Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 24 Oktober 2021

Antropomorfisme dalam Konservasi

Dalam konservasi perlu ada bahasa yang sama. Antropomorfisme bisa menjadi pintu masuknya.

Antropomorfisme sebagai pintu masuk dalam konservasi. Beruang dikomunikasikan sebagai boneka yang dekat dengan kehidupan anak-anak sehingga mereka punya paradigma mencintai satwa (Gambar: Gordon Jonhson/Pixabay)

KONSERVASI adalah tanggung jawab bersama. Kalimat mudah ini amat sulit dalam implementasinya. Sebab ada kata “tanggung jawab” di sana, juga ada kata “bersama”. Tanggung jawab bersama menuntut upaya yang besar untuk menggerakkan tindakan. Sementara tindakan tidak akan terjadi tanpa kesadaran.

Maka agar konservasi menjadi tanggung jawab bersama, pertama-tama ia harus kita kenal. Atau kita yang terlibat dalam konservasi mengenalkan “mahluk” ini ke tataran publik agar menjadi perhatian publik. Dengan kenal dan tahu peran konservasi yang menyentuh kepentingan tiap orang, gerakan bersama akan terbentuk. Sekali lagi, ini tidak mudah.

Dalam dunia konservasi ada yang dikenal dengan istilah antropomorfisme. Apa itu? 

Secara sederhana antropomorfisme (dari anthropomorphism) adalah kecenderungan manusia melekatkan karakteristiknya, motif, dan perilakunya kepada entitas lain, khususnya satwa. Karakter satwa liar yang diantropomorfisasi tersebar luas dalam kehidupan dan ingatan kolektif manusia—dalam cerita dan mitos, materi presentasi, iklan, analogi, dan penggambaran normatif budaya. 

Manusia coba mengkomunikasikan cara satwa berpikir dan berperilaku seperti manusia agar kita memahami cara satwa berpikir dengan bahasa yang kita mengerti, dengan harapan kita tergerak menghargainya. Monica Gaglliano atau Suzanna Simard, misalnya, meneliti bagaimana tumbuhan berkomunikasi. Masyarakat adat yang tinggal dipedalaman cenderung paham komunikasi-komunikasi tak tersurat satwa dan gejala alam.

Banyak penelitian semakin menunjukkan pentingnya merekatkan emosi manusia dalam pekerjaan konservasi satwa liar sehingga konservasi menjadi tepat guna dan tepat sasaran. Dalam artikel berjudul “Anthropomorphism as Conservation Tools” ada rumusan bahwa pendekatan antropomorfisme memiliki potensi mendukung kemajuan konservasi. Empati dan evokasi konservasi akan menjadi pintu masuk gerakan bersama melindungi satwa dan mahluk lain di bumi ini.

Penggambaran karakter manusia melalui satwa liar sering muncul melalui cerita-cerita rakyat, baik yang tersebar secara informal turun-temurun, maupun yang dibuat secara sengaja lewat film, buku cerita, maupun berbagai media lain. Berbagai satwa karismatik seperti harimau, panda, lumba-lumba sering menjadi bentuk populer antropomorfisasi.

Tujuannya tentu untuk menarik perhatian publik dan sumber pendanaan untuk konservasi. Sebab, meski kini konservasi bisa menghasilkan secara ekonomi akibat trade-off krisis iklim, perlindungan lingkungan memerlukan biaya. Karakter antropomorfis menjadi satu cara untuk mengeksplorasi emosi manusia dan pelajaran moral untuk melahirkan tanggung jawab bersama.

Penelitian di Jawa Barat ini memberikan contoh kasus bahwa jika digunakan dengan tepat dan sesuai dengan representasi ekologis yang akurat dari suatu spesies, antropomorfisme sederhana melalui cerita bisa membantu meningkatkan empati dan pengetahuan dalam program pendidikan anak-anak.  

Pada kasus tersebut, satwa liar yang menjadi target adalah kukang (Nycticebus javanicus), yang relatif tidak sepopuler satwa karismatik lainnya. Pada kasus di Kanada, film dokumenter “Bear 71” , sebagai contoh, menjadi salah satu bentuk inovatif pendekatan antropomorfisme yang sarat dengan penggunaan data ilmiah pengelolaan satwa liar di Taman Nasional Banff. Pemerintah Kanada membangkitkan emosi warga negaranya dalam membangun hubungan dengan beruang.

Di sisi lain, artikel dalam jurnal Biodiversity and Conservation ini menekankan bahwa antropomorfisme juga bisa menjadi pedang bermata ganda. Antropomorfisasi bisa menjadi ancaman bagi konservasi jika tidak diaplikasikan sesuai dengan representasi ekologis satwa yang menjadi sasaran.

Salah satu film yang sering dikritik para konservasionis adalah film kartun “Bambi” yang produksi Disney pada 1942. Film ini dianggap menyajikan pandangan yang sama sekali tidak realistis tentang ekologi hutan dan interaksi di antara satwa liar.

Contoh lain di Jepang. Rakun (Procyon lotor), hewan bukan endemik Jepang, sekarang menjadi sumber konflik manusia-satwa di pemukiman maupun lahan pertanian. Ini merupakan dampak yang tidak dimaksudkan dari kesuksesan kartun animasi berjudul “Rascal Raccoon”, yang mendorong impor ratusan rakun ke Jepang selama akhir 1970 hingga awal 1980.

Agar tetap tepat sasaran, bahasa antropomorfik untuk mendorong konservasi memang harus tetap sejalan dengan perilaku alami spesies di habitatnya. Antropomorfisasi mesti tetap memperhatikan kesamaan spesifik antara manusia dan hewan.

Dalam bahasa antropomorfisasi, setidaknya ada tiga aspek kesamaan yang bisa dieksplorasi dalam menggambarkan hubungan manusia dan hewan: kecerdasan, kepekaan terhadap rasa sakit dan ketidaknyamanan, serta perilaku sosial.

Para ilmuwan pendukung antropomorfisme berargumen bahwa jika kita menggambarkan hewan yang terancam mirip dengan manusia, komunikasi itu akan menumbuhkan koneksi dengan mereka. Publik akan lebih mungkin menganggap mereka penting dan karena itu lebih bersedia melindungi mereka dan ekosistemnya. Bahkan kita akan rela berkorban untuk menjaga mereka. Misalnya, dengan berdonasi.

Pembentukan koneksi emosi dan empati, sembari mempelajari informasi ekologi yang akurat tentang spesies tertentu menjadi kunci berbagai bentuk pendekatan antropomorfisme untuk konservasi. Nilai lokal dan paradigma masyarakat, bahasa, dan cara komunikasi setempat tentu menjadi pertimbangan utama.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain