Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 11 Desember 2020

Napas: Syukur Terakhir Kita Kepada Bumi

Kita acap tak sadar bahwa hal terakhir yang akan kita punya adalah napas. Mengingatnya akan mendorong kita melindungi bumi.

Masker (Foto: Lukas Zdylka/Pixabay)

ADA anekdot yang mengatakan, jika ingin tahu lebih berharga mana antara uang dan lingkungan, cobalah menghitung lembaran rupiah seraya memencet hidung. Di situlah kita akan tahu mana yang lebih penting untuk hidup. 

Napas adalah hal paling esensial. Napas adalah nikmat terbesar yang ada bersama kita, kapan pun dan di mana pun. Masalahnya, kita kerap tidak menyadari dan mensyukuri napas sebagai nikmat karena napas berjalan seiring kita berpikir. Bagaimana agar kita ingat terus dan selalu bersyukur tiap kali bernapas?

Kita kerap tidak mensyukuri napas karena kita tidak menyadarinya. Sering lupa, karena napas terjadi secara otomatis. Tidak seperti perbuatan lain yang perlu niat untuk melakukannya, napas akan kita lakukan meski kita tidak meniatkannya, meski kita lupa.

Agar kita bisa mensyukuri napas, kita mesti menyadarinya terlebih dulu. Sadar tidak sama dengan tahu. Kita tahu bahwa kita bernapas, tapi belum tentu kita menyadarinya. Untuk menyadarinya dengan benar, kita perlu latihan.

Latihan yang saya lakukan sangat sederhana. Duduk seperti biasa, rileks saja. Kita bisa melakukannya setelah salat atau kapan saja selagi sempat. Tarik napas dan sadari bahwa ada udara yang masuk lewat hidung kita. Sadari betul seolah-olah kita bisa melihat udara itu masuk. Sadari bahwa Allah memberi udara begitu berlimpah yang sebagian kecilnya kita hirup. Sadari bahwa Allah memberi kita hidung, saluran pernapasan, dan paru-paru yang kita pakai untuk bernapas.

Setelah udara dalam paru-paru atau perut penuh, hembuskan secara perlahan sambil berucap, “Alhamdulillah.” Sadari bahwa oksigen yang tadi kita hirup telah masuk ke tubuh kita, menjalar di sel-selnya, ikut dalam aliran darah. Lalu kita menghembuskan udara yang telah dipakai oleh tubuh dalam bentuk karbon dioksida. Sesuatu yang dibutuhkan oleh makhluk lain, seperti tanaman.

Lakukan berulang-ulang sambil meyakini dan menyerap rasa syukur yang begitu besar. Tentu, menyadari napas ini tidak perlu kita lakukan sepanjang hari, karena nanti kita tidak bisa mengerjakan hal lain. Cukup beberapa menit setelah salat, akan bisa meningkatkan rasa syukur kita kepada Allah.

Sebelumnya kita membahas sedikit tentang napas sebagai salah satu karunia Allah SWT yang kerap kita lupakan. Padahal, seharusnya, napas yang kita tarik dan kita keluarkan adalah hal pertama yang kita syukuri karena karunia itu begitu melimpah.

Dari situ kita akan sadar bahwa napas adalah hal terakhir yang kita miliki. Saat tak punya rumah, kita masih punya napas yang bisa disyukuri. Saat tak punya kendaraan, kita masih punya napas yang bisa disyukuri. Bahkan saat tidak bisa makan dan minum, kita masih punya napas yang tersisa yang bisa disyukuri.

Karenanya, mensyukuri napas menjadi penting, karena kalau kita bisa mensyukuri napas kita tidak akan pernah berkata, “Apa yang harus saya syukuri, saya tak punya apa-apa?”

Mungkin ada yang menjawab, keluarga, anak, karier yang cemerlang, dan hal-hal besar lainnya. Biasanya, semakin besar sebuah karunia, semakin kencang kita berucap syukur. Kita bahkan sampai sujud saat punya anak, dapat mobil, bisa membeli rumah, mendapat penghargaan.

Tentu saja bersyukur untuk hal-hal seperti itu memang harus dilakukan.

Ada karunia terbesar yang Allah berikan kepada kita, tapi kita lupa mensyukurinya. Kita lupa bersyukur bukan karena karunia itu hanya diberikan sedikit, tapi karena diberikan sangat melimpah. Begitu banyaknya hingga kita menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja.

Karunia itu adalah napas kita.

Mungkin Anda akan berkata, “Ah, siapa bilang saya tidak mensyukurinya? Saya mensyukuri napas, kok.” Saya percaya Anda melakukan itu. Tapi, berapa sering? Coba periksa, kapan kita berkata, “Alhamdulillah ,ya Allah, saya bernapas.” Ini berbeda dengan kalimat: “Alhamdulillah ya Allah saya masih bernapas.”

Pada “Saya masih bernapas”, artinya kita mensyukuri hidup. Bersyukur karena kita masih bernyawa. Mensyukuri napas itu mensyukuri setiap tarikan dan embusan napas. Satu per satu. 

Dengan bersyukur kepada napas kita akan lebih menghargai alam, kepada bumi. Tuhan selalu mengingatkan bahwa cara mengingat dan bersyukur kepadaNya adalah melalui dan melihat ciptaanNya. 

Sebab dari alamlah oksigen berasal. Dari sanalah prosesnya bermula. Jika alam rusak, misalnya karena polusi, kita akan kesulitan bernapas. Karena itu, jika kita tahu dan sadar bahwa napas satu-satunya hal paling penting dan terakhir yang akan kita punya, tiap-tiap orang akan berjuang menghadirkannya.

Jangan sampai kita baru sadar bahwa napas adalah hal terakhir yang kita punya begitu oksigen sudah tak ada lagi. Atau kita baru sadar setelah alam rusak sehingga muncul virus ganas, seperti corona, yang menyerang dan merenggut harta terakhir yang kita punya: udara...

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain