Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 27 September 2021

Regulasi Cerdas Sektor Kehutanan

Implementasi kebijakan sektor kehutanan yang berhasil tak hanya sempurna di atas kertas. Perlu "regulasi cerdas"

Strategi implementasi kebijakan (Ilustrasi: Hermann S. Richter/Pixabay)

PENDEKATAN “perintah dan awasi” masih menjadi paradigma dominan dalam pembuatan maupun implementasi kebijakan publik di Indonesia. Untuk mencapai tujuan seolah bisa dengan memerintah lalu menghukum mereka yang tidak menjalankan perintah tersebut.

Sudah banyak kritik terhadap pendekatan ini karena kebijakan menjadi tak efisien, mahal, melanggengkan ketidakadilan, menghambat inovasi, menghambat penegakan aturan akibat tata kelola yang buruk, bahkan kebijakan jadi sulit direvisi ketika muncul informasi baru. Penelitian saya pada 2016-2017 menemukan bahwa pendekatan itu bahkan menjadi penyebab moral hazard.

Para responden penelitian mengaku bahwa, sebagai pelaksana kebijakan, mereka harus bersandiwara untuk menjalankan kegiatan sesuai peraturan. Padahal, jika benar-benar mengacu pada aturan, kegiatan itu tak sesuai tujuan, gagal mencapai target, akibat aturan tata sesuai kondisi lapangan.

Masalahnya, karena sudah berjalan puluhan tahun, para pengawas pun seperti “memaklumi” bahkan kadang-kadang ikut bermain dalam sandiwara itu. Mereka cukup puas dengan hanya melihat dokumen penilaian, tak antusias bila diajak melihat bukti lapangan. Para pengawas tentu saja jadi tak mendapatkan pembelajaran dari kegiatan yang gagal, dan cenderung menilai berhasil untuk semua kegiatan.

Pendekatan “perintah dan awasi” pun menjadi sulit diubah. Pembuat kebijakan senang dengan cara ini karena mendapat kelancaran dalam mempertanggungjawabkan kegiatan secara administratif, yaitu membelanjakan anggaran.

Aturan juga menyediakan sejumlah pedoman, meski acap kali juga tak sesuai keadaan lapangan. Apalagi, atau mungkin ini penyebab utamanya, ada konflik kepentingan dalam hubungan-hubungan itu: pembuat kebijakan sekaligus sebagai pelaksananya.

Dalam jurnal Forest Policy and Economics (2012), Peter Van Gossum dkk menyampaikan pandangan cara mengatasi kejumudan pendekatan “perintah dan awasi”. Dalam artikel “Smart regulation: Can policy instrument design solve forest policy aims of expansion and sustainability in Flanders and the Netherlands?”, mereka menyarankan perlunya “regulasi cerdas” untuk bidang kehutanan.

“Regulasi cerdas” mengacu pada respons masyarakat terhadap sistem kerja yang terbentuk oleh kebijakan. Asumsi para peneliti adalah perilaku masyarakat akan berubah bila menghadapi pengaturan-pengaturan mengenai harga, instrumen hak milik, kesepakatan sukarela, dan insentif motivasi maupun informasi. Dengan tetap menerapkan pendekatan “perintah dan awasi” pada obyek yang sesuai secara terbatas, “regulasi cerdas” memiliki sejumlah keunggulan, seperti fleksibilitas regulasi dan efektivitas biaya.

Gosum dkk mengingatkan bahwa regulasi cerdas perlu memperhatikan konsistensi respons dari masyarakat. Sebab publik yang menjadi sasaran kebijakan juga terikat pada banyak regulasi lain dalam keseharian mereka. Regulasi cerdas tak memakai intervensi.

Para pelaksana kebijakan juga perlu melihat efek buruk dari kebijakan lain sehingga mungkin ada semacam campuran kebijakan yang menggabungkan beberapa instrumen dan punya rencana lain ketika pendekatan “perintah dan awasi” gagal. Pendeknya, “regulasi cerdas” memakai pendekatan responsif untuk mencapai tujuan, serta pendekatan manfaat. 

Di Indonesia, kegiatan reforestasi terimbas kebijakan pertanian, konflik lahan, dan perencanaan tata ruang. Akibatnya, lahan reforestasi berujung pada konversi. Tentu saja hasil akhir ini harus kita hindari karena melenceng dari tujuan reforestasi.

Misalnya dengan menerapkan kombinasi kebijakan dan anggaran. Kebijakan reforestasi digabungkan dengan pembatasan deforestasi, menyediakan hibah hasil tanaman, menyediakan kompensasi penurunan nilai tanah, menerapkan hutan bagi perdesaan, pembangunan yang dapat dialihkan haknya, pengembangan kapasitas maupun informasi.

Instrumen motivasi dan informasi bisa melalui penyebarluasan hak pengelolaan yang lebih pasti, teknis dan keuangan agar masyarakat tahu sejak mula. Kampanye ini juga untuk mendorong petani meyakinkan petani lain agar ikut serta dalam sebuah kegiatan yang bermanfaat bagi lingkungan.

Sementara solusi manfaat dalam rehabilitasi hutan dan penghijauan oleh petani adalah meyakinkan bahwa kegiatan itu memberikan manfaat lebih besar ketimbang jika mereka tak melakukannya. Dengan manfaat itu—misalnya mendorong peluang agroforestri—masyarakat akan bertahan dalam program penghijauan.

Banyak pembuat kebijakan masih menganggap “regulasi cerdas” bukan alternatif, kendati mereka mengakui regulasi yang ada acap tak sesuai keinginan atau latar belakang pembuatannya. Ambivalensi ini mempertegas asumsi bahwa inovasi kebijakan selalu menghadapi problem kekuasaan, kemampuan dan kapasitas pelaksana, dan minimnya kesediaan bekerja sama dengan aktor lain. 

Dalam “How to Be a Smart Contrarian” di Harvard Bussine Review edisi September 2021, Chengwei Liu menyebut ada empat jebakan yang biasanya menghinggapi inovator petahana.

Pertama, mereka terjebak logika dominan yang menjadi dasar keputusan dan kehilangan peluang inovasi yang bisa menentang logika dominan. Kedua, petahana yang sukses—yang sebenarnya menciptakan status quo—berisiko terlalu percaya diri pada wawasan dan jaringan mereka sendiri, sehingga kehilangan ide-ide cerdas yang baru.

Ketiga, terlalu sering mengandalkan orang kepercayaan, sehingga mengabaikan kreativitas dari aktor lain di sekelilingnya. Keempat, terkunci dalam kebiasaan umum yang memberlakukan hukuman sosial pada mereka yang menyimpang dari praktik standar.

Untuk menghindari jebakan inovasi dan menghadirkan regulasi cerdas, kita perlu menjadi “pelawan yang cerdas”. Pelawan yang cerdas biasanya tidak bergantung pada sekelompok kecil orang dan bisa merangkul keragaman gagasan. Apakah kondisi ideal dalam implementasi kebijakan sektor kehutanan ini bisa tercapai? Tak ada yang tak mungkin dalam kebudayaan manusia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain