Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 20 Maret 2020

SVLK Dihapus Demi Apa?

Kementerian Perdagangan menghapus sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dalam syarat ekspor industri kehutanan. Merusak investasi dan lingkungan sekaligus. Ada dugaan atas desakan pengusaha mebel dan rotan.

Kayu jati, kosambi, dan biti (bengkok) sebagai bahan baku kapal Pinisi.

PARA pemerhati lingkungan dikejutkan oleh munculnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan pada Februari lalu. Peraturan ini menghapus ketentuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan menghilangkan pemberlakuan V-Legal dalam perdagangan industri kayu.

Dilihat dari pertimbangannya, kebijakan baru ini ingin memberikan kepastian berusaha untuk mendukung efektivitas pelaksanaan ekspor produk industri kehutanan. Kedua, melaksanakan hasil keputusan rapat koordinasi bidang perekonomian melalui penyederhanaan perizinan ekspor produk industri kehutanan.

Benarkah tujuan dan pertimbangan itu? Dan apa konsekuensinya? Sebagai orang yang terlibat dalam pembentukan SVLK, saya ingin mengajukan analisis dan pendapat atas kebijakan baru itu.

BACA: Omnibus Law Sudah Berjalan di Industri Kehutanan

Bagi para penggiat lingkungan yang menganggap sistem SVLK sebagai sebuah upaya menjaga kelestarian lingkungan seraya memberi peluang terhadap pengelolaan ekonomi, kebijakan ini terasa sebagai desakan beberapa pengusaha mebel kayu dan rotan yang mengusulkan tidak diberlakukannya SVLK untuk produk yang akan diekspor ke negara yang tidak meminta verifikasi. Para pelaku usaha mebel kayu dan rotan memang mengusulkan SVLK dihapus seperti terlihat dari rapat terbatas bertopik “Peningkatan Ekspor Permebelan, Rotan dan Kayu” pada 10 September 2019, untuk menghapus SVLK pada industri kecil-menengah.

Dua pertimbangan tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah sembrono dalam membuat kebijakan karena tak melihat perjuangan Indonesia keluar dari stigma sebagai negara yang buruk dalam mengelola sumber daya hutan karena maraknya pembalakan liar. SVLK muncul untuk menghapus stigma itu karena kayu bisa dilacak legalitas proses dan sumbernya, sehingga pembeli tak terbebani oleh asal-usul dan legalitas kayu yang mereka beli.

Pembalakan liar itu mengakibatkan kerusakan hutan. Dampaknya produk hutan kita diboikot oleh negara pembeli. Tapi bukan karena tuntutan pasar belaka SVLK dibuat. Sistem verifikasi menjadi solusi atas pengelolaan hutan lestari dan kebutuhan pasar. Sejarah bagi Indonesia, SVLK dibuat atas inisiatif kita sendiri. Bukan pesanan negara pembeli apalagi politik Uni Eropa.

SVLK dirintis sejak 2003. Uni Eropa tertarik dengan gagasan pionir Indonesia ini dan melalui proses negosiasi, penandatanganan dan ratifikasi pada periode Tahun 2007-2014. Uni Eropa akhirnya menerima lisensi SVLK sebagai suatu standar yang disetarakan dan diakui dengan lisensi EU Timber Regulation. SVLK bukan merupakan hasil kebijakan “diskriminatif” Uni Eropa tetapi inisiasi Indonesia yang diakui Uni Eropa secara hukum.

Memang, sejak awal implementasi SVLK disikapi secara beragam oleh stakeholder kehutanan. Seharusnya, Kementerian Perdagangan perlu memahami terlebih dahulu apakah sebenarnya persoalan riil kehutanan di lapangan yang harus dituntaskan. Mengapa harus hulu dan hilir yang diperbaiki? Sejauh mana SVLK berkontribusi mengatasi persoalan-persoalan tersebut?

Beberapa pelaku usaha mebel kayu dan rotan pernah mengeluh kepada Presiden—pengusaha mebel dari Solo—terkait sulitnya perizinan dan produk yang terkena pajak dan pembiayaan, terutama tingginya tingkat bunga pinjaman. Kesulitan tersebut dianggap sebagai kendala bagi ekspor produk-produk tersebut.

Persoalan tersebut sebenarnya dihadapi hanya di beberapa pelaku usaha yang sejak awal tidak sepenuhnya berusaha di produk-produk berbasis kayu. Spekulan dan broker ekspor sangat sulit terakomodasi dalam sistem SVLK, dan sulit dibenahi.

Mengapa Harus Hulu ke Hilir?

Pada awal sistem dibangun, tata kelola yang buruk hanya terjadi di kawasan hutan negara yang ditandai dengan maraknya pembalakan liar. Namun ternyata legalitas kayu-kayu yang berasal dari negara lain yang masuk ke Indonesia juga memiliki persoalan serupa. Bahkan kayu ilegal berasal dari hutan hak, yang pada dasarnya merupakan kayu yang paling sah di sisi hukum, terutama di Pulau Jawa.

Perkembangan lalu lintas peredaran kayu dan produk perkayuan di dalam negeri termasuk yang berasal dari impor sangat kompleks. Untuk memastikan semua rantai produksi, peredaran, dan perdagangan memiliki status legal, SVLK diberlakukan dari hulu ke hilir. Selain itu, SVLK tidak hanya terkait bahan baku legal saja, melainkan usahanya juga harus sesuai dengan aturan yang berlaku.

BACA: SVLK: Tulang Punggung Perdagangan Kayu

Dari keseluruhan rantai pasok, industri kecil dan menengah (IKM) memiliki peran penting, terutama industri skala rumah tangga yang jumlahnya ribuan di beberapa sentra produksi, seperti Jepara dan Yogyakarta di Jawa. SVLK melindungi mereka terutama terkait kepastian usahanya.

Sistem ini memaksa pemerintah daerah memberikan pelayanan yang cepat dan mudah pada proses-proses perizinan usaha kecil. Mereka harus jemput bola melalui Klinik SVLK, agar terlepas dari jeratan mafia ijin yang lama melekat pada jaringan tata-niaga usaha mebel dan kayu.

Bahkan selain menyediakan dana untuk sertifikasi industri kecil-menenag dan kelompok sertifikasi usaha rumah tangga, pemerintah mempermudahnya kebijakan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP), yang meringankan industri kecil untuk memenuhi SVLK dan mereka bisa mengekspor produknya memakai dokumen DKP.

Pengakuan Dunia Terhadap SVLK

Dalam kurun waktu 10 tahun, SVLK telah meningkatkan daya saing produk kayu Indonesia karena maju dalam legalitasnya sehingga lebih banyak diserap pasar. SVLK diposisikan sebagai merek nasional produk perkayuan Indonesia. Dengan SVLK, produk kayu Indonesia menempati mendapat posisi baru sebagai produk legal dan sesuai dengan pengelolaan hutan lestari.

SVLK telah mendapatkan pengakuan dari dua pasar regulated, yaitu Australia dan Uni Eropa. Dengan pengakuan Australia itu, produk perkayuan Indonesia dianggap bisa memenuhi ILPA (Illegal Logging Prohibition Act) yang berlaku sejak 2014, sehingga produk kayu Indonesia tak perlu diselidiki lagi legalitasnya begitu masuk pasar mereka.

Sementara Uni Eropa memberikan pengakuan terhadap SVLK melalui pemberian hak penerbitan Lisensi FLEGT sejak 15 Nopember 2016. Dengan lisensi The European Union Forest Law Enforcement, Governance and Trade. Dengan begitu, kayu Indonesia bisa memasuki pasar 28 negara anggota Uni Eropa tanpa diuji lagi.

Sampai saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang mendapatkan lisensi FLEGT di antara 15 negara yang mengikat perjanjian dalam konteks FLEGT-VPA untuk mendapatkan lisensi. Meski Inggris telah keluar dari Uni Eropa, negara ini tetap mengakui SVLK sebagai jaring legal produk kayu Indonesia.

Jepang juga memberlakukan Gohowood 2006. Namun kerja sama Indonesia-Jepang melalui penandatanganan kesepakatan dalam perdagangan kayu belum dibuat karena implementasi aksi Jepang lebih diserahkan pada business to business.

Adapun Amerika Serikat (AS) juga memberlakukan Amandemen Lacey Acttahun 2008. Namun ketika Indonesia mengajak Amerika bekerja sama, atase perdagangan Amerika di Jakarta menganggap implementasi cukup dua pihak yang bertransaksi, tak perlu melibatkan negara.

SVLK memang masih dianggap memiliki kekurangan, tapi sudah banyak usaha memperbaikinya, seperti: 

(1) membuat alternatif untuk sertifikasi secara kelompok bagi pelaku usaha kecil dan masyarakat;

(2) menyediakan anggaran untuk sertifikasi secara kelompok, baik yang berasal dari APBN Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, tanggung jawab sosial perusahaan serta pihak ketiga;

(3) mendesain standar berdasarkan peraturan yang berlaku untuk masing-masing kategori usaha sehingga industri kecil tidak disamakan dengan industri besar;

(4) membuka kesempatan untuk pembuktian dokumen angkutan kayu yang lebih mudah dengan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP); dan

(5) memperluas cakupan norma penilaian agar lebih mudah dipenuhi.

Negara-negara lain ingin memiliki sistem lisensi legal dan lacak balak seperti SVLK. Indonesia tidak hanya menjadi pionir, tetapi juga model negara bertanggungjawab bidang legalitas produk kayu. Negara yang mencontoh Indonesia dan secara operasional sudah memiliki sistem seperti SVLK adalah Kamerun, Afrika Tengah, Ghana, Guyana, Honduras, Liberia, Kongo dan Vietnam. Negara yang mencontoh Indonesia dan masih berunding dengan Uni Eropa adalah Pantai Gading, Gabon, Laos, Malaysia, dan Thailand. Sementara Cina dan Myanmar tengah menyusun sistem legalitas kayu dengan mencontoh SVLK.

Setelah punya SVLK, Vietnam menjadi pesaing berat Indonesia dalam menjual kayu di pasar Eropa. Meski begitu, di dunia internasional, Indonesia dianggap sebagai perintisnya dan punya komitmen dalam melestarikan hutan.

Jika argumen di atas kurang, mari kita lihat data perdagangan sejak Indonesia memberlakukan SVLK. Tahun 2013, nilai perdagangan kayu Indonesia US$ 6 miliar. Naik terus dari tahun ke tahun hingga US$ 11,62 miliar pada 2019.

Nilai ekspor perdagangan kayu Indonesia.

Secara keseluruhan tercatat bahwa sejak 2013, SVLK telah menyumbangkan ekspor produk kayu sebesar US$ 68,37 miliar. Maka jika ada asosiasi yang terus mendengungkan bahwa SVLK menghambat industri mebel, itu hanya kampanye buruk yang tak berdasar. Sebab data ekspor furnitur juga naik terus. Tahun 2016 hanya US$ 1,6 miliar, tahun 2018 naik 4% menjadi Rp 24 triliun.

SVLK dengan V-legal Dokumen, merupakan jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikasi dari pasar internasional yang menguntungkan industri mebel kita. Karena itu jika ia dihapus sebagai syarat ekspor, lalu digantikan oleh verifikasi yang timnya ditunjuk oleh Menteri Perdagangan, hanya akan membuat kepercayaan pasar internasional kembali turun. Negara-negara pesaing kita akan dengan senang dengan kebijakan ini karena produk mereka akan diutamakan di pasar luar negeri.

Artinya, Keputusan Menteri Perdagangan itu bunuh diri dengan dua mata pisau: bagi lingkungan dan ekonomi.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional 2006-2012, penasihat senior Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia Kehati

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain