Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 14 Agustus 2019

Bahasa Media, Bahasa Simbol

Pilihan kata dan istilah yang dipakai media mencerminkan pemihakan wartawan kepada objek berita. Analisis ringan pemakaian kata “terdampak” dalam tumpahan minyak ONWJ Pertamina. Bahasa simbol adalah bahasa media.

Tumpahan minya dari rig lepas pantai Pertamina di Karawang, pantai utara Jawa Barat

DALAM satu bulan terakhir, berita-berita di media riuh oleh kualitas udara Jakarta yang memburuk, gempa, dan mati listrik hampir sepulau Jawa, menenggelamkan berita tumpahnya ribuan barel minyak mentah yang menyembur dari salah satu sumur minyak lepas pantai Pertamina Hulu Energi (Offshore North West Jawa, ONWJ).

Tumpahan minyak yang awalnya mengotori perairan di utara Karawang, kini bergerak ke Teluk Jakarta, bahkan mencapai Serang, Banten. Selain kerusakan lingkungan, tumpahan minyak mengancam mata pencarian nelayan karena mereka tak bisa melaut. Kian jauh jangkauan tumpahan minyak, semakin luas ruang di media untuk memberitakan insiden tersebut.

Yang menarik bagi saya adalah bagaimana media atau jurnalis memakai kata “terdampak” untuk menggambarkan insiden tersebut. Saya mencari kata kunci “terdampak tumpahan minyak ONWJ” dalam rentang satu bulan di Google News. Per hari ini, 14 Agustus 2019, ada 12 halaman hasil pencarian, dengan rata-rata 10 berita per halaman, yang antara lain ditayangkan oleh media arus utama yang dikenal kritis dan objektif.

Selanjutnya, saya memakai frasa “tercemar tumpahan minyak ONWJ”, yang hanya menghasilkan lima halaman. Ketika saya memasukkan frasa “korban tumpahan minyak ONWJ”, hanya dua halaman hasil pencarian yang muncul. Baik kata “korban” maupun “tercemar”, walau yang belakangan lebih banyak digunakan, bukan pilihan populer yang dipakai para jurnalis.

Di sini, saya melihat bagaimana sebagian media dan jurnalis kehilangan ketajaman dan kejernihan dalam menarasikan sebuah peristiwa penting. Pilihan bahasa mereka mencerminkan objektivitas dan bagaimana para jurnalis memandang sebuah peristiwa.

Sebelum membahas pentingnya diksi tersebut, perlu sesekali menengok ulang literatur ihwal identitas profesi jurnalis. Donsbach (2009) menyebutkan bahwa jurnalis adalah profesi yang bertujuan melayani publik. Lebih dari sekadar mengabarkan sebuah peristiwa, jurnalis dituntut membedakan mana yang diyakini benar dan mana yang gosip. Kovach (2001), dalam Element of Journalism, yang merupakan bacaan wajib para pewarta, menegaskan bahwa kewajiban utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran dan membela publik.

Jurnalis, menurut Kovach, harus mengawasi siapa pun yang memiliki kekuatan. Wartawan pun dikenal sebagai anjing penjaga (watchdog) kepentingan publik, yang harus menggonggong kepada politisi, korporasi, bahkan ulama sekalipun jika diyakini menyalahgunakan kuasanya dan membahayakan orang banyak. Maka, saat mengaplikasikan prinsip watchdog, jurnalis wajib menyuarakan mereka yang terpinggirkan—kelompok yang tak mampu membangun dan menyebarkan narasi versi mereka atas sebuah peristiwa.

Dengan tugas mulia itulah, jurnalis mendapatkan privilese dalam menjalankan tugasnya. Jurnalis bisa masuk ke kantor-kantor pemerintahan, memiliki akses ke pejabat publik, berada di tempat kejadian perkara, bahkan mendapat tempat khusus di ruang sidang wakil rakyat atau di tribune stadion dalam ajang olahraga. Mengutip nasihat terkenal Paman Ben kepada Peter Parker—yang kemudian menjadi pewarta foto dalam Spiderman—“dengan kekuatan (privilese ) yang besar, tanggung jawab yang kamu emban pun kian besar pula”.

Tak pelak, jurnalis dan tulisannya ditakuti banyak pihak. Bahasa adalah senjata wartawan. Pepatah Arab mengatakan “pena lebih tajam dari pedang”. Penguasa Prancis Napoleon Bonaparte menyatakan ia lebih takut kepada sebuah pena daripada seribu bedil. Oleh sebab itu, bahasa merupakan salah satu medan tempur untuk menguatkan hegemoni kelompok yang berkuasa. Bukan sekadar meyakinkan publik untuk menyampaikan sebuah ide, tapi juga memaksa semua pihak menerima sebuah versi kebenaran. Bahasa pun menjadi medan symbolic violence.

Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis yang mengemukakan istilah tersebut, dalam Benson (1999) menyatakan bahwa symbolic violence adalah sebuah proses alamiah yang dilakukan kelompok berkuasa untuk memaksakan norma dan nilai yang mereka anut kepada kelompok-kelompok yang lebih lemah. Tujuannya untuk mempertahankan kekuasaan. Secara tidak sadar, bahkan tanpa merasa tertekan, kelompok yang lemah akan mengikuti nilai atau norma yang diberlakukan oleh kelompok yang berkuasa.

Maka, jurnalis harus menyadari bahwa symbolic violence terjadi di setiap wilayah liputan, melalui diksi-diksi yang dijejalkan oleh para pemegang otoritas. Di masa Orde Baru, lemahnya independensi pers membuat banyak media takluk dan menerima norma dan nilai yang disampaikan oleh pejabat publik melalui istilah yang mereka pakai. Maka, di masa lalu, jika tarif listrik naik, media memakai kata “disesuaikan”. Jika ada aktivis anti-pemerintah yang ditangkap, wartawan memakai kata “diamankan”.

Terlepas dari debat di balik kata “disesuaikan”, faktanya publik harus mengalokasikan lebih banyak penghasilannya untuk membeli suatu produk/jasa. Kita juga tahu bahwa para aktivis tersebut tidak pernah menemukan keamanan di kantor polisi atau markas tentara. Baik “disesuaikan” atau “diamankan” juga merupakan contoh eufemisme, atau pengaburan makna dari sebuah peristiwa, agar publik bisa memaklumi tindakan penguasa dan menganggap isu itu tidak teramat penting.

Symbolic violence juga terjadi di ranah gender oleh kelompok dominan. Masih ada yang menggunakan kata “menggagahi” untuk pemerkosaan. Kata “menggagahi” membuat posisi laki-laki kian dominan dan selalu benar. Bahkan, tanpa disadari, sebagian perempuan menerima “norma” tersebut, dengan cenderung menyalahkan sesamanya atas kasus pemerkosaan. Dampaknya luar biasa buruk, kasus Nuril Baiq merupakan contoh akibat diterimanya norma “gagah” yang kemudian menjadi ruh penegakan hukum di negeri ini.

Maka, memakai istilah daripada Soeharto, jurnalis harus mawas diri. Jangan terbuai dengan lingkungan liputannya. Kekuatan jurnalis adalah menyampaikan fakta dengan pilihan kata yang jelas dan lugas, tanpa mengaburkan makna sesungguhnya. Bahasa yang dipilih akan menciptakan pemahaman dan sikap publik atas sebuah peristiwa. Yang kemudian termanifestasi dalam sendi-sendi kehidupan negara, antara lain dalam bentuk kebijakan yang dilahirkan penguasa dan semangat keberpihakan dalam penegakan hukum.

Kembali ke Bourdieu, kali ini dengan field (lapangan) teorinya. Ia menjelaskan bahwa jurnalistik adalah kekuatan yang bersaing dengan kekuatan-kekuatan lainnya, antara lain politik, bisnis, dan teknologi di dalam sebuah field. Setiap kekuatan berupaya menjadikan kekuatan lainnya sebagai subpower, memaksakan normanya untuk menjadi kesepakatan umum. Orde Baru menjadikan jurnalisme sebagai sub kekuatan politik. Maka, hampir seluruh media di masa itu menyuarakan nilai dan norma pemerintah.

Tumbangnya Orde Baru bukan berarti teori Bourdieu tidak relevan bagi jurnalisme. Pergulatan terus terjadi. Saya ingat belasan tahun silam ketika menjadi reporter yang meliput kasus-kasus kriminal di Jakarta Barat. Sebagian jurnalis yang saya kenal di sana sangat fasih dengan istilah-istilah kepolisian, misalnya “taruna” untuk menyebut sebuah perkara atau “komando” untuk menyebut kantor polres/polsek. Istilah itu, dan istilah kepolisian lainnya kerap mereka pakai dalam percakapan sehari-hari, bahkan dalam penulisan berita.

Tanpa (bisa jadi dengan) mereka sadari, mereka berbicara dengan istilah-istilah dan bergaya bak polisi. Kalau Prabowo Subianto mengklaim ia lebih tentara dari pada tentara, saya melihat sebagian jurnalis itu lebih polisi daripada polisi. Ketika kami menemui seorang tersangka pembunuhan, misalnya, ada wartawan yang bukannya bertanya dengan sopan, tapi malah membentak tersangka. Di sini, jurnalis dengan riang mengadopsi norma yang bukan merupakan identitas pekerjaan mereka.

Dampaknya, jurnalis berlebihan menggunakan lema-lema yang berlaku di luar bidangnya dalam penulisan berita, walau itu menabrak pakem jurnalistik (enak dibaca dan mudah dipahami). Seperti kata “disidik” atau “kasusnya dalam proses lid” dan penggunaan aneka akronim. Symbolic violence juga terjadi dalam lingkungan liputan ekonomi. Ada jurnalis yang “menyerah” dengan keruwetan penulisan. Bahkan untuk lugas mengatakan bahwa investor A masih menghitung untung-rugi pun, para jurnalis memilih kata “keekonomian”.

Istilah-istilah ekonomi yang semestinya bisa disederhanakan agar pembaca umum mudah mengerti justru dipertahankan. Penulisan laporan keuangan adalah salah satu contoh bagaimana kekuatan korporasi berusaha menjejali jurnalis dengan berbagai narasi atau istilah untuk mengaburkan kerugian.

Sama halnya ketika korporasi merugikan publik, maka kata “terdampak”, karena bersifat netral, cenderung menjadi pilihan untuk mereduksi, mengaburkan kenyataan, dan mengurangi kemarahan publik. Dan, tampaknya kata "terdampak" sudah menjadi "norma" sebagian jurnalis.

Foto: Koran Tempo

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Mahasiswa doktoral jurusan Komunikasi University of Technology Sydney, Australia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain