
MANUSIA kontemporer adalah mahluk yang gelisah. Kita selalu didera untuk mengalami kenyataan dalam paradoksnya: kita menyaksikan kemajuan-kemajuan yang luar biasa dan mencengangkan, namun di dasar kesadaran dan nurani yang paling dalam bersemayam kekhawatiran bahwa kemajuan-kemajuan itu juga membawa serta bencana di dalamnya.
Dengan gagah kita merayakan kehadiran berbagai generasi baru teknologi, kita didorong oleh harapan untuk membangun hidup, berkeluarga, bersahabat, berpolitik dan bergaul bahkan secara global melalui teknologi, sarana komunikasi yang tak terbatas.
Namun bersamaan dengan itu terselip kegetiran, menatap dunia yang semakin tidak pasti: perang yang tiba-tiba pecah, konflik sosial, ancaman pandemi dan pelbagai penyakit baru, bencana dan ketidakpastian yang dipicu perubahan iklim. Benar kata-kata Anthony Giddens, dalam The Consequences of Modernity pada 1990. Menurutnya: "Modernity is a double-edged sword: it creates unprecedented freedom and unprecedented risk."
Setelah bom atom Hiroshima dan Nagasaki, filsuf Jerman Gunther Anders, mengingatkan kita bahwa masyarakat modern telah mengalami “kebutaan apokaliptik”, yakni ketakmampuan mengenali dan mengakui ancaman destruksi yang ditimbulkan teknologi. Hal ini disebabkan keyakinan berlebihan terhadap kemajuan dan ketidakmampuan membayangkan akhir dari peradaban. Kita gagal memahami bahwa teknologi sering mengaburkan tanggung jawab moral.
Otomatisasi, digitalisasi, pembagian kerja telah membuat manusia terlepas dari konsekuensi atas tindakan mereka, kendati tindakan itu menyebabkan kehancuran. Sebagai contoh, tombol yang dipegang oleh pilot-pilot pembom yang membawa bom-bom di Hiroshima, Nagasaki, (atau pilot drone yang menjatuhkan bom-bom di Gaza, atau akun-akun palsu yang memviralkan fitnah dan kebohongan), telah sedemikian rupa menciptakan ketidaksesuain antara waktu dan tindakan, dengan akibat si pilot tidak pernah melihat akibat perbuatannya terhadap korban secara langsung. Tombol, knop dan sinyal membangun jarak, menghapus tanggung jawab moral.
Manusia dan masyarakat modern didesain untuk melupakan bahaya yang mereka ciptakan. Kelupaan ini yang melahirkan the invisibility of catasthrophe: ancaman dan bencana terasa jauh, tak terlihat dan abstrak sehingga menunda reaksi moral dan politik, dengan akibat memperbesar risiko apokaliptik.
Risiko apokaliptik di sini, bukanlah kiamat dalam pengertian biblikal melainkan technological atau anthropological apocalypse, di mana manusia mencipta teknologi hingga melampaui kapasitasnya untuk mengendalikannya secara etis. Di sini ada gap antara apa yang bisa kita ciptakan secara teknologis dengan apa yang bisa kita pertanggungjawabkan. Kita mesti keluar dari jebakan promothean ini, untuk menyadari bahwa destruksi ada di depan mata. Bahwa destruksi itu bersamayam secara inheren dalam modernitas yang kita bangun (The Obsolescence of Man, 1956).
Modernitas membawa kegemilangan, kekayaan dan kesejahteraan bagi umat manusia, tumbuhnya demokrasi dan emansipasi yang melepaskan manusia dari belenggu paham-paham lama. Namun, seiring dengan itu, modernitas juga menghadirkan risiko-risiko baru yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan itu ia juga menjebol pelbagai hubungan sosial dari konteks lokal dan merestrukturisasinya dalam skala ruang dan waktu yang baru dan tak dikenali. Masyarakat kontemporer kita, kata Giddens, laksana sebuah truk raksasa yang berjalan tanpa kendali.
Pandangan Giddens ini, selaras dengan pemikiran sosiolog Jerman Ulrich Beck, yang dalam karyanya Risk Society (1992) mengkritik ketidakmampuan kapitalisme untuk mengenali efek-efek buruk dari modernisasi. Menurutnya: "The logic of risk society is not about the distribution of wealth, but the distribution of risk.”
Dengan tesis itu, Beck ingin menunjukkan bahwa apabila di masa lalu konsentrasi masyarakat itu terpusat pada persoalan distribusi kemakmuran, dalam masyarakat kontemporer perhatian beralih pada distribusi risiko yang dihasilkan oleh modernisasi. Dengan kata lain, modernitas adalah sumur tanpa dasar di mana risiko meluber keluar tak bisa dihentikan lagi.
Metafora kegagalan modernitas secara banal bisa kita saksikan dalam kasus lumpur Lapindo. Lumpur mengalir tak bisa dihentikan oleh teknologi yang menjadi penyebabnya. Kasus ini mirip dengan konsep Beck mengenai “manufactured risk”, yakni risiko yang diakibatkan oleh perbuatan-perbuatan manusia sendiri terhadap alam melalui pelbagai teknologi.
Manufactured risk itu, misalnya, pencemaran nuklir, pencemaran bahan-bahan kimia, pelbagai penyakit non generatif akibat rekayasa kimia dan biologi. Manufatured risk kini, sudah berada jauh melampaui kemampuan bumi untuk memulihkan dan meregenerasi dirinya. Kekhawatiran Beck ini dikuatkan oleh data-data para saintis yang menunjukkan bahwa sistem produksi dan kerusakan yang dihasilkannya telah melampaui batas-batas ekosistem planet.
Temuan para saintis bahwa 6 dari 9 batas planet telah dilanggar. Sembilan batas planet adalah:
- Perubahan iklim yang terkait dengan konsentrasi CO2 di atmosfer dan keseimbangan energi bumi,
- Keanekaragaman hayati,
- Siklus nitrogen dan fosfor. Penggunaan pupuk dalam pertanian misalnya akan mengubah siklus nitrogen dan fosfor bumi yang dapat menyebabkan eutrofikasi di perairan dan masalah lingkungan lainnya,
- Penipisan ozon,
- Pengasaman air laut yang terjadi akibat penyerapan CO2 dari atmosfer oleh lautan,
- Penggunaan air tawar, yang apabila berlebihan akan mengganggu siklus air global,
- Perubahan sistem lahan,
- Polusi kimia/pelepasan zat baru, dan
- Beban aerosol atmosfer.
Keseimbangan sembilan elemen inilah yang menjaga kelangsungan bumi. Dari sembilan, enam sudah mulai rusak.
Parahnya, risiko itu juga bekerja dalam sistem dan tatanan globalisasi yang tak setara ini. Ini yang pada akhirnya menentukan arah lain persaingan dalam konstelasi politik global. Pertarungan dan persaingan politik antar negara, tidak lagi semata-mata berbasis atau bertema distribusi kekayaan, tetapi juga mengenai siapa yang paling kuat dan mampu mendefinisikan serta mendistribusikan risiko.
Yang kuat akan menentukan di mana risiko terbesar diletakkan. Contoh paling klasik dari keadaan ini dapat kita saksikan dalam film Hollywood berjudul Oppenheimer yang mengisahkan pemboman Hiroshima dan Nagasaki. Hingga hari ini debat etis mengenai bagaimana justifikasi moral atas dijatuhkannya bom atom itu, terutama di Nagasaki, terus berlangsung. Bom atom adalah produk proyek ilmiah dan teknologi yang mencerminkan secara tepat apa itu reflexive modernity, yakni kondisi ketika modernitas mulai menciptakan monster buat menghancurkan dirinya sendiri.
Di saat yang sama, warga sipil Nagasaki, yang punya tak kekuatan apa pun dalam kebijakan perang atau pengembangan senjata menjadi korban dari kebijakan militer dan teknologi. Ini mencerminkan fakta brutal dari distribusi risiko yang tidak adil akibat ketimpangan dalam siapa yang menciptakan risiko dan siapa yang menderita menanggung akibatnya.
Dalam kasus lain ia juga dapat dilihat melalui fenomena sampah impor dari negara-negara maju; yang berasal dari material yang tak dapat mereka olah, dan dikirimkan ke negara-negara lain sebagai bahan baku.
Keterbatasan Emansipasi
“Der Mensch ist Kleiner als er selbts,” kata Anders dalam The Absolescene of Man (The Obsolescence of Man, 1956). Sesungguhnya kita ini lebih kecil dari diri kita sendiri. Maksudnya adalah manusia masa kini semakin kehilangan kemampuan menghadapi konsekuensi-konsekuensi dari tindakannya.
Pembangunan teknologi telah melampaui fondasi etis. Risiko telah mengancam dasar eksistensial dari seluruh bentuk kehidupan yang kita punya. Sayangnya, peralatan filosofis dan teoritis yang kita punya hingga saat ini sangat terbatas dan terpusat pada satu gagasan yakni ide emansipasi yang basis filosofisnya bersifat antroposentrik.
Dalam sejarah filsafat dan ilmu sosial, emansipasi adalah salah satu ide paling kuat dan berpengaruh. Ide inilah yang membakar revolusi di pelbagai penjuru dunia, menginspirasi perubahan dan memberikan raison d’e tre bagi pelbagai perjuangan politik, hukum, kebudayaan dan perubahan konstitusi di seputar era Pencerahan. Emansipasi merupakan ide yang menghidupkan kembali harapan bahwa manusia dapat membebaskan dirinya dari belenggu penindasan (Emancipation, 2019).
Emansipasi berasal dari kata kerja Latin emancipatus yang merupakan bentuk lampau dari emancipare yang berarti set free from control atau dibebaskan dari kendali.
Sejarah kata ini berakar dalam tradisi hukum Romawi. Tradisi hukum Romawi menerapkan prinsip yang dinamakan patria potestas. Dalam prinsip ini hidup dari seorang istri dan anak laki-laki dianggap diturunkan oleh laki-laki yakni sang bapak, sehingga oleh karena itu bapak menguasai secara total hak hidup atas mereka. Emancipare berarti melepaskan istri atau anak laki-laki dari prinsip patria potestas.
Kata Inggris untuk emansipasi pertama kali digunakan dalam konteks menentang perbudakan pada tahun 1776. Dalam perang sipil di Amerika secara spesifik konsep ini dipakai sebagai judul Presidential Order yakni “Emancipation Proclamation”, yang ditandatangani pada 22 September tahun 1862 oleh Presiden Abraham Lincoln (Act of Justice: Lincoln’s emancipation Proclamation: Emancipation Reconsidered, 2007).
Sebelumnya pada tahun 1850 dalam First National Women’s Rights Convention ia digunakan sebagai istilah rujukan untuk segala upaya pembebasan perempuan dan menjadi awal dari apa yang disebut dengan gelombang pertama Feminisme. Di Inggris isilah emansipasi merujuk pada toleransi beragama.
Pada 1829 keluar apa yang disebut Catholic Emancipation Act yang kemudian diikuti dengan keluarnya aturan-aturan baru yang melindungi kebebasan beragama, yang memungkinkan keluarnya misalnya The Oaths Act tahun 1888 yang membolehkan orang yang tidak beragama untuk diambil sumpahnya di parlemen. Di Indonesia kata emansipasi masyhur berkaitan dengan peran tokoh Kartini yang memelopori “emansipasi wanita”.
Mengapa ide emansipasi sudah tidak dapat lagi kita pertahankan?
Emansipasi baik yang berbasis pada kritik Marxis maupun liberal berfokus pada manusia dan kebebasan individu, sehingga dengan itu gagal merespons realitas baru di mana ancaman terbesar bukan lagi sekadar berasal dari opresi, eksploitasi dan negara otoriter, tetapi dari risiko akibat degradasi ekologis yang sistemik dan global serta ancaman kiamat teknologi yang diciptakan manusia sendiri.
Kegagalan gagasan emansipasi antroposentrik itu sebenarnya sudah diingatkan oleh Horkheimer dan Adorno dalam (The Dialectic of Enlightenment, 1944) Keduanya menyatakan bahwa akal budi pencerahan yang semula dimaksudkan untuk membebaskan manusia justru malah melahirkan dominasi baru. Rasionalitas instrumentral yang mengutamakan efisiensi dan penaklukan terhadap alam pada akhirnya melahirkan efek balik dengan menjadikan manusia sebagai obyek eksploitasi.
Di sini Horkheimer dan Adorno melontarkan kritik baik terhadap proyek kapitalisme maupun komunisme. Pembangunan dan industri baik di dalam kapitalisme maupun di dalam negara-negara yang menerapkan Marxisme sama-sama mengandalkan rasionalitas instrumental.
Marxisme mengklaim menolak eksploitasi dan penindasan atas manusia terutama dalam relasi produksi, namun ia tetap melihat alam sebagai fakta yang mesti ditundukkan. Sementara kapitalisme yang memusatkan diri pada pasar dan kebebasan manusia melihat alam sebagai sarana yang dapat dikonversi, dieksploitasi dan dimodifikasi demi kepentingan akumulasi kapital.
Para teoritisi Marxis kontemporer, misalnya Kohei Saito, berupaya membangun semacam pledoi untuk menjawab kritik para environmentalis yang menuduh Marxisme sama buruknya dalam soal ekologi dengan kapitalisme. Namun pembelaan Saito, menurut pandangan saya, pada ujungnya berhenti pada serangkaian eksplanasi superfisial yang sekadar menunjukkan poin di sana sini bahwa Marx melalui teks ini dan itu pernah memandang alam sebagai prioritas.
Pledoi Marxis kontemporer Saito tak punya daya bantah yang solid untuk menghapus kenyataan bahwa secara epistemologis, sistem di dalam Marxism, sebagaimana kapitalisme, tetap berbasis pada dualisme antroposentris yang memisahkan alam dari manusia. Adalah Marx sendiri yang mengatakan: Just as the savage must wrestle with nature to satisfy his wants, to maintain and reproduce life, so must civilized man and he must do so in all social formations and under all possible modes of production (Capital III, 1999).
Dalam buku yang sama Marx menyebut tenaga kerja manusia sebagai “socially mediated” dan ia memosisikan alam sebagai substratum dari tenaga kerja. Dengan itu tenaga kerja berposisi sebagai metabolisme (alat cerna) antara manusia dan alam. Dengan kata lain, manusia didefinisikan sebagai terpisah bahkan superior terhadap alam.
Bahwa kapitalisme maupun sosialisme berbagi bersama dalam merusak alam, terbukti misalnya dari bencana ekologis yang diakibatkan oleh industrialisasi kapas besar-besaran yang mengeringkan 90% air di laut Aral di era komunisme Uni Soviet. Angin menendang debu-debu dari padang tandus yang terbentuk dari danau terbesar keempat di dunia yang dibuat mengering (When the Aral Sea Dried Up, Central Asia Became Dustier, 2022).
Baik kapitalisme maupun komunisme sama-sama ada dalam fantasi promothean: meyakini kemajuan atau progresivitas dengan basis kemampuan manusia untuk mengendalikan dan mendominasi alam melalui teknologi. Fantasi ini yang akhirnya menghasilkan bahaya-bahaya baru bagi bumi. Kerusakan-kerusakan yang kini terjadi, sudah meluas dan berada di luar jangkauan kemampuan alam untuk memulihkan dirinya.
Berhadapan dengan krisis ini, banyak orang mengambil sikap ‘denial’. Mereka berpandangan bahwa periode untuk mendapati kenyataan bahwa bumi sekarat masih sangat panjang. Terlalu panjang untuk dipandang serius dan penuh kekhawatiran. Inilah keadaan yang dulu disebut oleh Gunther Anders dalam istilah kelupaan apokaliptik. Manusia senantiasa membayangkan apokalip itu dalam nuansa biblical, lupa bahwa kimat masa kini bisa diciptkan oleh teknologi.
Pertanyaan kemudian jika Marxisme dan liberalisme gagal menjelaskan katastrofe zaman kini, melalui filsafat dan teori, apa kelemahan-kelemahan dalam keduanya dapat kita atasi? Landasan teoritis apa yang bisa kita pakai untuk mengatasi antroposentrisme dan dualisme Cartesian yang memisahkan manusia dengan alam? Di titik ini, kita perlu mempertimbangkan tawaran filsafat Bruno Latour.
Merumuskan yang Sosial: Mempersatukan Alam dan Manusia
Setelah pandemi Covid-19, muncul optimisme dan semangat yang besar akan kedigdayaan sains. Dari situ mereka yang kurang paham, menganjurkan agar kita meninggalkan filsafat. Bahwa filsafat dan ilmu-ilmu humaniora terbukti tak berguna. Pendapat semacam ini mencerminkan lemahnya pemahaman dalam melihat distingsi posisi dan peran antara sains dan filsafat.
Pandemi memang telah membuktikan betapa sains telah sekali lagi menyelamatkan umat manusia: sains dengan meyakinkan telah menjawab tantangan mematikan virus dan berbagai penyakit. Sains pula yang menghadirkan vaksin, teknologi medis dan memberi dasar bagi kebijakan kesehatan, yang tidak hanya menyembuhkan dan menyelamatkan tetapi juga memberikan optimisme.
Namun menyingkirkan filsafat di atas optimisme sains sungguh sebuah kekeliruan yang sembrono. Menghapus filsafat dari sains, sama halnya dengan menghapus etika dari ilmu. Ini berisiko melahirkan masyarakat teknologis yang tak punya kemampuan reflektif. Filsafat tak dapat diperbandingkan dengan sains karena keduanya beroperasi untuk fungsi-fungsi dan kegunaan yang berbeda.
Sains berakar pada kata ‘techne’ yakni kemampuan menyingkap rahasia alam melalui pertanyaan “bagaimana”, sementara filsafat menjawab pertanyaan yang dimulai dengan “mengapa” dan “untuk siapa”. Sains bisa menjelaskan asal muasal, karakter dan cara kerja virus sehingga dengan itu menemukan pentingnya pembatasan sosial.
Namun bagaimana mempertimbangkan pembatasan sosial dengan kemanusiaan atau bagaimana mendamaikannya dengan keadilan adalah kerja dari filsafat. Sains bisa memprediksi dan mencatat tingkat kematian akibat pandemi, namun memahami makna hidup dalam dunia yang tetiba lenggang, mendefinisikan kesunyian kematian akibat pandemi, serta mencoba menuai ulang harapan dari hantaman kematian merupakan wilayah filsafat.
Selama masa dan pascapandemi, kita menyaksikan bagaimana krisis kesehatan telah berkembang menjadi krisis sosial dan akhirnya mencapai titik yang subtil hingga mencapai krisis kemanusiaan. Dalam situasi itu pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai apa arti hidup, harapan, persahabatan kemanusiaan, kematian dan kehilangan muncul ke permukaan.
Filsafat mendorong kita untuk memikirkan basis eksistensial manusia dalam relasinya dengan sesama dan dengan alam. Ia memberi panduan untuk melacak dan menginterpretasikan kompleksitas jaringan dunia yang kita hidupi. Di titik inilah kita menemukan relevansi pemikiran Bruno Latour.
Latour menilai oleh karena sifatnya yang antroposentris, filsafat modern tengah berhadapan dengan krisis. Hal ini terlihat dari kegagalannya dalam mengonseptualisasi secara memadai kemunculan apa yang disebutnya sebagai fenomena hybrid (percampuran) (We Have Never Been Modern, 1993).
Pandemi adalah contoh paling jelas dari bagaimana yang sosial, yang biologis, sains, globalisasi, ekonomi tumpah dalam satu kesatuan fenomena. Baginya, problem ini tidak hanya merupakan persoalan saintifik an sich, tetapi sekaligus merupakan problem etis, politis, sosial dan filosofis. Ini membuktikan bahwa manusia dan alam tak dapat dipisahkan dan bahwa alam tak dapat lagi dipandang sebagai obyek di bawah tatapan subyek. Manusia dan alam disatukan dalam satu proses relasional, kata Latour.
Kecenderungan filsafat barat yang selalu memisah, mencacah serta mengisolasi satu hal dari hal lain ini dikritik Latour sebagai “pemurnian” (purification). Purifikasi merujuk pada satu proses analitik yang memisahkan alam dari masyarakat. Purifikasi menciptakan dua zona ontologis yang sepenuhnya berbeda, yaitu (1) zona ontologis manusia dan (2) zona non-manusia.
Dengan purifikasi, Latour sebetulnya hendak menyampaikan bahwa krisis epistelomologi sebetulnya terletak pada kecenderungan filsafat modern yang selalu berusaha mempertahankan demarkasi tajam antara alam-kultur, dan atau sains-politik. Manusia dan masyarakat modern [yang merupakan produk dari cara berpikir yang bipolar ini] pada gilirannya menjadi ‘buta’ terhadap munculnya fenomena-fenomena percampuran/hibrid atau persilangan antara alam-kultur maupun sains-politik.
Gaya purifikasi inilah, yang bagi Latour, telah menjerumuskan filsafat modern ke dalam krisis dan membuat epistemologi tumpul dalam membangun refleksi teoritis yang solid atas realitas yang saling terhubung.
Kritik atas kegagalan modernitas dalam mengenali kemunculan gejala hibrid menurut Latour, juga bersumber dari sains dan ide konstitusi modern, yang antara lain ‘ditulis’ oleh Robert Boyle dan Thomas Hobbes. Boyle merupakan pendiri atau peletak fondasi sains modern. Metode observasional di laboratorium yang ia perkenalkan kini menjadi prosedur standar pengembangan ilmu pengetahuan alam.
Adapun Hobbes adalah pemikir di bidang politik yang menolak metode observatif [yang isolatif] ala Boyle. Hobbes mengembangkan satu metode analisis di mana konflik (conflict) dan perjanjian (agreements) merupakan fondasi utama dari kehidupan politik.
Dua metode ini adalah dua titik tolak yang disebut Latour sebagai konstitusi sains modern, yang kelak menjadi pakem gaya berpikir modernis yang memisahkan antara alam dan kultur, dan antara sains dengan politik. Dalam bahasa Latour: "they are inventing our modern world, a world in which the representation of things through the intermediary of the laboratory is forever dissociated from the representation of citizens through the intermediary of the social contract’ (We Have Never Been Modern, 1993).
Boyle dan Hobbes secara paralel menciptakan dunia modern kita, sebuah dunia di mana representasi benda-benda diperantarai oleh laboratorium yang selamanya terpisah dari representasi warga negara yang representasinya diperantarai oleh kontrak sosial.
“Melalui laboratorium para ilmuwan menjadi pihak yang memediasi manusia dengan alam. Melalui kontrak sosial, para politisi merepresentasikan kepentingan setiap orang (Knowledge and the Political: Bruno Latour's Political Epistemology, 2010). Benda-benda diurus oleh laboratorium, sementara manusia diurus oleh kontrak politik. Inilah salah satu pangkal berpisahnya–secara epistemik– dunia dan manusia, alam dan kebudayaan, politik dan sains.
Bruno Latour menyerang dualisme ini dengan menyatakan bahwa pemikiran modern telah memisahkan "masyarakat" dan "alam" sebagai dua domain berbeda. Dalam We Have Never Been Modern (1993), ia menulis: "The moderns have split the world in two: one part for the speaking humans, another for mute things."
Dengan itu, ontologi filsafat Bruno Latour dimulai dengan penolakan terhadap dikotomi klasik antara subyek versus obyek, manusia/masyarakat versus alam atau antara sains dan kebudayaan, yang selama ini menjadi basis antroposentrisme. Menurutnya, manakala kita menyatakan bahwa terdapat, di satu sisi, dunia alam dan, di sisi lain, dunia manusia, sesungguhnya kita sedang
mengusulkan, secara retrospektif, bahwa sebagian aktor yakni alam—secara sewenang-wenang— boleh dilucuti kapasitas eksitensialnya hingga menjadi obyek, sementara sebagian lainnya, yang juga dipilih secara arbitrer, yakni manusia, akan diberi jiwa (atau kesadaran) dimuliakan dan diproklamasikan sebagai subyek (Facing Gaia, 2010).
Di sini Latour mengingatkan bahwa pemisahan alam dan manusia sedari awal mengandung sifat-sifat ketidakadilan. Latour mengkritik keras pemisahan antara alam sebagai wilayah objektif dan masyarakat sebagai wilayah subjektif atau konstruksi sosial. Bagi Latour, pembagian ini adalah bagian dari warisan Modernitas yang mesti ditolak. “Modernity is often defined by its separation of nature and society, of facts and values, of objects and subjects” (We Have Never Been Modern, 1993).
Menurut Latour, sesungguhnya kita tidak pernah benar-benar modern, karena dalam praktiknya, kehidupan sosial dan ilmiah selalu melibatkan campuran dari pelbagai entitas: manusia, teknologi, alam, institusi, nilai-nilai. Dari sini Latour menegaskan posisi ontologisnya bahwa semua entitas— baik manusia maupun non-manusia—adalah actor dalam jaringan.
Berbeda dengan konsepsi aktor warisan gagasan Cartesian dan Kantian, bagi Latour aktor tidak ditentukan dari adanya fakultas kesadaran, melainkan kemampuan untuk memengaruhi dan merekayasa keadaan dalam suatu jaringan. “An actor is what is made to act by a large star-shaped web of mediators flowing in and out of it,” kata Latour dalam Reassembling the Social (2007).
Di sini, Latour berupaya menyusun ulang cara kita memahami realitas, dengan menempatkan manusia dan non-manusia dalam jaringan yang setara dan saling mempengaruhi. Dengan demikian, realitas bukanlah buah dari tindakan subjek terhadap objek, melainkan hasil dari jaringan relasional yang saling memperantarai. Dengan kata lain ontologi Latour bersifat relasional dan performatif—entitas itu ada karena dan dalam hubungan antar mereka.
Di sini Latour seperti menyuarakan kembali filsafat Whitehead yang memandang bahwa yang ada bukanlah entitas melainkan proses. Ontologi di dalam Latour bersifat pluralistik dan prosesual. Tidak ada “arkhe”, tidak ada “realitas tunggal” yang tetap, karena setiap realitas senantiasa dibangun melalui perjumpaan dan negosiasi antar-aktor dalam jaringan. There is no incommensurability, only misunderstandings due to the premature imposition of a single language (An Inquiry Into Modes of Existence, 2013).
Apa implikasi epistemologis dari ontologi Bruno Latour?
Dengan menolak dikotomi antara manusia dan non-manusia, serta menganggap semua entitas sebagai aktor dalam jaringan, maka cara kita mendapatkan pengetahuan pun selalu bersifat relasional, konstruktivis, dan non-hierarkis.
Dalam kerangka Latour, pengetahuan bukan hasil murni dari rasionalitas subjek manusia, melainkan hasil dari kerja kolektif berbagai aktor (ilmuwan, laboratorium, instrumen, hewan uji, dokumen, dll.) yang disusun dan dinegosiasikan dalam jaringan. No knowledge can exist without being embedded in a network of practices and mediators (Science in Action, How to Follow Scientists and Engineers through Society, 1987).
Implikasinya: epistemologi menjadi praktis dan situasional, bukan universal dan abstrak. Kebenaran ilmiah bukan sekadar korespondensi dengan “realitas objektif”, melainkan stabilisasi sementara dari hubungan dalam jaringan.
Jonas Salk, dalam pengantar untuk buku Latour “Laboratory Life”, menyebut pendekatan Latour sebagai pendekatan non-konvensional. Bertumpu pada hasil riset etnografik ini, Latour mengklaim bahwa pengetahuan ilmiah dibangun secara sosial dan merupakan hasil negosiasi dan interpretasi para ilmuwan (Latour & Woolgar, Laboratory life: the construction of scientific facts, 1986; Goldman, 1999).
Sebagaimana halnya Max Weber dalam Economy and Society (1977) atau Thomas Kuhn (2012), Latour berusaha menantang klaim positivis yang mendalilkan pengetahuan ilmiah bersifat asosial, rasional, objektif. Alih-alih demikian, bagi Latour, pengetahuan saintifik merupakan produk artifisial yang dihasilkan dari serangkaian interaksi sosial, berdimensi politis serta sarat dengan kepentingan-kepentingan ekonomi.
Melalui kritik epistemologinya ini, Latour mempertanyakan klaim objektivitas dalam ilmu pengetahuan. Latour bukan menolak sains, melainkan menolak gagasan yang memosisikan seakan sains merepresentasikan "alam itu sendiri" secara netral. Ia menunjukkan bahwa fakta ilmiah adalah hasil konstruksi, bukan rekognisi pasif terhadap fakta alam. Facts are made, not found (The Pasteurization of France, 1988).
Dengan itu semua sistem pengetahuan dan epistemologi harus mempertimbangkan kondisi material, politik, dan teknis dalam produksi pengetahuan. Studinya ketika mengamati kerja peneliti di laboratorium membuktikan bahwa fakta adalah hasil kerja sosial dan teknis, bukan entitas yang mengambang bebas dari kondisi-kondisi tersebut.
Dengan kata lain, pengetahuan selalu dimediasi oleh artefak alat laboratorium, grafik, teks, teknologi digital. Latour menyebut ini sebagai “mediasi”, yang aktif membentuk dan mengubah makna, bukan sekadar perantara netral. Katanya, “Objects are not just intermediaries, but mediators that transform, translate, distort and modify the meaning or the elements they carry” (Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory, 2007).
Epistemologi tidak bisa memisahkan representasi dari materialitas. Media dan teknologi bukan hanya penyampai, tetapi ko-produsen pengetahuan. Alih-alih memahami pengetahuan sebagai representasi dari dunia, Latour menyarankan kita melihat pengetahuan sebagai praktik performatif: pengetahuan mengubah dunia karena ia beroperasi dalam jaringan yang konkret.
Di titik ini tugas filsafat, sosiologi dan ilmu-ilmu sosial harus bergeser dari yang semula “mewakili dunia” ke menyusun ulang keterhubungan berbagai entitas dalam satu jaringan kerja kolektif. Dengan membongkar batas antara alam dan masyarakat, serta menolak hierarki antara manusia dan non-manusia, maka tanggung jawab etis dan praktik sosial-politik harus ikut disusun ulang secara mendasar.
Pada konteks inilah ucapan Latour bahwa “no one has ever been modern, there has never been a modern world” kita, yaitu bahwa kita sebenarnya tak pernah hidup dalam ‘kamar-kamar’ yang terisolasi ini (We Have Never Been Modern, 1993) Latour memandang “modernitas” tidak lebih dari sekedar mode of clasification, yaitu cara memilah dan mengklasifikasi, dan atau ideologi yang menjelaskan bagaimana kita mengklasifikasi dan memilah-milah, dalam hal ini memilah objek dari subyek, ilmu pengetahuan dari alam, dan masyarakat dari politik dan kebudayaan (Another Modernity, A Different Rationality, 1999).
Dari sini, Latour menganjurkan upaya membenahi cara pandang dunia yang serba terpilah-pilah. Latour menunjukkan bahwa cara berpikir modern yang kompartementalistik tidak saja keliru, juga membawa konsekuensi kerusakan ekologis yang fatal (Politics of Nature, 2004). Untuk itu, dalam Down to Earth: Politics in the New Climatic Regime (2018), ia mengajak kita untuk "mendarat kembali"—dalam arti menyadari bahwa kita hidup dalam jaringan kompleks antar relasi biologis, sosial, dan teknologis yang tidak bisa direduksi menjadi individu atau kelas saja.
Manusia harus diliat sebagai salah satu actor saja dari kompleksitas inter-spesies bersama-saa dengan benda-benda dan teknologi. Kata Latour, It is no longer a matter of emancipating oneself from Nature, but of attaching oneself to it. Manusia dan alam tidak dapat dipisahkan karena terjalin dalam proses bersama. Inilah fondasi utama dari yang sosial di dalam Latour. Yang sosial bukanlah interaksi atau relasi akytor manusia semata, melainkan proses relasional antara manusia dan non-manusia yang saling memediasi.

Implikasi Etis Filsafat Latour
“The moral law must include objects in the community of concern,” kata Latour dalam Politics of Nature (2004). Karena dunia adalah hasil perakitan kolektif antara manusia dan non-manusia, maka tanggung jawab moral kita harus melampaui batas spesies. Etika bukan hanya soal empati terhadap makhluk lain, tapi juga soal memberi mereka ruang bicara dan representasi dalam proses kolektif.
Latour menganjurkan agar kita jangan membayangkan dunia sebagai sistem tertutup yang bisa dikendalikan, melainkan sebagai jaringan serba rapuh yang perlu dirawat, dijaga, dan dipertahankan. “The Earth is not a globe, but a fragile, interdependent network” (Facing Gaia, 2010).
Dengan itu tanggung jawab etis ada dalam upaya mempertahankan keberlangsungan jaringan kehidupan yang melibatkan berbagai bentuk eksistensi. Karena semua entitas bisa menjadi aktor, maka subjek etis bukan lagi individu rasional otonom (ala Kant), melainkan anggota dari jaringan yang saling bergantung. Etika tidak lahir dari kesadaran otonom, tapi dari keterhubungan atau sosiasi dalam istilah sosiologinya. Moralitas bukan soal prinsip universal, tapi soal praktik negosiasi dan koeksistensi dalam jaringan.

Dari kubu yang sedikit berbeda, kritik terhadap antroposentrisme modernis ditemukan juga dalam karya Jason W. Moore. Moore mencoba menyelamatkan Marxisme namun menempuh upaya yang lebih kreatif dibanding Saito, yakni dengan mengakomodasi kritik atas dualisme antroposentris Marx. Moore menyebut era masa kini bukan hanya era antroposen melainkan era kapitalosen.
Logika eksploitasi kapitalisme tidak hanya berakibat kepada manusia tetapi juga terhadap alam. Dia menekankan bahwa kapitalisme tidak bekerja melawan alam melainkan bekerja melalui alam. Oleh karenanya, Moore kemudian menyimpulkan bahwa: Any liberation, then, must be aware that human history is an ecologi-political history. Capitalism does not work on nature but through it. Nature is not an external constraint on capital but is internalized by it (Capitalism in the Web of Life, 2015).

Kapitalisme itu bukanlah sistem ekonomi, juga bukan sekedar sistem sosial, melainkan sebuah cara mengorganisasikan alam. Melalui bukunya Capitalism in the Web of Life (2015), Moore melemparkan kritik terhadap Marxisme tradisional dalam memahami hubungan antara kapitalisme dan ekologi.
Baginya kapitalisme bukanlah sebuah sistem ekonomi dengan cara kerja yang berdampak pada alam, kapitalisme itu justru merupakan mode of organizing manusia dengan alam. Kapitalisme harus selalu diposisikan sebagai capitalism-in-nature, kapitalisme yang senantiasa mengorganisir ulang alam untuk akumulasi modal dan capitalism’s taproot runs through the web of life via its strategy of cheap nature. Ia bergantung pada eksploitasi “alam murah” yang bisa terdiri tanah, tanaman, binatang, tenaga kerja manusia, bahan baku.
Dengan itu, proyek emansipasi di dalam kapitalisme tidak lagi terbatas pada emansipasi manusia dalam kontradiksinya di medan produksi, konsumsi dan distribusi. Emansipasi mesti diperluas untuk menjangkau seluruh jejaring penindasan kehidupan baik terhadap manusia maupun non manusia. Dengan kata lain emansipasi dalam arti pembebasan manusia dari kendali pihak lain saja sudah tidak cukup lagi.
Emansipasi tidak lagi melulu tentang manusia, ia harus dilakukan bersama-sama dengan alam. Itu sebabnya kita harus mengganti emansipasi menjadi “ekosipasi”. Melalui Latour dan Moore kita memetik kebijaksanaan bahwa kita perlu menggunakan pendekatan baru dalam melihat diri dan dunia yakni memposisikan alam sebagai subyek yang setara dengan kita.
Kita mesti menukar cara berpikir dualistis yang membelah manusia versus alam, kebudayaan versus sains menjadi cara berpikir yang lebih ‘monistik’ yang melihat alam dan manusia sebagai satu kesatuan proses.

Implikasi politik dari filsafat Latour ini adalah kita mesti mulai mengonstruksi ide tentang masyarakat secara baru. Masyarakat tidak dapat lagi dipandang sebagai monopoli tunggal aktor antropos melainkan relasi antar pelbagai aktor: manusia dan non manusia.
Era sosiologi yang mendefinisikan masyarakat sebagai totalitas manusia atau “moral kumpulan orang” mesti kita sudahi. Dengan itu politik kewargaan kita juga mesti berubah, keaktoran warga tidak dapat lagi dijangkarkan secara eksklusif kepada manusia, melainkan juga kepada mahluk-mahluk non-manusia. Kita mesti mulai memosisikan pohon, hewan, gunung dan laut sebagai warga yang setara dengan manusia, lengkap dengan atribut hak-haknya.
Lebih jauh dari itu, untuk menjaga kelanggengan relasi yang harmonis antara kita dan alam, kita perlu mengupayakan suatu cara baru dalam membangun masyarakat yakni dengan menyertakan alam sebagai aktor. Dengan kata lain, pembangunan mesti diarahkan untuk tidak lagi mendorong pertumbuhan yang timpang, melainkan diarahkan untuk menjaga pertumbuhan sambil menekan konsumsi yang merusak dan berbagai destruksi.
Eko-nasionalisme: Alam Sebagai Warga dalam Nasionalisme Kita
Pertanyaan berikutnya, apa signifikansi seluruh penjelasan filosofis di atas untuk kita? Sejauh mana filsafat dan ilmu sosial yang ditawarkan Latour dan Moore berguna buat kita? Guna menjawab pertanyaan ini, saya ingin menginkorporasikan filsafat Latour dalam refleksi mengenai nasionalisme kita.
Dalam hymne dan lagu-lagu nasional, alam, tanah dan air sering dilukiskan sebagai simbol identitas dan perjuangan. Unsur-unsur ini melekat dalam nasionalisme karena mencerminkan keterikatan emosional dan kultural, antara rakyat dengan tanah kelahirannya. Ada lagu Indonesia Tanah Air Beta, lagu Tanah Pusaka dengan syair “tanah air kutidak kulupakan”. Ada syair “tanah airku Indonesia negeri elok” dari lagu Rayuan Pulau Kelapa.
Hymne dan lagu-lagu ini didendangkan di dalam momen nasional yang istimewa, dengan menghadirkan para pemimpin dan mengekspresikan suasana resmi.
Di dalam sajian hymne dan lagu itu, alam, tanah, air, pulau kelapa, diangkat dan ditransmisikan ke dalam perasaan yang menampilka, setidaknya, imaji tentang bangsa. Dengan itu, entitas material konkret dari alam berangkat menjadi semen pengikat perasaan nasional. Proses signifikasi ini mengubah yang material, alamiah menjadi yang abstrak dan politis.
Ini yang oleh filsafat psikoanalisis Lacan disebut dengan proses ekstimasi (extimacy): singkatan dari dua elemen yakni eksternal dan intimasi. Fakta-fakta eksternal seperti alam, tanah, air, laut, langit dan pohon diangkat sedemikian rupa ke dalam struktur emosi dan memori orang yang bersifat intim guna mengkonfirmasi suatu entitas total negara dan bangsa. Dengan itu ia ditarik dari dunia di luar sana untuk masuk dan menjadi ornament interioritas mental-spiritual warga.
Pengintegrasian alam ke dalam emosi dan imaji nasional ini adalah hal yang tak terelakan dalam pembentukan nasionalisme yang fondasi-fondasi ide dan institusinya didorong oleh modernisme. Menurut Gellner, nasionalisme muncul karena menjawab kebutuhan masyarakat industri akan keseragaman budaya, terutama melalui bahasa, sistem pendidikan, dan administrasi yang terstandardisasi. "It is nationalism which engenders nations, and not the other way round... Industrial society needs homogeneity, and nationalism answers that need" (Nations and Nationalism, 1983).
Di sinilah dimensi material dan eksternal seperti alam, tumbuhan, hewan, ruang dan manusia diakumulasi serta dihitung sebagai satu kesatuan di dalam nasionalisme. Nasionalisme mentotalisasi dan menghomogenkan pelbagai identitas, termasuk identitas dari elemen-elemen non manusia: hewan, tumbuhan, gunung, laut dan langit. Batas-batas dan demarkasi dibuat sehingga dengan itu ‘kebebasan intrinsik’ bukan hanya manusia tetapi juga seluruh entitas kehidupan mengalami relativisasi.
Nasionalisme modernis mentransformasi, alam, laut, pohon, tanah dan gunung dari yang semula aktor otonom menjadi elemen dari memori, pusaka atau menjadi properti dan sumber daya. Dari sini alam yang konkret berubah menjadi alam yang artifisial dalam dua kategori: yang pertama sebagai emosi dan memori kolektif imaji nasionalitas, kedua alam sebagai benda atau milik yang bisa ditransaksikan dan diubah-ubah bentuknya serta relasi kepemilikannya.
Contoh paling mutakhir dari transformasi makna alam dari yang konkret menjadi sekedar obyek artifisial dalam diskursus nasionalisme modernis adalah kontroversi tambang Grassberg di Papua (CNN Indonesia, 2025). Tambang Grassberg adalah tambang emas gigantik milik PT Freeport yang berada di ketinggian sekitar 4285 di atas permukaan laut. Secara spasial kedalaman ini memberikan efek ironis seakan-akan ada dua puncak di pegunungan itu: yang satu Cartensz Pyramid yang puncaknya menjulang ke atas (4.884 mdpl), satunya lagi adalah Grassberg yang ujungnya meruncing ke bawah ke kedalaman 1.500 meter dengan diameter satu kilometer.
Kalau Anda punya kesempatan naik ke permukaan Grassberg, Anda akan dipenuhi kekaguman sekaligus rasa nyeri. Anda kagum dengan kehebatan manusia dan teknologi yang memungkinkan pendakian ke tempat sulit itu dilakukan secara efisien dengan lift-lift skala besar, fasilitas dan kendaraan-kendaraan pengangkut raksasa berseliweran dengan aman. Namun di saat yang sama Anda akan nyeri menyaksikan gunung yang terpenggal ke dalam.
Saat mata memandang ke atas, Anda akan menyaksikan puncak-puncak gunung dengan tebing-tebing yang indah memukau memanjang ke langit, sementara saat kepala menengok ke bawah Anda menyaksikan sang Grassberg yang merupakan tubuh gunung yang sudah terkelupas hingga rusuk dan jantung.
Grassberg senantiasa dibicarakan dalam kerangka nostalgia nasionalistis dan antropsentris: tentang bangsa, tentang kebanggaan nasional, tentang teritori dan manusia. Ia tidak pernah dibicarakan sebagai mahluk yang dikorek 1,5 kilometer ke dalam jantungnya.
Gunung di sini dibicarakan sepenuhnya sebagai obyek: obyek hukum, obyek politik, obyek budaya dan obyek nasionalisme. Gunung tidak dibicarakan sebagai gunung. Orang membela komunitas, membela ekonomi dan kepentingan ‘bersama” tapi tidak ada yang bertanya kepada gunung sebagai subyek atau sebagai warga yang punya hak setara.
Nasionalisme Indonesia mesti bergerak lebih maju dengan mulai memosisikan alam sebagai subyek otonom yang setara dengan warga. Untuk itu, nostalgia dan romansa kita akan keelokan tanah air mesti dikembalikan dari yang bersifat abstrak-estetis menjadi konkret: memosisikan tanah, air, gunung dan laut sebagai subyek hukum dan subyek politik sebagaimana manusia, gunung dan langit. Mengapa?
Alasan paling nyata dari mengapa kita memerlukan eko-nasionalisme adalah karena di hari-hari belakangan ini, bukti-bukti saintifik menunjukkan jika bumi sedang mengalami krisis ekologis serius: Pertama, suhu rata-rata global telah meningkat sekitar 1,1° Celsius dibandingkan level praindustri, dengan 2011-2020 menjadi dekade terpanas yang pernah tercatat (Sixth Assessment Report – Climate Change 2021: The Physical Science Basis, 2021).
Selain itu, konsentrasi CO₂ di atmosfer telah mencapai 421 ppm pada 2023, level tertinggi dalam setidaknya 800.000 tahun dan meningkat 50% dibandingkan level praindustri (NOAA, 2023). Greenland kehilangan es rata-rata 278 gigaton per tahun antara 2006-2015, sementara Antartika kehilangan 155 gigaton per tahun pada periode yang sama (IPCC, 2019). Laju kepunahan spesies saat ini diperkirakan 100-1.000 kali lebih tinggi dari tingkat alamiah, dengan sekitar 1 juta spesies tumbuhan dan hewan terancam punah (IPBES, 2019).
Living Planet Index melaporkan penurunan rata-rata 69% pada populasi mamalia, burung, amfibi, reptil, dan ikan antara 1970-2018 (WWF, 2022) Hampir 40% dari luas habitat alami terestrial telah dikonversi untuk penggunaan manusia, sementara 85% lahan basah telah hilang sejak era pra-industri (IPBES, 2019).
Kerusakan-kerusakan ini masih ditambah parah dengan fakta bahwa sekitar 10 juta hektare hutan hilang setiap tahun antara 2015-2020, meskipun tingkat kehilangan telah melambat dibandingkan dekade sebelumnya (FAO, 2020).
Apa hubungan semua krisis ekologisdengan Indonesia?
Peneliti BRIN memproyeksikan sekitar 115 pulau kecil di Nusantara terancam tenggelam di tahun 2100, sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya permukaan air laut. Artinya lelehan es di Greenland akibat pemanasan global berimplikasi langsung terhadap luas dan integritas teritorial kita. Yang paling menghawatirkan tentu saja adalah tenggelamnya Jakarta dan daerah-daerah di Pesisir Utara Jawa yang diperkirakan terjadi di 2030 (115 Pulau Kecil dan Sedang Terancam Tenggal, n.d.).
Selain itu sebagai akibat dari peningkatan suhu global, kekeringan ekstrem akan menjadi hal biasa, khususnya di Jawa dan Nusa Tenggara. Pola tanam tradisional kehilangan basis prediksinya, berisiko menyebabkan kegagalan panen dan kebakaran hutan yang makin sering serta sulit dikendalikan.
Di Amerika pemimpin seperti Trump secara terbuka mencemooh prinsip-prinsip ekologis dan mengejek kekhawatiran dunia akan krisis ekologis. Trump tidak memiliki peralatan etis untuk memiliki sejumput kepedulian atas masa depan orang lain. Namun kegilaan Trump ditopang oleh pikiran promothean yang dikembangkan oleh para teknolog dan orang-orang super kaya seperti Elon Musk dan Jeff Bezos.
Lebih dari itu, secara moral kita tidak mungkin mengandalkan keselamatan umat manusia di tangan para penguasa pemegang senjata kiamat nuklir. Mereka bisa menolak dan meremehkan krisis ekologi, karena memiliki proyek-proyek futuristik untuk menerbangkan pesawat luar angkasa guna mencari planet hunian baru yang serupa dengan bumi, jika suatu saat bumi kehilangan daya dukung kehidupannya.
Indonesia tidak dapat berpikir dengan skema eskapisme multiplanet ala Bezos atau tebakan-tebakan pasca-apokalip ala Musk. Oleh karenanya, satu-satunya strategi untuk bangsa seperti Indonesia adalah sekuat-kuatnya menyelamatkan planet bumi dari kerusakan. Artinya, negara seperti Indonesia mestinya menjadi negara yang paling keras menyuarakan pentingnya kesadaran akan gentingnya krisis lingkungan, serta paling depan dalam mengupayakan perubahan-perubahan mendasar untuk mengintervensi krisis ekologi. Eko-nasionalisme dengan itu adalah perjuangan bersama yang melibatkan front persatuan antara manusia, pohon, sungai, gunung, dan laut.
Penutup: Ke Arah Ekosipasi
Filsafat Latour menyediakan perangkat epistemik untuk menghalau gap promothean, Langkah itu diawali dengan memulihkan kembali posisi bersama- sama dengan alam. Hanya dengan titik berangkat itu, kita bisa menata kembali hubungan kita dengan teknologi dan dengan itu, mengambil posisi yang lebih berarti untuk meneruskan eksistensi bersama di planet ini.
Dengan menghapus demarkasi antara manusia dan alam, Latour memandang bahwa bumi (Gaia) merupakan aktor utama dalam hubungan sosial. Oleh karenanya pembangunan ekonomi harus menghormati batas-batas planet.
Planet bukanlah sekadar cangkang atau latar yang pasif dan mati melainkan aktor yang ikut aktif dalam membentuk kebudayaan dan politik. Dengan itu, Latour juga mendorong orientasi politik, kebudayaan dan ekonomi yang berpijak pada bumi, bukan sekedar pada nasionalisme modernis atau isu globalisasi.
Kita mesti mendorong politik ke arah politik teresterial, politik yang memperhitungkan semua mahluk: manusia dan non manusia. Implikasi dari pemikiran ini berujung pada satu ide mengenai pentingnya degrowth.
Banyak orang salah berpikir mengenai degrowth, seakan ide ini berujung pada tuntutan radikal untuk mengurangi PDB. Degrowth bukan dimaksudkan untuk mengurangi pendapatan melainkan upaya untuk mengurangi konsumsi dan menangkal produksi yang tidak perlu dan merusak, sembil berupaya memperluas kesejahteraan dan ekologi. Degrowth adalah upaya untuk melakukan pembangunan yang adil antara manusia dengan alam (Farewell to Growth, 2009).
Dalam konteks Indonesia, degrowth dapat dimulai dengan beberapa upaya, yakni:
Pertama, menghentikan pertumbuhan yang merusak, misalnya ekspansi kelapa sawit yang berlebih-lebihan, ekspansi tambang dan megaproyek yang mengabaikan masyarakat adat dan ekologi.
Kedua, menggeser sumber daya dari pertumbuhan yang bersumbu pada elite ke pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Sejak lama, pertumbuhan kita adalah pertumbuhan yang bersifat elitis, pertama-tama karena asumsi dasarnya yang memprioritaskan sektor-sektor seperti tambang, dsb, dengan akibat rezeki ekonomi sebenarnya tidak terdistribusi secara adil ke rakyat banyak melainkan terpusat pada elit ekonomi dan politik.
Ketiga, degrowth dilakukan dengan mendorong agar pembangunan berfokus pada redistribusi dan keadilan sosial melalui: perluasan layanan publik dan dekomodifikasi (kesehatan, pendidikan, transportasi) yakni mempertahankan bidang-bidang pelayanan yang tidak bergantung pada logika pasar kapitalis; misalnya memberikan jaminan kerja atau pendapatan dasar untuk masyarakat miskin dan lemah. Keempat, mendorong ekonomi berbasis komunitas dan degeneratif.
Bersamaan dengan itu kita mesti menolak pelbagai megaproyek elitis dan boros yang tidak dibasiskan pada perencanaan wilayah yang berkeadilan secara ekologis dan sosial (Degrowth: Handbook For A New Economy, 2015).
Dari sini kita juga mesti mendorong upaya agar alam direpresentasikan dalam politik bukan lagi sebagai “fakta” yang netral, tapi sebagai kumpulan aktor yang terhubung dalam jaringan sosial-material. Alam tidak berbicara sendiri—ia dibuat bicara melalui perwakilan yang majemuk, dan karenanya: Politik harus dibuka untuk semua bentuk representasi atas alam. Alam harus dihitung sebagai pihak yang terdampak dan berdampak, bukan sekadar latar.
Dengan itu, demokrasi harus diperluas menjadi ekologi politik representatif. Pohon, sungai, gunung dan laut harus dianggap sebagai warga yang setara yang punya hak untuk didengar suaranya di gedung-gedung DPR dan pemerintahan. Mahluk-mahluk non manusia ini harus diposisikan sebagai subyek politik dan hukum yang setara.
Anda barangkali akan mengatakan saya sudah mulai hilang kewarasan apabila mengatakan bahwa sudah waktunya di DPR kita ada “fraksi pohon, laut dan gunung”, bahwa proses legislasi yang berimplikasi kepada alam mesti didahului dengan mendengarkan suara dari alam. Anda barangkali akan bertanya kepada saya, bagaimana caranya pohon, laut dan gunung bersuara di DPR?
Setiap mahluk hidup memiliki kode-kode yang dapat dipahami oleh ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Ketakmampuan kita berdialog dengan alamlah yang menyebabkan kita tak bisa mendengar suara mereka. Di titik ini, politisi dan para pengambil kebijakan mesti mulai mendengar suara para ilmuwan, pemangku adat, masyarakat lokal dan pencinta lingkungan yang sementara ini menjadi pihak yang paling mampu menginterpretasikan suara dan bahasa alam.
Terakhir, di bidang pengetahuan, kita mesti mulai menghapus batas-batas dan demarkasi antara disiplin keilmuan: antara sains dan humaniora, antara filsafat dengan fisika atau sejarah dan ekonomi. Kita mesti mulai membangun kesadaran bahwa masyarakat bukan sekedar lapangan bermain yang didominasi oleh manusia sebagaimana didefinisikan oleh teori-teori sosiologi dan politik lama, melainkan pertautan prosedural antara pelbagai agen baik manusia maupun non-manusia.
Di sisi yang lain, apa yang disebut sebagai praktik saintifik sendiri, mesti dilihat sebagai proses yang melibatkan konstruksi dan praktik simbolik yang menyediakan arena di mana para ilmuwan bekerja. Dengan itu, selalu ada dimensi alam di dalam ilmu sosial-humaniora, sekaligus selalu ada dimensi kultural-humanistik di dalam ilmu-ilmu alam.
Kesenjangan promothean telah membawa kita ke jurang risiko dan ancaman kiamat antropologis. Namun, saya tidak ingin anda berlalu dari ruangan ini dengan muram, kuatir dan tidak bahagia. Orasi ini tidak dimaksudkan untuk menjadi elegi ataupun nostalgia. Oleh karena itu saya ingin menutupnya melalui cerita segenggam jamur pinus yang dikisahkan oleh antropolog Anna Tsing dalam karnyanya The Mushrom at the End of The World (2015).
Tsing menelaah kehidupan jamur pinus yang di Jepang dijual dengan harga mahal dan masyhur dengan nama Jepang “matsutake” (matsu: pinus, take: jamur) dari sebuah hutan yang telah rusak di Oregon. Matsutake tumbuh secara eksklusif melalui simbiosis dengan akar pohon pinus dari hutan yang telah rusak akibat industri. Jamur ini tidak bisa dibudidayakan. Artinya manusia hanya bisa memanfaatkannya dalam kehidupan liar. Ia diperjual belikan para pemetik yang hidup dalam jaringan informal.
Melalui kisah itu, Anna Tsing ingin meneguhkan kenyataan bahwa kita hidup dalam struktur yang rapuh, rusak dan oleh karenanya penuh ketidakpastian. Kendati demikian, seperti matsutake yang tumbuh dalam puing reruntuhan, begitu pula kita yang hidup di jaman kini. Dalam kehancuran, kerapuhan, ketidakpastian, dan kekacauan yang kita buat kita mesti terus mencari peluang bagi kehidupan dan koekistensi.
Pidato pengukuhan guru besar filsafat sosial Universitas Negeri Jakarta, 12 Juni 2025
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta
Topik :