Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 25 Februari 2020

Strategi Konservasi di Era Digital

Di era digital, perlu strategi komunikasi agar konservasi menjadi literasi publik. Saatnya dua arah.

Konservasi di era digital

KONSERVASI membutuhkan komunikasi. Apalagi di era digital seperti sekarang. Komunikasi memerlukan dua arah. Karena itu komunikasi memerlukan pemahaman yang sama antara kedua belah pihak. Untuk sampai ke sana perlu ada yang disebut degan literasi publik atau public literacy. Apalagi jika menyangkut soal kebijakan pemerintah. 

Intinya adalah adalah pendidikan, penyuluhan, komunikasi publik interaktif tentang berbagai macam kebijakan dan berbagai regulasi pemerintah, terutama yang menyangkut dan berdampak langsung pada publik. Publik di sini bukan hanya masyarakat umum, masyarakat pinggir hutan, masyarakat adat yang di dalam hutan, tapi juga unsur pemerintah daerah di berbagai tingkatan, pakar, peneliti, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak swasta. Kelompok yang terakhir ini juga banyak tidak mengetahui karena ada begitu banyak aturan dan undang-undang yang harus dipahami oleh mereka dan semua orang.

Publik, baik secara individu atau komunitas yang terdidik dan memiliki pengetahuan yang cukup dan memiliki kesadaran, akan cenderung dijadikan mitra kunci atau pelaku utama untuk membangun gerakan bersama, dengan tingkat keterlibatan yang tinggi. Publik yang tahu regulasi, publik yang berpengetahuan dan berpengalaman dalam menangani suatu masalah yang dihadapi pada skala lokal, akan cenderung mampu menangani persoalan yang dihadapi di lingkungannya dan bahkan bisa membangun sistem peringatan dini serta banyak inisiatif yang bermanfaat untuk kepentingan mereka sendiri.

Pemerintah sebaiknya memiliki strategi kampanye dan cara berkomunikasi yang cocok di era digital saat ini. Karena jenis komunikasinya sama sekali berbeda dengan model komunikasi sepihak: penyuluhan, demonstration plot, atau yang lainnya. Di zaman digital, komunikasi hampir realtime, juga membuka naiknya partisipasi publik, masyarakat bisa melapor dengan apa yang terjadi di sekelilingnya.

Jika tak ada komunikasi dengan mereka, masyarakat akan mencari ruang ekspresinya di hampir semua media sosial yang ada saat ini. Bahkan Presiden Joko Widodo memakai Instragram dan Twitter dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Hal ini tentu tidak terjadi di era 2010-an.   

Burungnesia

Swiss Winnasis, seorang pecinta burung yang pernah bekerja sebagai pegawai negeri sipil  di Taman Nasional Baluran, sejak 2017 mengembangkan aplikasi Android dengan nama “Burungnesia”. Di aplikasi ini ada terdapat folder field guide, koleksi foto burung, deskripsi ringkasnya yang mencapai 1.733 jenis, serta status perlindungannya. Melalui aplikasi ini siapa pun yang suka mengamati burung di alam, bisa melaporkan keadaan burung di sebuah kawasan kepada Burungnesia, Dengan  demikian, dalam waktu yang tidak lama, aplikasi ini bisa menghimpun beragam data tentang burung.

Inilah yang disebut sebagai “citizen science”, terbangunnya kesadaran kolektif terhadap perlindungan terhadap satwa tertentu, yang kemudian difasilitasi dengan teknologi informasi canggih, dan dengan cepat membangun aksi kolektif yang sangat luas dan hampir tidak terbatas kemungkinannya ke depan. Secara tidak langsung, namun dengan hasil yang luar biasa karena didukung oleh teknologi, Swiss telah mempraktikkan apa yang disebut “public literacy” itu.

Call Center

Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, dengan 74 Unit Pelaksana Teknis di seluruh Indonesia, 22 Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan 52 Balai Taman Nasional, membuat terobosan membuat Call Center. Tujuannya agar masyarakat proaktif berpartisipasi melaporkan kejadian di lingkungannya, seperti pembalakan liar, perburuan satwa, penyerahan satwa, perambahan hutan, pencemaran, dan hal-hal lain yang masyarakat perlu ketahui. 

Balai KSDA DKI Jakarta, pada tahun 2018, telah menerima telepon dari masyarakat sebanyak 973 kali, sebagian besar ternyata laporan akan menyerahkan satwa burung (63%), mamalia (23%), dan reptil (13%). Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Interaksi masyarakat dengan kantor Balai KSDA DKI ini merupakan salah satu bentuk public literacy yang cukup efektif, dan topiknya bisa berkembang ke ragam kebijakan pemerintah lainnya.

Penyusunan Zonasi  dan Sokola Rimba

Balai Taman Nasional Bukit 12 yang dihuni oleh suku anak dalam di 11 tumenggung, sejak tahun 2018 telah membangun komunikasi asertifnya melalui cara yang sangat elegan, yaitu menyusun zonasi taman nasionalnya, melalui pendekatan komunikasi dengan 11 tumenggung. 

Pengetahuan lokal mereka tentang tata ruang hutan dan tata cara mengelolanya menjadi basis untuk dipadukan dengan regulasi pemerintah, adanya zona inti (hutan larangan), zona rima (hutan yang dikelola secara terbatas), dan zona lainnya yang secara adat selaras dengan penataan formal oleh pemerintah.

Staf Balai Taman Nasional Bukit 12 juga melanjutkan sekolah rimba yang dibuat oleh Butet Manurung puluhan tahun yang lalu, dengan membangun sekolah bergerak (mobile school), yakni guru yang ikut muridnya. Guru datang ke ladang karena anak-anak ikut membantu orang tuanya. Sebuah literasi publik yang sangat unik. Bahkan saat ini telah diterbitkan kamus bahasa Suku Anak Dalam, khususnya untuk komunikasi terbatas, sesuai dengan kebutuhan. 

Dengan model seperti ini, maka dapat dibangun pemahaman tentang kebijakan pemerintah dengan bahasa yang mudah diterima oleh masyarakat yang tinggal di dalam hutan sekalipun seperti suku anak dalam ini.

Maka, public literacy memerlukan medium dan cara yang tepat, agar pesan yang disampaikan bisa diterima dan dipahami dengan baik oleh masyarakat yang beragam tingkat pengetahuan, pengalaman, dan tingkat kemelekan teknologinya. Beberapa contoh di atas, telah menunjukkan kepada kita pentingnya strategi komunikasi publik dalam membangun kesadaran kolektif. Tema-temanya bisa sangat luas, menyangkut kelola sampah, pemadaman api, konflik satwa-manusia, dan lain sebagainya.

Gambar oleh Pexels dari Pixabay

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain