Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 19 Agustus 2024

Energi Terbarukan Ancam Kera Besar. Kenapa?

Kebutuhan logam untuk energi terbarukan bisa ancam sepertiga populasi kera besar di Afrika. Wah.

kera besar Afrika (foto: Unsplash.com/Andrius Ordojan)

TRANSISI energi fosil ke energi terbarukan menjadi agenda penting untuk mencegah emisi gas rumah kaca. Namun, transisi energi bukan perkara sederhana. Sebab, energi terbarukan butuh logam banyak untuk membuatnya. Kebutuhan logam tersebut akan mengancam keberlangsungan kera besar yang ada di Afrika.

Menurut studi yang dipublikasikan di jurnal Science Advances, penambangan logam dan mineral untuk energi terbarukan akan mengancam sekitar 180.000 gorila, simpanse, dan bonobo. Jumlah tersebut lebih dari sepertiga dari seluruh populasi kera besar yang ada di Afrika.

Transisi energi membutuhkan logam dan mineral, seperti bauksit, kobalt, dan alumunium. Sebagian besar dari logam dan mineral tersebut ada di area yang tertutupi oleh hutan dan merupakan habitat berbagai jenis satwa. Artinya, untuk mendapatkan logam dan mineral tersebut, kita harus mengorbankan tutupan hutan dan satwa yang ada di dalamnya.

Untuk melihat dampaknya lebih jelas, para peneliti memproyeksikan potensi dampak langsung dan tidak langsung pada kera besar yang ada pada jarak 10 dan 50 kilometer dari lokasi tambang di 17 negara Afrika. Para peneliti mempelajari dampak seperti gangguan komunikasi dari kebisingan industri, gejala fisiologis dari polusi cahaya, tabrakan dengan kendaraan, dan penularan penyakit ke dan dari manusia.

Hasilnya menunjukkan aktivitas pertambangan punya pengaruh yang tinggi terhadap habitat kera besar. Khususnya di Afrika Barat, terutama di Guinea. Sebanyak 80% populasi kera besar di Guinea atau sekitar 23.000 simpanse terancam akibat aktivitas pertambangan. Namun, di 97% area pertambangan tidak diketahui kondisinya karena minimnya data kera besar di lokasi tersebut.

Sekitar 30% sumber daya mineral, termasuk 19% cadangan logam penting seperti aluminium dan bauksit, ada di Afrika. Namun, walau Afrika adalah gudang logam dan mineral, saat ini benua itu hanya menyumbang kurang dari 5% dari aktivitas pertambangan global. Artinya masih ada banyak logam dan mineral yang belum ditambang dari benua ini.

Akselerasi transisi energi tentu akan menimbulkan ledakan penambangan logam di Afrika. Jika perusahaan pertambangan hanya melakukan bisnis seperti biasa, yang mengikuti permintaan pasar, keberadaan kera besar dan habitatnya ada dalam risiko besar.

Tak hanya di Afrika, hal serupa juga terjadi di Indonesia. Pembangunan PLTA Batang Toru mengganggu orangutan tapanuli. PLTA Batang Toru membuka sekitar 370 hektare hutan dan 86 hektare di antaranya akan rusak secara permanen. Lokasi PLTA tersebut merupakan salah satu habitat orangutan tapanuli. Belum lagi soal keberadaan tambang emas yang ada di sekitar habitat orangutan tapanuli.

Populasi orangutan tapanuli hanya berkisar 800 individu dan tinggal di hutan yang terisolasi. Namun, kini, konflik orangutan tapanuli dan manusia mulai muncul. Seperti kasus Paya, salah satu orangutan tapanuli yang selamat dengan wajah penuh luka benda tajam dan peluru senapan. Beberapa orangutan tapanuli juga mulai berberapa kali dilaporkan masuk ke permukiman penduduk.

Selalu ada korban dari pembangunan, bahkan jika itu transisi energi bersih. Guru besar ekonomi kehutanan, Dodik Ridho Nurrochmat, dalam sebuah seminar di Bogor baru-baru ini mengatakan bahwa pembangunan akan selalu merusak lingkungan. Lalu seberapa besar yang bisa ditoleransi? "Batasnya adalah daya dukung dan daya tampung lingkungan," kata Dodik.

Dalam kaidah kehutanan, daya dukung dan daya tampung lingkungan sebuah pulau atau daerah aliran sungai adalah 30 persen tutupan hutan. Jawa kini menghadapi kepelikan urusan lingkungan karena hutannya di bawah 20 persen luas pulau. Krisisi iklim membuat daya dukung hutan menjadi lebih rentan lagi karena ancamannya menjadi berganda. Di era perubahan iklim, luas hutan suatu pulau atau DAS menuntut lebih luas lagi.

Ikuti percakapan tentang energi terbarukan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain