Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 06 April 2024

Dari Mana Kerugian Ekologi Akibat Korupsi Timah Rp 271 Triliun?

Jaksa mulai memakai kerugian lingkungan untuk kasus korupsi. Bagaimana menghitungnya?

Kerusakan hutan di Jambi

BARU-baru ini, kita membaca berita dugaan korupsi tata niaga timah di izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Bangka Belitung dengan nilai kerugian yang fantastis, mencapai Rp 271 triliun. Ada 16 orang yang menjadi tersangka dalam dugaan korupsi timah ilegal ini.

Nilai kerugian tersebut terakumulasi dari tahun 2015 hingga 2022. Lantas, banyak masyarakat yang menjadikan taksiran Rp 271 triliun tersebut sebagai bahan analisis dan guyonan. Misalnya ada menghitung bahwa jika seseorang menabung sejumlah Rp 1 miliar setiap hari, uang Rp 271 triliun baru dapat terkumpul setelah 742 tahun.

Profesor Bambang Hero Saharjo, guru besar kehutanan IPB University, yang menjadi ahli valuasi lingkungan mengungkapkan sumber angka kerugian negara tersebut. Asalnya dari total luas galian tambang yang tersebar di tujuh kabupaten di Kepulauan Bangka Belitung dengan luas total 170.363,064 hektare. 

Sekitar 75.345,751 hektare berada di dalam kawasan hutan dengan total kerugian lingkungan Rp 223,37 triliun dan 95.017,313 hektare berada di luar kawasan hutan dengan kerugian lingkungan sebesar Rp 47,7 triliun. Praktik penambangan tanpa izin di wilayah PT Timah Tbk sangat masif sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya berdampak pada perekonomian negara dan masyarakat.

Kalkulasi kerugian negara dari sebuah kasus korupsi mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Definisi kerugian lingkungan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 peraturan tersebut adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat. Terdapat lima komponen untuk menghitung kerugian ekologi, yaitu:

  1. Kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup sebagai akibat tidak dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi, dan/atau pengelolaan limbah B3;
  2. Kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup, meliputi biaya verifikasi lapangan, analisis laboratorium, ahli dan pengawasan pelaksanaan pembayaran kerugian lingkungan hidup;
  3. Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup;
  4. Kerugian ekosistem; dan
  5. Kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Apakah kerugian lingkungan hidup merupakan kerugian negara? Di undang-undang mengenai korupsi, yaitu Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ditemukan definisi yang jelas perihal kerugian negara. Definisi kerugian negara  ditemukan dalam Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 

Dalam perkara korupsi, lazimnya penghitung kerugian negara adalah ahli yang berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau auditor/akuntan yang memiliki kompetensi.

Terobosan hukum pernah dilakukan KPK ketika menggunakan kerugian lingkungan untuk menilai kerugian negara. Terobosan tersebut dilakukan pada 2018 untuk menjerat mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam terkait perkara korupsi pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi kepada PT AHB.

Kala itu, Jaksa KPK menuntut Nur Alam pidana 18 tahun penjara dan memasukkan kerugian kerusakan lingkungan yang sudah terjadi akibat aktivitas PT. AHB. Ahli yang digunakan KPK adalah Basuki Wasis dari IPB University yang mengalkulasi kerugian lingkungan sebesar Rp 2,7 triliun. Jaksa menilai izin yang diterbitkan Nur Alam telah mengakibatkan menurunnya fungsi ekologis pada lokasi tambang di Pulau Kabaena.

Ada tiga jenis penghitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan, yaitu kerugian akibat kerusakan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan.

Upaya KPK ini memunculkan preseden baru terkait definisi ulang kerugian negara. Selama ini kerugian negara dalam kasus korupsi hanyalah besaran nilai uang yang melekat pada tindak korupsi tersebut. Untuk kasus korupsi di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam, kerugian negara saat ini ditambah dengan memasukkan kerugian lingkungan, bahkan kewajiban bagi pelaku untuk memulihkan lingkungan.  Meskipun begitu, peraturan di Indonesia belum mengakomodasi hal ini.

Jika menggunakan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian lingkungan hidup dinyatakan terpisah dari kerugian negara, sehingga perlu ada terobosan hukum dengan menerapkan multi-regime investigation, yaitu penggunaan undang-undang lain di luar undang-undang bidang tindak pidana korupsi, yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Aparat penegak hukum juga perlu menerapkan instrumen hukum lain, yaitu gugatan perdata untuk dapat mengklaim kerugian lingkungan hidup. Terobosan ini diharapkan dapat menjadi model bagi perkara korupsi lain yang bersinggungan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Pengurasan sumber daya alam dan penurunan kualitas lingkungan menjadi topik hangat yang selalu ramai diperbincangkan oleh publik. Eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan bisnis jangka pendek. Tindak pidana di sektor lingkungan hidup-sumber daya alam bersifat kompleks dan berdampak serius.

Tindak pidana lingkungan hidup bisa berjalan mulus, salah satunya karena adanya korupsi yang dilakukan oleh aparat negara. Korupsi ini terjadi dari level operasional di lapangan hingga level tertinggi, yakni level perumusan kebijakan. 

Keterlibatan aparat beragam bentuknya, mulai dari melindungi (backing) pelaku kejahatan, melakukan pembiaran, menerbitkan dokumen dengan menyalahi aturan, membuat kebijakan yang menguntungkan pelaku kejahatan, melakukan pungutan liar, menikmati uang hasil kejahatan dan suap, menadah hasil kejahatan, atau ikut terlibat sebagai pelaku utama. 

Kerugian negara dari kerusakan lingkungan hidup sangat besar. Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode M. Syarif dalam acara “Diskusi Quo Vadis Korupsi Sumber Daya Alam Indonesia” tanggal 16 Juli 2019 menyatakan bahwa sumber daya alam menjadi sektor yang paling banyak dikorupsi.

KPK mencatat bahwa selama periode 2003 sampai 2014 potensi kerugian negara dari produksi kayu ilegal nilainya berkisar Rp 598-799 triliun. Kerugian negara akibat pembalakan liar mencapai Rp 35 triliun per tahun (KPK 2015).

Di sektor pertambangan, KPK mencatat adanya kekurangan  bayar pajak tambang di kawasan hutan sebesar Rp 15,9 triliun per tahun (KPK 2018). Di sektor perkebunan, KPK menemukan Rp18,13 triliun potensi pajak yang tidak terpungut.

Terkait kebakaran hutan dan lahan, Bank Dunia (2016) mengestimasi bahwa kebakaran hebat tahun 2015 menghanguskan 2,6 juta hektare hutan dan lahan di Indonesia serta menelan kerugian senilai Rp 221 triliun atau setara 1.9 persen produk domestik bruto Indonesia tahun 2015.

Indonesia juga merugi sekitar Rp 9 triliun rupiah per tahun dari aktivitas perburuan dan perdagangan tumbuhan dan satwa dilindungi secara ilegal (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2017).

Ikuti percakapan tentang kerugian ekologi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Analis kebijakan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain