Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Juli 2021

Kesehatan Terabaikan dalam Mitigasi Krisis Iklim

Negara kaya cenderung mendapatkan skor rendah sektor kesehatan yang terintegrasi dengan mitigasi krisis iklim. Indonesia tak disebut. 

Nol-bersih emisi berbagai negara. Indonesia tak menetapkan target 2050 sesuai Kesepakatan Iklim Paris 2015

KESEHATAN menjadi salah satu sektor yang akan dilihat untuk mengukur keseriusan dan ketepatan mitigasi krisis iklim sebuah negara. Sebab kesehatan mencerminkan pelbagai program yang tergambar dalam pencapaian kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC), angka penurunan emisi yang menjadi resultan semua program mitigasi krisis iklim. 

Dengan menganalisis proposal NDC 66 negara—dari 197 pihak yang terlibat—dalam Kesepakatan Iklim Paris 2015, The Global Climate and Health Alliance merilis kartu skor kesehatan yang berkaitan dengan program mitigasi iklim pada 8 Juli 2021. Perkumpulan organisasi peduli iklim yang berdiri pada 2011 ini menempatkan Kosta Rika sebagai negara dengan komitmen iklim yang menempatkan program kesehatan paling tinggi.

Mendapatkan poin 13 dari maksimal 15, kartu sehat iklim Kosta Rika disusul Laos (12), Argentina, Papua Nugini, dan Rwanda yang mendapatkan skor 11. Skor kesehatan iklim ini memang mengejutkan karena negara-negara yang memiliki komitmen tinggi justru didominasi negara miskin. Sementara negara ekonomi menengah dan kaya jauh tertinggal.

“Dari negara-negara yang menghasilkan sekitar 50% emisi global belum secara terbuka memperbarui komitmen iklim nasional mereka menjelang COP26, ada peluang besar bagi pemerintah untuk membangun target pengurangan emisi yang ambisius, mendapatkan manfaat kesehatan dari tindakan iklim yang dipertimbangkan dengan baik, dan untuk meningkatkan ekonomi mereka'', kata Jeni Miller, Direktur Eksekutif Global Climate and Health Alliance, dalam siaran pers peluncuran kartu sehat.

Negara-negara kaya, sementara itu, mencetak skor amat rendah bahkan nol. Australia, Selandia Baru, dan Norwegia yang terkenal sebagai negara donor dan menunjukkan komitmen kuat dalam mitigasi krisis iklim ternyata tak memiliki program mitigasi yang mencakup bidang kesehatan. Seluruh negara Eropa, berjumlah 27, bahkan hanya mencetak 1 poin, Amerika hanya enam poin, satu tingkat di bawah Inggris.

Negara-negara kaya tersebut menghasilkan lebih dari separuh emisi global sebanyak 51 miliar ton setara CO2 setahun(lihat proposal NDC Indonesia di sini). Mereka umumnya punya komitmen tinggi pada mitigasi krisis iklim dan punya program yang terarah dan ambisius dalam menurunkan emisi. Jika Cina menetapkan nol-bersih emisi pada 2060, negara-negara Eropa dan Amerika Serikat berjanji mencapai net-zero emission pada 2050—sesuai dengan Perjanjian Paris 2015.

Rupanya komitmen iklim itu masih bolong. Analisis Global Climate and Health Alliance menemukan program-program mitigasi belum mengikutsertakan sektor kesehatan. Program mitigasi menurunkan emisi masih tersebot pada sektor utama, yakni energi, transportasi, kehutanan, pertanian, proses produksi, dan limbah.

Lima sektor tersebut menjadi penyumbang tersebar pada produksi emisi karbon. Masalahnya, menurut GCHA, mitigasi krisis iklim juga harus mencakup rencana program kesehatan mengingat sektor ini yang akan menyentuh langsung penduduk tiap negara. Pandemi virus corona hanya satu dampak buruk gagalnya mitigasi krisis iklim yang tak menyertakan sektor kesehatan.

Meski keduanya saling berhubungan—menangani satu akan berdampak pada yang lain—seluruh negara rupanya tak punya mitigasi komprehensif dalam mengawinkan keduanya. GCHA, misalnya, menemukan negara-negara miskin yang mengutamakan kesehatan tak terlalu kuat dalam komitmen iklim mereka.

Seperti Argentina. Meski skornya tinggi dalam sektor kesehatan, mitigasi iklim mereka menyesuaikan dengan kenaikan suhu 30 Celsius. Padahal, Perjanjian Paris 2015 menyepakati penurunan emisi untuk mencegah kenaikan suhu maksimal 2C pada 2050 dibanding masa praindustri 1800-1850.

Caranya dengan memangkas jumlah emisi hingga 45% atau lebih. Beralih ke teknologi ramah lingkungan, setop memakai energi fosil, setop membuat limbah, lebih banyak memuliakan hutan, adalah cara-cara menurunkan emisi itu.  “Membuat komitmen iklim yang membatasi pemanasan bumi hingga 1,5°C - sejalan dengan Perjanjian Paris sangat penting untuk perlindungan kesehatan”, kata Miller.

Problem lain, tak semua negara merevisi target NDC dan program mitigasi iklim mereka ke PBB menjelang COP-26 di Glasgow awal November tahun ini. Pandemi telah menggeser pertemuan tahunan itu sehingga tahun lalu panitia menunda konferensi iklim ke tahun ini, itu pun jika pandemi mereda.

Kartu skor kesehatan iklim

Jess Beagley, analis kebijakan untuk Global Climate dan Health Alliance, meminta negara-negara memasukkan komitmen kesehatan dalam proposal revisi mitigasi iklim mereka.”Bagi merek yang target emisinya tidak memadai harus bertindak untuk menempatkan perlindungan kesehatan warganya di depan dan pusat kebijakan iklim nasional mereka, atau akan berisiko bencana,” kata dia.

Temuan Kunci GCHA:

  • Dari 66 negara, termasuk 27 negara Uni Eropa, hanya lima negara yang memasukkan kesehatan dalam komitmen iklim nasional menjelang COP26.
  • Skor tinggi untuk penyertaan kesehatan sering kali tidak diimbangi dengan tingkat ambisi yang cukup untuk memenuhi Perjanjian Paris, yang menghadirkan ancaman bencana bagi kesehatan. misalnya Uni Emirat Arab, Vietnam, Meksiko, Argentina, Chili. Kecuali emisi dikurangi secara dramatis, tingkat pemanasan pada akhir abad ini akan menjadi bencana besar bagi kesehatan manusia.
  • Beberapa negara (termasuk yang progresif dalam mitigasi iklim) tidak hanya gagal memasukkan perhatian pada kesehatan, juga menunjukkan ambisi iklim yang tidak memadai, seperti Australia, Selandia Baru, Brasil, Norwegia.
  • Australia, Selandia Baru, Islandia, Norwegia menerima poin nol. NDC negara-negara Eropa hanya mencapai satu poin dari 15, untuk pengakuan manfaat tambahan kesehatan. Kesehatan sering dijadikan strategi terpisah sebagai adaptasi perubahan iklim.
  • Banyak negara, termasuk Australia, Brasil, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Thailand, Inggris, Uni Emirat Arab, dan Uni Eropa, tidak menerima poin apa pun untuk biaya dampak kesehatan, mengacu pada penghematan dari manfaat tambahan kesehatan, atau mengalokasikan anggaran untuk menyesuaikan sistem kesehatan. 
  • Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah seperti Laos, Rwanda, Papua Nugini, dan Senegal mempresentasikan pertimbangan dan tindakan kesehatan di seluruh target NDC mereka, tapi membutuhkan pendanaan internasional, untuk mewujudkannya sepenuhnya komitmen iklim mereka.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain