Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 26 November 2019

Membaca Perubahan-Perubahan Besar

Perubahan besar di dunia kehutanan dimulai pada 2015. Kita menyebutnya disrupsi.

Susunan batu

SEDANG ada perubahan-perubahan besar di dunia kini. Presiden Joko Widodo memilih Nadiem Makarim, seorang lulusan sekolah bisnis di Harvard menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Saya duga akan ada perubahan mendasar dalam dunia pendidikan lima tahun ke depan dengan kehadiran Nadiem.

Di dunia kehutanan, perubahan besar dimulai pada 2015, ketika pemerintah mencanangkan perhutanan sosial—pemberian akses dan hak mengelola hutan kepada masyarakat di sekitarnya. Setelah akses dan hak diberikan kepada pengusaha selama 30 tahun, pemerintah merasa perlu memberikan rasa keadilan memberikan akses yang sama kepada masyarakat kecil yang hidup dan tergantung sepenuhnya pada hutan di sekitar mereka.

Dalam dunia psikologi, perubahan besar itu disebut “growth mindset”. Saya membaca pertama kali istilah ini pada artikel Hiring for Attitude oleh Eilen Rachman dan Emilia Jakob di Kompas pada 26 Maret 2016. Kedua pakar tersebut menyatakan bahwa mereka yang memiliki “growth mindset” akan memfokuskan energi positif mereka dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan. Mereka tidak takut bangun lebih pagi, berjalan lebih jauh, berusaha dua kali libat dibandingkan dengan rekan-rekannya dan bahkan bangun lagi dengan cepat bilamana mereka mengalami kegagalan.

Mereka yang memiliki “growth mindset” bukanlah mereka yang tidak pernah merasa takut akan keterbatasan mereka, tetapi semata-mata lebih karena mereka tidak membiarkan rasa takut itu menguasai mereka. Nelson Mandela mengatakan : “I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it. The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear”.

Dalam Harvard Business Review Special Issue, Winter, 2019, Carol Dweck mengulas kembali soal ini dalam artikel “What Having a “Growth Mindset” Actually. Ia menyatakan banyak orang rancu bahwa growth mindset sama seperti menjadi fleksibel atau open minded atau memiliki pandangan ke depan yang positif. Ini ia sebut sebagai kerancuan pertama. Yang kedua, growth mindset adalah bukan sekadar hanya “praising and rewarding efforts”.

Sangat krusial memberikan penghargaan (reward) bukan hanya terhadap usaha tetapi juga terhadap learning and progress. Juga menekankan pada proses yang menghasilkan uji coba strategi baru, dan mengkapitalisasi setback untuk maju lebih efektif.

Mengadopsi growth mindset saja tidak serta merta hal-hal baik akan terjadi. Organisasi yang akan mewujudkan suatu growth mindset harus bisa mendorong pengambilan risiko yang tepat, mengetahui bahwa beberapa risiko tidak bisa diatasi. Mereka memberikan reward pada staf yang banyak mengambil pelajaran walaupun suatu kegiatan atau proyek belum bisa mencapai tujuan.

Akhirnya Dweck mengatakan bahwa suatu perusahaan atau organisasi yang memainkan “talent game” akan membuatnya lebih keras untuk orang mempraktikkan pemikiran dan laku growth mindset. Misalnya, dalam berbagi informasi, kolaborasi, inovasi, mencari feedback, atau mengakui kesalahan.

Walaupun sebagian besar uraian Carol Dweck di atas ditujukan untuk sektor usaha, namun saya yakin bahwa organisasi publik atau organisasi pemerintah sebaiknya mengakomodasi banyak hal dari pemikirannya. Perubahan cepat yang terjadi saat ini menuntut perubahan dalam birokrasi pemerintah. Inilah yang sering dikatakan sebagai reformasi birokrasi. Dalam proses melakukan reformasi birokrasi diperlukan seorang pemimpin dengan kapasitas kepemimpinan yang memiliki modal sosial berupa growth mindset tersebut.

Misalnya kemampuan dan keberanian membuat inovasi, membangun jejaring kerja dan kolaborasi multipihak baik di internal kementerian maupun dengan publik. Keberanian mengambil risiko dalam melaksanakan terobosan baru dan inovasi yang tentu saja belum ada regulasinya, menjadi ciri dari seorang pemimpin yang memiliki growth mindset. Penempatan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan penerapan perhutanan sosial sebagai kebijakan utama mengelola hutan adalah bagian dari inovasi itu.

Saat ini masyarakat telah diberikan akses kelola kepada masyarakat desa-desa pinggir hutan seluas lebih dari 3,5 juta hektar, dengan periode 35 tahun, di hutan produksi dan hutan lindung. Dalam hal desa-desa di pinggir atau di dalam hutan konservasi, mereka diberikan akses mengelola hutan melalui skema Kemitraan Konservasi. Masyarakat desa hutan yang dahulu hanya menjadi penonton, kini menjadi pelaku utama atau subyek dalam mengelola kawasan hutan negara yang telah diberikan aksesnya.

Kiblat pengelolaan hutan negara yang dulu diutamakan untuk perusahaan besar, diubah total arahnya kepada “wong cilik”. Perubahan ini tentu telah diperjuangkan dalam waktu yang lama, namun inilah salah satu wujud dari “growth mindset”. Rheinald Kasali mengatakan bahwa perubahan besar-besaran seperti ini disebut totally innovation atau disruption.

Potensi perhutanan sosial telah ditetapkan 12,7 juta hektare yang diharapkan bisa mengubah nasib lebih dari 10 juta jiwa petani di seluruh tanah air. Sedangkan di kawasan konservasi, potensi kemitraan konservasi, apabila didasarkan pada wilayah kawasan konservasi yang telah digarap masyarakat, tidak kurang dari 1,8 juta hektare. Perubahan model kelola kawasan konservasi yang sangat eksklusif di masa lalu, sejak tahun 2018 telah saya ubah menjadi lebih inklusif, dengan menyodorkan apa yang disebut sebagai “Sepuluh Cara (Baru) Mengelola Kawasan Konservasi, Membangun Learning Organization”.

Terobosan ini sedang diujicobakan di 74 Balai Taman Nasional dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam di seluruh Indonesia, dengan cara menguji role model. Masyarakat harus menjadi bagian dari solusi kelola kawasan konservasi. Masyarakat menjadi subyek. Memanusiakan manusia sebagai mahluk sosial, sehingga komunikasi dan dialog asertif menjadi faktor kuncinya.

Saya meyakini berbagai konflik pengelolaan sumber daya hutan bisa diselesaikan melalui proses dialog membangun kesepahaman dan kesepakatan untuk dilaksanakan secara bersama. Proses pembelajaran menyertai di sepanjang pelaksanaan kerja bersama seperti ini, melalui proses yang disebut sebagai “adapative collaborative management”, yang berlangsung secara terus menerus.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain