Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 24 Maret 2021

Produksi Pangan Menyumbang 34% Emisi Global

Produksi pangan menyumbang sepertiga emisi global. Indonesia penyumbang emisi nomor 2.

Agroforestri, menggabungkan tanaman pertanian dan kehutanan, satu cara dalam ketahanan pangan dalam konsep food estate (Foto: Dok. FD)

SEJUMLAH peneliti di Komisi Uni Eropa baru saja merampungkan data base produksi pangan global yang mengumpulkan data dari 1990 hingga 2015. Menurut perhitungan mereka, emisi global dari produksi pangan naik 12,5% dalam periode tersebut. 

Para peneliti mengkompilasi data pelepasan emisi global, produksi pangan dari Badan Pangan PBB (FAO), dan polusi udara . Hasilnya mereka publikasikan dalam jurnal Nature Food edisi 8 Maret 2021.

Dari kompilasi data tersebut mereka mendapatkan angka emisi global tahunan dari produksi pangan sebanyak 18 miliar ton atau 34% dari total produksi emisi. Emisi sebanyak ini berasal dari pemakaian lahan (pertanian, deforestasi) atau yang dikenal dengan istilah LULUC (land used and land-use change activities), produksi, hingga distribusi (pengemasan, transportasi, penjualan).

Rasio sumber emisi di negara berkembang dan maju terbalik. Di negara berkembang, emisi terbesar datang dari pelepasan karbon dari lahan pertanian dan penggundulan hutan untuk perkebunan dan perladangan. Angkanya sebanyak 71%. Sementara di negara maju emisi terbesar datang dari produksi pangan. Hanya 23% berasal dari pemakaian lahan.

Agak mengejutkan bahwa emisi yang dilepas Indonesia menempati nomor dua setelah Cina. Emisi karbon Indonesia dalam rantai produksi makanan sebanyak 1,6 miliar ton setara CO2 atau 8,8%. Produksi emisi Indonesia bahkan melebihi Amerika Serikat dan gabungan 26 negara Uni Eropa.

Meski begitu, jika melihat struktur produksi emisi karbon dalam rantai pangan terbanyak datang dari produksi. Pemakaian lahan hanya 5,7 miliar ton atau 32%. Sementara emisi yang dilepas dari pemakaian energi untuk memproduksi pangan sebanyak 7,1 miliar ton atau 39%. Sisanya pengemasan dan distribusi sebanyak 5,2 miliar ton atau 29%.

Menurut Carbon Brief, pada 2015 produksi emisi karbon Indonesia pada 2015 sebanyak 2,4 miliar ton. Artinya, dengan 1,6 miliar ton, rantai produksi pangan mengisi 67% produksi karbon pada tahun tersebut. Padahal pada tahun itu ada kebakaran hebat yang terbesar sejak 1997 yang menghanguskan 2,67 juta hektare hutan dan lahan.

Dengan tingginya produksi emisi dari produksi pangan menunjukkan sektor pertanian dan kehutanan Indonesia belum lestari. Bersama Vietnam, Thailand, dan Cina, Indonesia merupakan negara Asia yang paling luas lahan pertaniannya, terutama dalam memproduksi padi.

Produksi emisi diperkirakan akan bertambah karena pemerintah Indonesia bersiap membangun lumbung pangan (food estate) di Kalimantan. Papua sudah lebih dulu membangun lumbung pangan di Merauke. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahkan sudah mengizinkan hutan lindung diubah menjadi lumbung pangan.

Ironisnya, semakin tinggi produksi emisi dalam memproduksi pangan, jumlah orang yang mengalami gizi buruk dan akses pangan masih tinggi. Tahun 2019 sebanyak 22 juta orang mengalami kelaparan.

Secara agregat, indeks kelaparan Indonesia membaik pada 2020 dengan masuk kategori moderat dengan angka 19,1. Bandingkan angka ini dengan indeks kelaparan pada 2000 sebesar 26,1 dan tertinggi pada 2006 sebesar 29,1 dan tahun 2015 sebesar 22,1. Meski menurun, indeks kelaparan Indonesia hanya lebih baik dibanding Kamboja, Laos, Myanmar, dan Timor Leste untuk kawasan ASEAN.

Kini jumlah penduduk di dunia hampir 8 miliar orang. Karena itu, dengan kenaikan emisi hanya 12,5% selama 25 tahun, produksi emisi per kapita secara global turun. Pada 1990 produksi emisi per orang rata-rata 3 ton setara CO2menjadi 2,4 ton pada 2015.

Kemajuan sejumlah negara membuat produksi emisi dari transportasi menjadi naik. Menurut penelitian Uni Eropa itu, 97% emisi dari produksi datang dari distribusi dalam negara memakai truk dan kereta api. Artinya, transportasi global dalam distribusi pangan tak memakai pesawat yang menandakan produksi pangan berputar mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Emisi pangan global

Publikasi di jurnal Nature Food juga menunjukkan satu hal: diet global lumayan berhasil dalam menekan produksi emisi yang paralel dengan jumlah penduduk bumi. Dengan angka emisi per kapita yang turun, kenaikan emisi produksi pangan global tak seiring dengan jumlah manusia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain