Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 12 Juli 2021

Lima Mitos Manajemen Hutan Lestari

Analisis terhadap kebijakan memberikan hak pengusahaan hutan melalui konsesi kepada perusahaan. Setelah lima dasawarsa, berhasilkah konsep dan strategi manajemen hutan lestari?

Tumpukan kayu jati di wilayah KPH Yogyakarta, Gunung Kidul (Foto: Dok. FD)

LIMA dasawarsa sudah kita menjalankan pengelolaan hutan produksi, yang dimulai dari pengusahaan hutan alam. Apa yang bisa kita pelajari dari perjalanan panjang ini?

Para pembuat dan pelaku kebijakan kehutanan masih duduk pada “lingkaran pertama” hutan, dalam arti masih membicarakan apa yang harus dilakukan berkaitan langsung dengan hutan. Misalnya, penanaman atau pengayaan tanaman, menyelesaikan hak-hak atas hutan untuk mewujudkan kepastian usaha kehutanan, menjalankan inventarisasi hutan agar keputusan berdasarkan fakta lapangan, menyelesaikan perambahan. Dan kini ada yang baru: multiusaha kehutanan.

Berbagai kebijakan itu jarang menyentuh “lingkaran kedua” hutan, yaitu berbagai kondisi atau faktor-faktor yang jadi penyebab langsung problem-problem tersebut. Tidak ada jawaban mengapa pengayaan tanaman di hak pengusahaan hutan (HPH) selalu tak sama di rotasi pertama dan kedua. Mengapa ada lebih dari 30 juta hektare konsesi HPH tidak lagi beroperasi.

Jawaban yang biasa kita dengar semacam menyodorkan asumsi bahwa semua itu terjadi akibat kita tak paham cara mengelola hutan secara lestari. Maka, solusinya berupa berbagai pedoman cara melaksanakan manajemen hutan lestari, sambil ragu-ragu membuka argumen yang lain.

Pada awal 1990-an, ketika saya meneliti untuk disertasi, seorang pemilik HPH mengatakan mereka punya pilihan mengalihkan investasi pada kegiatan yang lebih tinggi untungnya. Menurut dia, problem mengelola hutan bukan soal pengetahuan, tetapi lemahnya kepastian usaha dan tingginya biaya transaksi.

Pengakuan itu mendorong saya mengetahui lebih jauh apa bentuk-bentuk “lingkaran kedua” ini. Bagaimana pengaruh kenyataan itu terhadap pemahaman cara berpikir mengenai kelestarian hutan, ketika ada lingkaran ketiga, yaitu faktor sosial-politik sebagai penyebab adanya lingkaran kedua tadi.

H.J van Hensbergen (2018) dalam Rethinking forest concessions: Improving the allocation of state-owned forests for better economic, social and environmental outcomes menulis bahwa keamanan berusaha akan mendorong investasi dalam silvikultur yang akan memastikan produktivitas hutan jangka panjang. Namun, mengingat pertumbuhan hutan lambat sementara bisnis akan berusaha memaksimalkan pengembalian modal, mereka akan memanen komoditas hutan secepat mungkin dan berinvestasi di tempat lain.

Dalam hal lingkaran ketiga, Hensbergen menulis: “Keadaan ini diperburuk oleh risiko lain yang dihadapi investor kehutanan, yakni instabilitas politik yang membuat perubahan peraturan secara sewenang-wenang sehingga tidak ada lagi kepastian usaha”.

Jika kita tengok kembali lima dasawarsa pengelolaan hutan, agaknya sejumlah hal perlu kita perbaiki dalam menghubungkan lingkaran kedua dan ketiga itu. Sebab kebijakan yang fokus pada lingkaran pertama membuat manajemen hutan lestari telah menjadi mitos. Dalam menghadapi mitos, kita menganggapnya benar meski tak bisa dibuktikan. Mari kita bedah.

Mitos pertama: hutan akan lestari jika permintaan kayu tidak lebih tinggi dari pasokannya.

Kebijakan untuk mendukung mitos ini adalah restrukturisasi industri kayu. Logikanya sederhana: jika permintaan terhadap kayu tinggi, akan banyak pembalakan liar. Logika ini menanggalkan logika lain bahwa permintaan tinggi membuat harga kayu jadi tinggi, sehingga mendorong orang untuk giat menanam pohon. Di Jawa, faktanya berjalan sesuai logika kedua.

Maka, penyebab hutan rusak dan pembalakan liar bukan karena tingginya permintaan terhadap kayu, tapi perlindungan terhadap hak atas hutan dan lahan yang lemah. Penebangan menjadi ilegal karena adanya ketimpangan akan hak mengelola hutan.

Mitos kedua: untuk mengurangi tekanan kepada hutan alam maka perlu hutan tanaman.

Kenyataannya terbalik. Hutan tanaman yang mendapat subsidi dari dana reboisasi tidak menjadi substitusi kayu hutan alam. Hutan produksi justru jadi jalan keluar bagi pengusaha HPH yang hutannya tak lagi produktif akibat nilainya terus turun. Di sini problemnya adalah tata kelola yang buruk.

Mitos ketiga: untuk menaikkan nilai tambah kayu bulat, ekspor log dilarang. 

Mitos ini berangkat dari asumsi bahwa bahan baku yang murah akan naik jika diolah sebelum dijual. Anggapan ini melupakan satu hal bahwa barang yang murah cenderung dibuang. Akibatnya, yang marak adalah industri pengolahan kayu konvensional. Harga murah tak menjadi insentif kita membangun hutan yang bagus.

Mitos keempat: membangun hutan tak perlu memakai modal sosial.

Sebelum memakai swakelola, penopang kegiatan rehabilitasi hutan, seperti bibit, memakai tender. Akibatnya, pekerjaan profesional ini berubah menjadi administratif yang tak memerlukan pemetaan sosial masyarakat yang menjadi subjek utama rehabilitasi hutan. Dalam tender, yang penting administrasi beres, bukan menyelesaikan problem sosial di masyarakat.

Peraturan pun dibuat dengan pendekatan administratif, bukan solusi yang berangkat dari problem lapangan bahwa perambahan akibat adanya nilai ekonomi hutan membuat hutan jadi gundul. Sayangnya, asumsi seperti ini masih mewarnai kebijakan maupun implementasinya hingga kini. 

Mitos kelima: jika peraturan berubah, kondisi lapangan juga berubah.

Faktanya, peraturan hanya menyediakan ruang, batasan, atau peluang melakukan tindakan. Agar bisa berjalan, peraturan harus disertai dukungan kelembagaan serta legitimasi pelaksana yang mendapat dukungan masyarakat. Dalam pandangan ekonomi institusional, peraturan tidak mengikuti “dogma hukum” bahwa semua orang harus mengerti dan harus menjalankannya, tetapi berjalan di suatu arena dalam pengaruh aktor, pengetahuan, informasi maupun jaringan. Karena itu, pelaksanaan aturan akan berbeda di arena yang berbeda. 

Dari lima mitos itu kita bisa mengangguk pada kesimpulan Hensbergen (2018) bahwa sektor kehutanan terpuruk karena kita menaruh porsi yang kecil menyelesaikan problem kelembagaan sehingga lembaga kehutanan kekurangan staf yang bekerja efektif, termasuk dalam evaluasi dan pengawasan konsesi.

Lemahnya tata kelola ini membuka peluang lahirnya perusahaan yang mengabaikan etika, melahirkan korupsi, serta gagalnya pemerintah memungut kewajiban konsesi. Pemberantasan korupsi memang sulit, kata Hensbergen, tapi jika kebijakan tak memperhitungkan dampaknya, ia akan gagal mencegahnya.

Maka, manajemen hutan lestari tak hanya perlu kepastian menjalankannya, tapi kita juga perlu tahu cara melakukannya. Karena itu kapasitas lembaga dan aparatur negara jauh lebih menentukan dalam mewujudkan manajemen hutan lestari ketimbang aturan-aturan yang menopangnya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain