Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 24 September 2021

Krisis Iklim dan Aturan Mengancam Petani

Tak hanya ancaman krisis iklim, ancaman petani Indonesia adalah undang-undang yang menjadikan impor pangan sebagai strategi ketahanan pangan

Petani Desa Bukit Berantai tetap bekerja di masa pandemi covid-19 (Foto: Rifqi Fauzan/FD)

INDONESIA memperingati Hari Tani tiap 24 September 2021. Ini hari pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5/1960. Bagaimana nasib petani setelah 61 tahun?

Menurut Badan Pusat Statistik, penguasaan lahan pertanian tiap rumah tangga menurun hampir separuhnya selama kurun tersebut. Pada 1963, tiap rumah tangga rata-rata menguasai 1,1 hektare. Dalam sensus pertanian 2018, dari 27.682.117 kepala rumah tangga, 61% memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare.

Pertambahan jumlah penduduk membuat lahan pertanian tiap rumah tangga menyusut karena sistem waris. Urbanisasi membuat anak-anak muda makin jarang yang berminat meneruskan pekerjaan orang tua mengolah lahan pertanian.

Menurut survei Bank Dunia, petani Indonesia menyusut tinggal 28,5% pada 2019 dibanding tiga  dekade sebelumnya sebanyak 55,5% dari total angkatan kerja. Sementara di sektor lain yang lebih dekat ke urbanisasi, seperti industri, naik dari 15,2% pada 1991 menjadi 22,36% pada 2019. Di sektor jasa kenaikannya lebih pesat lagi, dari 29,3% menjadi 49,1%.

Karena itu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dalam sebuah webinar pada Maret 2021, memprediksi dalam 42 tahun ke depan Indonesia tak akan memiliki lagi petani seperti yang kita kenal sekarang. Sektor pertanian dan pengolahan lahan akan berubah: menghilang seluruhnya atau berganti model bisnis.

Ancaman jumlah penduduk dan industrialisasi serta urbanisasi, setali tiga uang dengan ancaman lain yang lebih besar, yakni krisis iklim. Bencana ekologis berupa kekeringan, suhu ekstrem, musim yang menyeleweng membuat sektor pertanian menghadapi ancaman paling serius.

Anak muda akan makin tak meminati bekerja di sektor ini karena ancaman kegagalan mengusahakan lahan tanaman pangan. “Hama juga akan naik seiring perubahan iklim,” kata Indonesia Team Leader 350.org, sebuah LSM, Sisilia Nurmala Dewi, pada 24 September 2021.

Sisilia mengutip Bappenas yang menyebutkan selama abad 20, suhu Indonesia rata-rata udara permukaan tanah naik 0,50 Celsius. Bappenas memprediksi suhu naik 0,8-1C hingga 2050.

Kenaikan suhu udara ini akan mengubah iklim yang menciptakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, longsor, berkurangnya produksi pertanian, dan terbatasnya area penangkapan ikan untuk nelayan. “Itu semua akan berdampak pada kehidupan kaum tani dan pada gilirannya ketahanan pangan kita,” ujar Sisil.

Proyeksi Bappenas agaknya akan datang lebih cepat jika kita membaca laporan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) di bawah PBB yang menyebutkan puncak krisis iklim akan datang 20 tahun lebih cepat.

Untuk mencegahnya, tiada lain adalah dengan menggairahkan kembali sektor pertanian dengan memuliakan petani kita. Masalahnya, ancaman itu langsung dari pokoknya, yakni Undang-Undang Cipta Kerja.

Omnibus law ini mengubah UU Pangan dari mengutamakan komoditas dalam negeri menjadi berorientasi pada impor. Komoditas pangan dalam negeri yang menjadi bagian dari ketahanan pangan nasional akan bertarung di pasar bebas bersama impor pangan yang kian dipermudah karena menjadi bagian dari strategi ketahanan pangan Indonesia.

Keadaan ini akan makin menyulitkan petani di tengah gempuran krisis iklim, kesulitan akses terhadap pasar, masih tradisionalnya cara mengolah lahan dan komoditas. Mengelola lahan di bawah 0,5 hektare membuat petani Indonesia tergolong petani gurem.

Belum lagi jika kita melihat regenerasi petani. Dari 27,7 juta itu, kelompok usia petani paling banyak terkonsentrasi di usia 45-64 (51%). Kelompok usia petani hingga 34 tahun hanya 10%. Urbanisasi, krisis iklim, industrialisasi, adalah kombinasi maut yang menjadi lingkaran setan masa depan sektor pertanian dan petani Indonesia hari ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain