
Laporan Utama | Juli-September 2018
Kompak Seperti Suara Ompreng

Ngaloken Gintings
Angkatan 1 (1963)
MAHASIWA Fakultas Kehutanan tahun masuk 1963, biasa disebut “Angkatan 63” atau “Angkatan Ompreng”. Ini nama angkatan yang dicetuskan sewaktu kemping di Baturaden, Banyumas, Jawa Tengah, pada 1963. Itu waktu setelah Ospek atau disebut Masa Prabhakti Mahasiswa (Mapram).
Karena angkatan pertama, para pembimbingnya mahasiswa dari Universitas Indonesia, tapi sudah dilantik menjadi mahasiswa oleh IPB. Angkatan 63 (E1) juga dianggap sebagai angkatan pionir, sebagai awal berdirinya Fakultas Kehutanan di IPB. Nama Ompreng muncul karena sewaktu kemping kami memukul tempat makan dari seng itu tiap kali ada hal-hal yang dianggap lucu dan tak sesuai. Ketika kami berbarengan memukulnya, suaranya sangat riuh, seperti dongeng perlombaan siput dengan kancil. Karena suara siput di mana-mana, kancil yang pintar jadi tak konsentrasi sehingga lomba dimenangkan oleh siput yang berjalan pelan.

Barangkali dari situ awal mula tiap kali ada pertandingan mahasiswa Fahutan selalu riuh mengganggu konsentrasi lawan. Sampai sekarang.
Selesai Mapram kami mengadakan pameran di Purwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, serta ada pertemuan senat Fakultas Kehutanan IPB dan GAMA (Kongres Sylva Indonesia). Ada banyak kegiatan yang selama kemping itu, antara lain adu panco yang dikuti Dekan, para dosen, karyawan Fakultas Kehutanan dan para mahasiswa; cross-country atau lari lintas alam, adu gembul, panjat pohon, tamam pohon, potong kayu dan permainan spontan lainnya membuat angkatan Ompreng makin kompak.
Pameran dilaksanakan oleh dosen dan para mahasiswa Fahutan, dimulai dari pencarian dana ke pemerintah kabupaten, provinsi, Perhutani, hingga Direktorat Jendrral Kehutanan. Bahan yang dipamerkan juga disesuaikan dengan keadaan setempat dan informasi lain yang dapat memotivasi pengguna akan mempunyai harapan yang baik dari kegiatan kehutanan. Dengan kegiatan seperti itu semua membuat mahasiswa menjadi kreatif, dinamis dan kompak.
Pada zaman UI dan IPB, ada praktik mahasiswa dalam banyak bidang, antara lain sosiologi pedesaan, perencanaan hutan, manajemen hutan, dan praktik problema khusus (pemecahan masalah) sesuai dengan minat mahasiswa/i masing-masing selama satu bulan. Praktik sosiologi dibiayai oleh IPB sedang praktik lainnya mahasiswa/i dianggap sebagai pekerja Perhutani sehingga mahasiswa/i tidak perlu mengeluarkan biaya malah mendapat bantuan dari Perhutani. Penempatan mahasiswa/i di seluruh Jawa diatur oleh pembimbing dan staf Perhutani. Kegiatan ini merupakan bekal yang baik bagi lulusan Fakultas Kehutanan IPB pada saat dia memulai pekerjaannya di seluruh lapisan kegiatan kehutanan.
Kekompakan Ompreng juga terlihat waktu kemping di Ciwiday, Bandung Selatan, yakni perlombaan cara menebang pohon dan mengangkutnya setelah dipotong-potong. Kemandirian mahasiswa/i dibina dengan cara sedikit keras, misalnya, bertanggung jawab dan kreatif dalam melaksanakan tugas. Siapa yang tidak kreatif akan ditinggal. Misalnya waktu penebangan pohon karet di Jasinga ada teman-teman yang ketinggalan karena tidak cepat naik ke atas truk. Sebagai akibatnya ada beberapa teman termasuk Siti Nuril Hamimah (Iing) (Alm) harus berjalan kaki dari Jasinga sampai Ciampea.
Kenakalan mahasiswa Ompreng bermacam ragam, tapi ada maknanya. Misalnya, waktu praktik eksploitasi hutan di Ciwidey itu, ada teman yang kedinginan. Ia berniat mengambil selimut milik temannya yang lain yang belum tidur karena lapar. Niat mencuri selimut itu tercium oleh mereka. Mereka membiarkan pencurian itu terjadi, tapi Saudara Edet mengerjainya dengan cara menaruh telur dalam selimut itu. Edet mengambil lima telur tapi hanya tiga yang dimasak, dua lagi diselundupkan dalam selimut yang hendak dicuri itu. Maka esoknya, meski pencurian berhasil, tapi si teman harus mencuci selimut yang kotor oleh telur yang tertindih.
Waktu kemping di Cianten, kami mengusir saudara Syuki pagi-pagi buta karena dikira ibu hamil dari desa sebelah. Rupanya perut menggelembung itu karena berisi waluh yang diikat ke perut di dalam sarung. Begitu tahu waluh, Aam Maslamah langsung memasaknya untuk sarapan. Rupanya, setelah semua waluh tandas, Syuki baru memberi tahu bahwa waluh itu ia curi dari kebun petani.
Kemping di Pantai Carita juga berkesan. Anggota Ompreng menginap di lereng bukit dan mandi ke pantai. Pada saat mandi, ada saja teman usil dengan mengambil pakaian yang ditinggal di bawah pohon dan menaikkannya ke dahan. Karuan saja begitu teman-teman yang mandi itu hendak memakai baju kembali, mereka harus memanjat pohon itu. Sial. Celana dalamnya melorot karena tersangkut dahan, dan ditonton oleh semua mahasiswa dengan ketawa tak putus-putus.
Kejadian-kejadian itu amat berkesan karena keusilan dan kenakalan itu tak melahirkan dendam, sebaliknya malah makin membuat kami kompak dan ikatan kekeluargaan makin kuat.
Selain menamai organisasi, angkatan 1 juga sudah mulai mengganti-ganti nama teman. Djunaidi berganti panggilan menjadi Akoh, Engkos Kosasis jadi Lebe, dan Ahmad Kosasih menjadi Mamah. Setiap panggilan ada ceritanya, tapi terlalu panjang jika diceritakan satu per satu. Yang jelas nama-nama panggilan itu makin mengeratkan kami sebagai mahasiswa satu angkatan.
Apalagi ketika tingkat dua situasi politik mempengaruhi kehidupan kampus. Banyak mahasiswa aktif dalam pelbagai organisasi seperti HMI, GMNI, GMKI, PMKRI, dan CGMI. Ketika pecah G30S pada 1965, CGMI dinyatakan pemerintah sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan. Setiap organisasi pada saat itu bahu membahu untuk menjaga keutuhan NKRI, kesejahteraan masyarakat dan tidak terjadi hal yang fanatik akan organisasinya.
Kami tetap kompak dan riuh seperti suara ompreng yang dipukul.
Daftarkan alamat email anda untuk berlangganan GRATIS artikel terbaru kami