
DALAM perjalanan dari Dharmasraya ke Bukittinggi di Sumatera Barat semalam, saya terjebak dalam obrol-obrolan tentang langkah Presiden Joko Widodo yang bersekutu dengan DPR melemahkan KPK. Di mobil itu ada ahli hukum dan aktivis anti korupsi. Setelah beragam argumen kami sampai pada kesimpulan: tak ada alasan kuat kewenangan KPK yang pokok dilucuti sedemikian rupa dalam undang-undang yang baru disahkan itu.
Kita tahu KPK adalah lembaga yang punya integritas paling tinggi di mata masyarakat. Pelbagai survei telah menyebutkan itu. Rakyat Indonesia menaruh harapan pada lembaga ini bisa memberantas penyakit paling akut negeri ini. Karena itu, keberadaannya coba terus digergaji secara bertubi-tubi. Para politikus di DPR sudah membuat argumen yang menyorot kekurangan-kekurangan KPK. Di dalam mobil itu kami saling berbantah dan berakhir dengan gagal-paham mencerna semua argumen para politikus itu.
Hari-hari ini, gagal paham itu bukan hanya pada Undang-Undang KPK. DPR tengah menggodok sejumlah aturan yang mahapenting: pertanahan, budidaya pertanian, mineral dan batu bara, maupun perkoperasian. Alih-alih membuat undang-undang untuk memecahkan masalah-masalah fundamental, semua rancangan itu berpotensi menghadirkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Dengan cara yang sama, seperti kisruh UU KPK, DPR dan pemerintah menyebut semua undang-undang itu diklaim demi kesejahteraan rakyat dan hal-hal lainnya yang sangat menjanjikan. Padahal, jika kita rinci pasal-per-pasal, tujuan untuk kesejahteraan itu jauh panggang dari api.
Ambil contoh soal penguatan KPK. Dalam undang-undang baru justru makin terbuka kesempatan proses pengadilan bagi para koruptor yang sedang berjalan akan terhenti sehingga potensi korupsi yang sedang terjadi dengan mudahnya membesar. Rancangan Undang-Undang Pertanahan justru mengandung pasal-pasal pemutihan lahan dan ketidakpastian interpretasi yang terlihat sengaja dipasang sebagai cara negosiasi atau meluaskan diskresi ketika dipakai dalam tataran praktis.
Begitu juga dengan dalih KPK akan didorong dalam hal pencegahan korupsi daripada penindakannya seperti sekarang. Alasan ini tetap tak masuk akal.
Setelah terlibat sembilan tahun turut serta mendorong perbaikan kebijakan pengelolaan sumber daya alam, saya merasa semuanya bisa berjalan justru dengan peran KPK menindak dugaan korupsi. Saya melihat, tak hanya soal teknis dan prosedural, dengan kewenangannya yang besar itu KPK mampu mengurai konflik kepentingan di balik korupsi sumber daya alam. Keberadaan KPK bahkan menumbuhkan semangat anti korupsi di kalangan birokrasi.
Saya tak bisa membayangkan peran yang sama bisa dilakukan lembaga-lembaga pemerintah. Kekuatan struktural korupsi umumnya terjadi secara kriminogenik karena sudah tertanam di dalam regulasi ataupun prosedur kerja administrasi, berupa kebiasaan-kebiasaan melakukan hal-hal korup, membuka kesempatan korupsi melalui penggunaan peran negara (state capture corruption), maupun tekanan orang berpengaruh dari luar lembaga yang bahkan ikut menentukan karier birokrat.
Persoalan struktural akut akibat state capture corruption terjadi secara turun-temurun sehingga korupsi menjadi sesuai aturan. Korupsi perizinan, misalnya, terjadi karena kebiasaan itu telah tertanam sejak hari pertama seseorang menjadi staf birokrasi, sehingga semua perbuatannya dianggap normal. Saya bisa menyimpulkan seperti ini setelah meneliti proses terjadinya korupsi di dalam organisasi pemerintah pada 2017-2018.
Hasilnya sejalan dengan isi buku "Crime and Corruption in Organizations: Why it occurs and what to do about it" oleh Ronald J Burke, dkk (ed) (2011). Di sana disebutkan bahwa para pelaku kriminal dan korupsi di suatu lembaga cenderung mendapat pembenaran, sehingga menjadi kebiasaan yang dianggap wajar. Celakanya lagi, kewajaran itu akibat proses "sosialisasi", sehingga korupsi menjadi tindakan bersama.
Saya melihat lebih jauh: semangat antikorupsi di birokrasi melalui pendampingan KPK bukan karena adanya insentif kebijakan melainkan karena proses fasilitasi pencegahan korupsi lebih akibat integritas dan independensi KPK. Insentif kebijakan yang dimaksud, misalnya, kewenangan alokasi anggaran seperti dimiliki DPR yang bisa membuat suatu unit kerja atau lembaga (terpaksa) mengikuti perintah tertentu karena ia harus mendapatkan anggaran untuk mewujudkan kepentingannya. KPK tidak punya kewenangan seperti itu.
Bisa dibayangkan apa jadinya bila KPK kehilangan daya dobrak penindakan korupsi dan para birokrat yang kini sedang berjibaku mencegah korupsi kehilangan simbol patriot yang sudah terbukti mampu menangkap koruptor-koruptor di sekitarnya. Mungkin saja KPK akan berubah hanya sebagai pengkhotbah kejujuran tanpa mampu menjadi figur pendobrak konflik kepentingan dan penyebar semangat anti-korupsi.
Harus ditegaskan di sini bahwa keberhasilan pencegahan korupsi sangat tergantung pada efektivitas penindakannya. Sebab begitu dalamnya masalah struktural yang tertanam di dalam birokrasi kita, sehingga pencegahan korupsi bukan terjadi akibat perubahan teks kebijakan atau adanya tabel rencana aksi, tetapi jika ada tekanan dan paksaan.
Lebih jauh lagi, dari pengalaman saya terlibat dalam advokasi pencegahan, korupsi struktural itu terjadi karena ilmu pengetahuan tidak dipakai untuk mendukung perubahan menuju perbaikan, tapi mendukung kepentingan untuk merusak sistem kerja. Perlu diketahui bahwa akibat korupsi struktural, sendi-sendi keluhuran budi sebagai modal sosial kita akan hancur.
Oleh karena itu tidak ada jalan lain bagi masyarakat antikorupsi dan gerakan antikorupsi untuk melakukan uji materi atas Undang-Undang KPK yang baru ini ke Mahkamah Konstitusi. Atau, cara yang lebih ringkas adalah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang KPK yang mengembalikan independensi dan kewenangan lembaga ini seperti semua. Tentu saja imbauan ini bisa terjadi jika Presiden memang berniat menjadi pemimpin gerakan anti-korupsi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :