
PELBAGAI turunan Undang-Undang Cipta Kerja hampir rampung. Kendati penentuan Komite Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) masih sampai November, pengaturan mengenai penyederhanaan bisnis berbasis lahan mendekati komplet. Termasuk dalam pengaturan usaha pertambangan.
Perubahan paling mencolok dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara adalah royalti 0% bagi industri yang memberikan nilai tambah bagi batu bara. Hilirisasi, seperti mengubah batu bara menjadi gas, akan digenjot setelah UU Cipta Kerja.
Ketentuan itu termasuk dalam pasal sisipan 128A di UU Mineral dan Batu Bara yang telah diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25/2021 tentang penyelenggaraan bidang energi dan sumber daya mineral.
Menurut peneliti energi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Irine Handika Ikasari pasal tambahan itu akan mendorong Indonesia mengeruk lebih banyak batu bara. Dengan begitu, Indonesia akan makin tergantung kepada energi fosil ini.
“UU Cipta Kerja dan pasal sisipan ini secara sistematis akan menumbuhkan ketergantungan kita pada batu bara,” kata Irine dalam webinar “Dampak UU Cipta Kerja Terhadap Sektor Energi’ seri 3 pada 30 Juni 2021. “Padahal tahun ini saja 68% listrik kita berbahan bakar batu bara.”
Konteks penjelasan Irine adalah janji Indonesia menurunkan emisi karbon pada 2030 sebanyak 29% dari 2,8 Giga ton setara CO2. Dengan mendorong hilirisasi batu bara melalui insentif royalti, UU Cipta Kerja menjadi bertolak belakang dengan tekad itu.
Batu bara menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar. Selain membutuhkan lahan banyak, sehingga membabat hutan sebagai penyerap emisi karbon, bahan bakar fosil ini juga menghasilkan polusi emisi. Asap pembakaran batu bara bertanggung jawab pada 10,2 juta kematian dan pelbagai penyakit setiap tahun.
Meski belum menetapkan tahun net-zero emissions atau nol-bersih emisi, Presiden Joko Widodo secara lisan sudah memerintahkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta PLN menyetop pembangunan baru pembangkit listrik tenaga uap yang memakai batu bara.
Sebagai gantinya adalah energi terbarukan, dari angin, matahari, air, panas bumi. Energi terbarukan dalam lima tahun terakhir berjalan lambat, hanya bertambah 200 megawatt setahun. Baurannya pun masih sangat kecil, baru 13,5% hingga semester pertama 2021.
Di luar soal mendorong ketergantungan pada batu bara, UU Cipta Kerja juga mendorong pelbagai pelanggaran. Dengan dalih memudahkan usaha pertambangan, beleid ini cenderung lemah dalam penegakan hukum.
Kepala Badan Penelitian Surfaktan dan Bioenergi IPB University Meika Syahbana Rusli menengok pasal 23 dan 53. Pasal 23 mengubah redaksi “mendapat izin” dari perizinan berusaha mineral dan batu bara menjadi hanya “memenuhi izin”. Artinya, perusahaan yang belum mendapatkan izin menambang bisa tetap melakukannya asal proses penambangannya sesuai dengan aturan.
Apalagi, sanksi di pasal 53 juga menjadi longgar. Sanksi kepada penambang ilegal baru diberikan jika menimbulkan korban atau kerusakan. Padahal, legalitas penambangan tak bergantung pada korban atau kerusakan alam.
Pengaturan sektor lain juga sama saja. Grita Anindarini dari Indonesian Center of Environmental Law (ICEL) melihat UU Cipta Kerja membuka peluang kriminalisasi. Pasal 46 dan 73 dalam UU Panas Bumi membatasi partisipasi masyarakat yang akan dikategorikan menghalangi atau merintangi usaha panas bumi.
Usaha panas bumi biasanya memerlukan lahan hutan, terutama di hutan lindung. Di sini biasanya bermukim masyarakat adat. Jika mereka tak terima perusahaan panas bumi menambangnya, akan terjadi konflik. Dari kaca mata UU Cipta Kerja, masyarakat adat akan dikategorikan menghalangi atau perintang sehingga bisa dipidanakan.
Sektor akhir mata rantai energi, yakni listrik, juga kurang menggembirakan. Menurut Muhammad Suhud dari Policy Strand Lead for Program Mentari muncul gejala disfungsi akibat UU Cipta Kerja.
Dengan melihat data hari ini, capaian target bauran energi menuju energi terbarukan masih rendah, dari target 23% pada 2025. Pelayanan listrik yang belum merata di Indonesia turut jadi penyebabnya. Masalahnya, UU Cipta Kerja tak masuk ke problem ini.
Sektor listrik masih monolitik. Sektor swasta tak punya ruang leluasa masuk ke bisnis ini. Padahal, masalah pokok listrik Indonesia salah satunya transparansi penentuan tarif. “Penentuan kebijakan dan regulasi masih dalam satu institusi sehingga perlu kapasitas dan koordinasi kebijakan antar lembaga,” katanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :