Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 16 April 2020

Mengapa Kelelawar Jadi Sumber Virus Mematikan?

Kelelawar jadi sumber virus mematikan karena inang paling nyaman. Virus berpindah kepada manusia karena habitatnya menurun akibat pemanasan global.

Kelelawar acap dihubungkan dengan sumber penularan virus-virus ganas (Gambar: Syaibatul Hamdi/Pixabay)

VIRUS-virus ganas yang muncul di era modern acap dihubungkan dengan kelelawar. Mamalia ini sering dianggap sebagai pembawa virus yang menularkannya kepada manusia. Mengapa mereka jadi sumber pandemi?

Pertanyaan tentang mengapa kelelawar jadi sumber virus mematikan bagi manusia sudah lama diteliti dan dicarikan jawabannya. Sejak flu Spanyol, nipah, hendra, ebola, flu Timur Tengah (MERS), sindrom pernapasan akut (SARS), hingga yang sedang menjadi pandemi hari ini adalah virus corona 2019-nCov atau sering disebut juga SARS-CoV-2 atau coronavirus disease (Covid-19). Para ilmuwan menyebut 2019-nCov yang bermula di Wuhan, Tiongkok, akhir 2019, sebagai virus varian dari SARS yang menyerang Cina, lalu menyebar ke seluruh dunia, pada 2002.

Virus ini berasal dari keluarga besar virus corona. Penelitian terbaru oleh peneliti Cambridge University yang diterbitkan di Jurnal PNAS pada 7 April 2020  menyebutkan bahwa virus yang menyebar sekarang berbeda-beda tiap benua.

Virus yang berada di Cina adalah virus corona tipe A yang genomnya sama dengan gen kelelawar. Di Amerika dan Eropa, genom virus corona diduga sebagai turunannya berupa corona tipe C. Sementara di Asia adalah tipe B. Temuan ini menunjukkan bahwa virus SARS-CoV-2 bisa melakukan regenerasi dengan cepat dan daya adaptasi kuat sesuai keadaan wilayah tempat mereka berjangkit.

Belum ada kepastian bahwa virus corona dari Wuhan ini ditularkan oleh kelelawar karena struktur gennya mirip dengan tenggiling. Berbeda dengan flu SARS pada 2002 yang pertama kali ditemukan menginfeksi pengunjung pasar hewan liar, virus corona nCov-2019 bermula di pasar ikan Huanan. Pemerintah Cina segera menutup pasar itu begitu virus flu ini menular sangat cepat di awal Desember 2019.

Penjelasan Tai-Jin Kim dari Departemen Teknik Kimia Universitas Suwon, Korea Selatan, dalam jurnal Biomedical Science and Engineering memperjelas duduk soal penularan virus. Penelitian yang terbit pada 2019 ini menelisik hubungan jumlah emisi karbon di udara dan atmosfer dengan tiga virus mematikan yang pernah ada: flu Spanyol pada 1918, SARS 2002, dan MERS 2012.

Menurut Kim, inang pembawa virus bisa berbagai macam hewan, tapi siklusnya bisa diprediksi dengan melacak keadaan alam. Ia menyimpulkan bahwa virus-virus itu menginfeksi manusia sesaat setelah jumlah bintik matahari bertambah yang menunjukkan panas di bumi meningkat.

Jumlah bintik matahari disebabkan oleh kadar ultraviolet yang naik. Sinar ini dipicu oleh naiknya emisi karbon akibat pembakaran di bumi. Kita menyebutnya pemanasan global yang berakibat pada kematian ganggang di laut Polandia.

Kematian ganggang membuat koloni tiram merana karena kehilangan pakan. Ketika tiram-tiram itu sakit mereka dimakan burung laut. Burung-burung laut ini pun terinfeksi virus. Ketika mereka bermigrasi ke lautan yang lebih teduh untuk berkembang biak dan mencari makan, virus menular ke hewan laut lain. Dari sini virus menular ke manusia.

Lalu lintas udara juga menjadi medium penularan virus. Di sini, menurut Kim, burung berinteraksi dengan kelelawar yang sama-sama suka berbondong-bondong dalam koloni besar. Virus menemukan inang yang nyaman di tubuh kelelawar karena mereka hewan nokturnal: hidup di gua-gua gelap dan lembap. Sebab, pada umumnya virus tak tahan terpapar sinar ultraviolet dan suhu lebih dari 380 Celsius.

Virus makin nyaman tinggal di dalam tubuh kelelawar karena hewan ini memiliki sistem autoimun yang besar, sehingga kelalawar bertahan meski di tubuhnya bersarang banyak virus. Di dalam satu ekor kelelawar bisa hidup setidaknya 61 jenis virus. Saat ini diperkirakan terdapat 900-1.200 spesies kelelawar, kedua terbesar setelah hewan pengerat.

Tiap-tiap spesies kelelawar rata-rata memiliki 1,79 virus, paling banyak dibandingkan mamalia lain. Sebab, hewan pengerat yang merupakan mamalia dengan jumlah paling banyak, hanya memiliki rata-rata 1,46 jenis virus per spesies. Tiap ekor hewan pengerat menjadi rumah bagi 179 virus dengan 68 jenis virus yang bisa menular kepada manusia.

Penularan virus di dalam koloni kelelawar juga paling mudah karena, seperti manusia, mereka hidup bergerombol dan berdekatan. Di Malaysia, pada 1999 virus nipah menular kepada manusia melalui babi yang terinfeksi oleh kelelawar. Virus nipah menginfeksi 265 orang dan dari jumlah itu menewaskan 105 orang.

Virus-virus dari dalam tubuh kelelawar menulari hewan lain ketika mereka keluar sarang mencari makan. Maka, temuan sementara nCov-2019 di tubuh tenggiling masuk akal karena keduanya sama-sama hewan nokturnal.

Di Cina, setelah 2007, tenggiling dijual bebas di pasar hewan liar dan dikonsumsi karena dipercaya meningkatkan stamina dan membuat obat-obatan. Pelegalan konsumsi tenggiling itu memicu perburuan liar besar-besaran di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Traffic.org, sebuah lembaga nirlaba yang mengulik perdagangan ilegal satwa liar, menghitung selama 2010-2015 setidaknya 26.600 ekor tenggiling diselundupkan dari Indonesia ke Cina.

Wabah global di era modern.

Melalui lalu lintas udara, virus dari kelelawar juga menginfeksi burung. Tai-Jin Kim menduga kelelawar yang berinteraksi dengan burung menjadi perantara penularan virus SARS 2002 ketika bermigrasi di pesisir Guangxi, provinsi pertama temuan virus ini, yang menghadap langsung Samudra Pasifik.

Kelelawar adalah mamalia udara yang terbang dengan kecepatan 160 kilometer per jam. Kecepatan ini memerlukan energi besar sehingga mereka menghasilkan emisi yang besar juga ketika mencari makan. Panas tubuh kelelawar ketika terbang bisa mencapai 400 Celsius. Akibatnya, hanya virus yang mampu beradaptasi yang bisa bertahan di tubuh mereka. Kekuatan virus ini membuat ia menjadi mematikan ketika menginfeksi manusia.

Meski tinggal di hutan dan gua, komunitas kelelawar sebetulnya tinggal di dekat manusia, terutama di daerah-daerah tropis. Perburuan untuk konsumsi dan invasi manusia ke hutan membuat mereka kian mendekat kepada kita. Perpindahan virus dari tubuh mereka pun kian tak terelakkan.

Meski punya kekebalan tubuh alamiah yang tinggi, kematian kelelawar juga bisa diakibatkan oleh mikroba. Di Amerika dan Kanada pada 2006 sebanyak 80% spesies kelelawar tewas terkena jamur yang dikenal dengan nama “penyakit hidung-putih”. Di saat yang sama, jamur mematikan ini juga menyerang kelelawar di Cina timur dan Eropa.

Para peneliti menduga sindrom "hidung-putih" itu berasal dari jamur Geomyces destructans yang hidup di tempat gelap dan suhu dingin, yang menyerang hidung dan menempel di sayap ketika hibernasi. Tapi mengapa kelelawar bisa mati di habitat mereka sendiri? Para peneliti menduga penyebabnya adalah pemanasan global.

Di Tennesse, tempat koloni kelelawar yang banyak mati, ada kenaikan suhu udara cukup signifikan ketika jamur hidung itu merebak. Kenaikan suhu udara membuat kelelawar terganggu proses hibernasinya sehingga mereka sakit. Akibatnya, kekebalan tubuh mereka menurun. Serangan jamur dari luar tubuh mereka, dan virus yang ada dalam tubuh mereka, mematahkan pertahanan tubuh alamiah kelelawar. Menurut The International Union for the Conservation of Nature (IUCN) sepertiga populasi kelelawar dalam status terancam dan hampir punah.

Kematian kelelawar tak hanya karena perubahan iklim tapi juga indikator iklim yang berubah. Kelelawar adalah penyeimbang ekosistem yang berperan dalam pembuahan dan penyerbukan yang menahan laju kenaikan suhu. Mereka menjadi restorator alami bagi bumi. Pertanian modern membuat habitat mereka terganggu karena kehilangan serangga sebagai bahan utama makanan yang punah akibat pemakaian pestisida.

Kepunahan kelelawar membuat bumi memanas. Panas membuat banyak hewan sakit sehingga virus meruyak. Virus-virus ini pun kehilangan inang mahluk hidup paling nyaman sehingga mereka mencari inang baru yang paling dekat: manusia.

Gambar oleh Syaibatul Hamdi dari Pixabay.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain