aturan turunannya tak serta-merta memberi kepastian berusaha yang sesungguhnya.

Tidak seperti inovasi kewirausahaan di sektor swasta, pada sektor publik—misalnya dalam pelayanan perizinan—tampaknya masih menghadapi berbagai kendala. Dalam “Innovation in the Public Sector” yang diterbitkan Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa pada 2017, Dennis Patrick Leyden menyebutnya kurang syarat. Sama seperti di swasta, kebijakan publik dalam ekonomi mesti ditopang juga perilaku kewirausahaan para pelaksananya.

Leyden, dosen Universitas North Carolina Amerika Serikat, menjelaskan beberapa hal kesamaan dan perbedaan inovasi di sektor publik dan swasta. Mesti tak terlalu bisa dibandingkan, penjelasan ini bisa menjadi acuan para birokrat mengeksekusi kebijakan:

Pertama, keberhasilan inovasi di sektor swasta ditentukan oleh pasar. Melalui pasar yang kompetitif, pengusaha belajar menerima umpan balik tentang nilai dari masyarakat melalui keuntungan. Maka penting ada sistem hak milik yang terdefinisi dengan baik dan akses untuk mendapatkan modal.

Untuk pengusaha di negara maju, kebutuhan pada sistem pasar yang kompetitif, hak penguasaan atas sumber daya yang jelas, dan akses ke modal, biasanya mudah. Sebaliknya, di negara seperti Indonesia, tiga penopang bisnis itu masih jadi problem besar.

Kedua, karakter kewirausahaan sektor publik sama dengan sektor swasta. Bedanya lingkungan kelembagaan. Jika implikasi inovasi di sektor swasta adalah nilai perusahaan atau keuntungan yang naik, di sektor publik adalah penghargaan atau karier untuk individu. Jika terdengar egois, di sektor publik penghargaan berupa warisan kebaikan untuk banyak orang, yang memang tak bisa dinilai dengan moneter.

Ketiga, akses ke sumber daya dan kemampuan bertindak. Di sektor publik biasanya ada kendala konstitusional dan hukum atau politik yang mengurangi mereka mendapatkan akses ke sumber daya tersebut. Pendanaan tak penuh, pembatasan tindakan, pengawasan ketat, yang berakibat pada lambatnya proses kewirausahaan. Karena itu, inovasi sektor publik sangat ditentukan oleh dukungan pimpinan tertinggi. 

Keempat, teknologi. Inovasi sektor swasta juga tergantung pada inovasi pelayanan di sektor publik. Teknologi informasi bisa memangkas jalur birokrasi perizinan sekaligus menjadi medium birokrat mendapatkan umpan balik secara cepat yang bisa menjadi modal perbaikan sistem.

Kelima, untuk melahirkan dan menjalankan inovasi, sektor swasta biasanya mengembangkan jaringan sosial. Kunci jaringan sosial yang kuat adalah ikatan kuat (leadership) dan ikatan lemah yang mampu menjaring pengetahuan dan perspektif yang beragam. Dengan dua ikatan ini, sektor swasta mendapatkan sumber pengetahuan sebagai basis dan strategi menjalankan inovasi. 

Keenam, pengusaha sektor swasta rela mengambil risiko ketidakpastian dan kemungkinan gagal dari inovasi yang mereka ciptakan. Di sektor publik, coba dan gagal, masuk kategori tak bertanggung jawab dan akan masuk temuan auditor. Di sektor publik, pelayanan menjadi standar, sehingga para birokrat umumnya menghindari risiko dan tidak menerima kegagalan. Akibatnya, inovasi tak punya referensi.

Ketujuh, niat baik berinovasi di sektor publik akan sia-sia tanpa dukungan hukum dan administrasi. Dukungan ini kemungkinan besar berhasil jika menjadi bagian dari perubahan secara sistemik. Peran pemimpin tertinggi amat penting dalam poin ini.

Dari tujuh poin di atas bisa kita lihat benang merah mengapa setelah setahun UU Cipta Kerja, inovasi sektor publik masih stagnan. Di luar pandemi Covid-19 yang membatasi interaksi, membuat undang-undang tidak cukup hanya kebijakan tanpa pembenahan kinerja lembaga yang melaksanakannya.

Dukungan paling efektif membuat UU Cipta Kerja sesuai cita-cita pembuatannya yang riuh-rendah, adalah perubahan budaya pelayanan publik para birokrat kita. Perubahan ini tentu tidak mudah tapi ia perbaikan yang sistemik dan jangka panjang.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain