Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 18 Januari 2021

Masalah Administrasi Pemulihan Hutan

Memulihkan hutan rusak tak sekadar urusan politik dan kekuasaan serta tata kelola. Ia juga menyimpan problem struktural administrasi yang ruwet.

Bibit di persémaian (Foto: Dok. KMP)

ADA yang mengatakan masalah lingkungan hidup adalah masalah sosial politik. Saya tambahkan bahwa urusan kehutanan, terutama soal pemulihannya, adalah masalah administrasi.

Seorang mentalis profesional yang juga pengamat sosial dari India, Amit Kalantri, pernah mengatakan, “Di bawah administrasi publik yang efisien, warga negara melakukan tugasnya dengan sukarela dan menyatakan hak tanpa rasa takut.” Bila mengikuti pernyataan ini, administrasi publik bertujuan menciptakan kemaslahatan warga negara, walaupun lingkup kegiatannya berada di dalam pemerintahan.

Sebagai ilmu pengetahuan, administrasi sudah lama dipraktikkan dalam bernegara. Ia mencakup kegiatan perencanaan, pengendalian, pengorganisasian pekerjaan perkantoran, serta menggerakkan mereka yang melaksanakan aturan dan regulasi agar mencapai tujuan. Menurut Terry (1953) dalam Atmosudirjo (1980), berpikir dan bekerja secara rasional memakai teknologi untuk menghidupkan organisasi yang efektif dan efisien memerlukan administrasi.

Di sisi lain, administrasi publik mengatur, mengarahkan, dan mempercepat perubahan sosial. Agar perubahan sosial seperti diinginkan masyarakat, administrasi publik harus berperan sebagai pelaksana sekaligus mengarahkannya (Fadhil, 2018). 

Dalam praktiknya, pengalaman saya melihat dan mewawancarai para administrator publik, administrasi cenderung dipakai untuk membuat kepastian sekaligus kemudahan bagi pelaksana proyek atau kegiatan, melalui berbagai prosedur untuk mencapai tujuan. Harusnya memang begitu.

Masalahnya, kepastian, kemudahan, dan prosedur itu lebih bermanfaat bagi pelaksana proyek atau kegiatan, daripada bermanfaat bagi subyek utama yang menjadi sasarannya, yakni masyarakat. Kemudahan bermacam-macam bentuknya. Dari mulai prosedur yang jelas, waktu yang cukup untuk mengerjakannya, serta anggaran. 

Hal kedua yang menjadi perhatian para administrator adalah upaya menjalankan dan mempertanggungjawabkan proyek kepada para pengawas. Berbagai kegiatan administrasi tidak bisa dihindari dan punya logika sendiri yang berbeda atau bertolak-belakang dengan kenyataan. Meski begitu ia jadi baku dan wajib diikuti para administrator.

Dengan mengutamakan kepentingan pelaksana proyek atau kegiatan, hampir bisa dikatakan tidak ada ruang membicarakan perbedaan kondisi di lapangan yang perlu diantisipasi atau perbedaan antara kondisi yang dipikirkan dengan kondisi yang sesungguhnya. Padahal, penentu proyek atau kegiatan adalah kegunaannya bagi masyarakat.

Di sektor kehutanan, administrasi baku yang wajib diikuti menjadi penyebab lahirnya mitos yang meresap dalam pikiran dan menjadi diskursus. Dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), misalnya, pola pikir administratif mengemuka karena pelaksananya berpikir tak ada cara lain selain berpikir dan melaksanakannya seperti itu.

Dalam webinarAda apa pengelolaan DAS kita?” pekan lalu, Purwanto menyebut ada delapan mitos dalam pengelolaan DAS, antara lain, penutupan hutan mengontrol karakter hidrologi, penebangan hutan penyebab utama kerusakan hidrologi, keberadaan hutan meningkatkan curah hujan, hutan mencegah banjir. Semua itu sangat tergantung pada kondisi lapangan, yang justru menjadi “titik buta” bagi prosedur administrasi.

Dalam proyek atau kegiatan pengelolaan, para pelaksana memakai peta kawasan hutan yang dianggap kosong, karena tidak ada izin pengelolaan di atasnya. Faktanya, di lapangan bisa terjadi klaim pemanfaatan. Demikian pula, posisi, kepentingan, dan motivasi masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan tidak seperti yang tergambar dalam pertemuan formal. Di sini perlunya pemetaan sosial yang memerlukan biaya dan waktu, juga kemampuan komunikasi oleh para pelaksana proyek. 

Pada pertengahan 1990-an, saya mempelajari bagaimana kelembagaan kehutanan berjalan di Malaysia, terutama dalam pemulihan hutan. Berangkat dari cara pikir di Indonesia yang biasa membagi target nasional menjadi target di daerah-daerah, saya bertanya kepada perwakilan pemerintah Malaysia, berapa target nasional luas rehabilitasi hutan per tahun.

Ternyata mereka tidak punya target nasional, kecuali sekadar penjumlahan kemampuan seluruh kelompok tani yang siap memulihkan hutan. Data itu berasal dari pemetaan sosial. Suatu asumsi yang masuk akal: tidak akan ada pemulihan hutan ketika penanggung jawab sekaligus penanggung risikonya tidak ada.

Dengan kata lain, pemulihan hutan merupakan masalah kehilangan subyek—yaitu siapa yang bertanggung jawab, diuntungkan, sekaligus memegang risiko kegagalan. Artinya, pemulihan hutan di Malaysia tak sekadar urusan administrasi. 

Di areal pengelolaan DAS Way Seputih-Sekampung, Lampung, ada pemetaan sosial dengan menetapkan siapa yang akan melakukan kegiatan di lokasi mana. Dari situ tergambar para petani mampu menunjukkan tanggung jawab meningkatkan produktivitas lahan dengan pohon-pohon yang berguna secara ekonomi atau tanaman mangrove yang berguna bagi pengembangan wisata.

Di sana tidak ada kewajiban pemeliharaan tiga kali setahun atau keberhasilan tanaman minimal 90 persen seperti diatur dalam administrasi proyek. Keberhasilan atau kegagalan penanaman merupakan risiko petani. Dengan cara seperti itu, petani melaksanakan kegiatan itu dengan bersungguh-sungguh.

Dalam sektor kehutanan secara umum, berbagai prosedur administrasi ditempatkan seolah semua kondisi homogen sehingga memakai administrasi standar yang dianggap oleh para pelaksananya tak perlu diolah dan dipertanyakan. Bahkan prosedur administrasi menjadi “panglima”, sehingga solusi dalam kondisi berbeda mesti mengikutinya. Dalam evaluasi ukurannya pun jelas: sepanjang semua hal terkait administrasi terpenuhi, pengawas akan menyatakannya lulus. Soal ada masalah tak lagi penting, bahkan untuk sekadar mereka tahu.

Dalam webinar soal pengelolaan DAS juga mengemuka pertanyaan soal kerja sama antara lembaga dalam pengelolaan dan pemulihan DAS di tingkat nasional, provinsi, maupun tapak. Lagi-lagi ada persoalan administrasi.

Ketika tiap lembaga menyatakan selesai menjalankan proyek, dalam arti pertanggungjawaban proyek di depan pengawas, selesai pula kegiatan itu. Artinya, tak perlu kerja sama. Setiap unit birokrasi di Indonesia dibentuk dan didorong sebagai pelari tunggal yang capaiannya secara individual. Birokrasi kita tak dibentuk sebagai tim sepak bola yang harus bekerja sama untuk menciptakan gol sebanyak mungkin.

Problem ini menunjukkan bahwa administrasi publik adalah masalah struktural, bukan individu atau para pegawainya. Seorang pemimpin, kata ibu negara Amerika 1977-1981 Rosalynn Carter, membawa orang ke mana mereka ingin pergi. "Tapi seorang pemimpin hebat akan membawa orang ke tempat yang seharusnya, meski tak mereka inginkan."

Tampak bahwa perbaikan administrasi pemulihan hutan perlu seorang pemimpin yang hebat itu.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain