Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 04 Januari 2024

Perangkap Sosial Kolonialisme yang Membuat Negara Tropis Selalu Tertinggal

Negara tropis umumnya miskin. Ada perangkap sosial yang ditinggalkan kolonialisme.

Kolonialisme perdagangan melahirkan perangkap sosial

ADA tren global dalam hal kesejahteraan negara di dunia: semakin mendekat ke garis khatulistiwa, baik dari arah utara maupun selatan, pendapatan per kapita negara-negara tersebut semakin menurun. Ini fakta yang sudah lama kita tahu, dengan berbagai penjelasannya. Namun fakta tersebut tetap saja berlangsung hingga sekarang. Bahkan, apabila diukur dengan telah habisnya beragam sumber daya alam seperti hutan alam, dapat dikatakan hasil pembangunan kian defisit.

Benarkah bangsa-bangsa tropika ini berada di kawasan yang miskin? Mungkin jawaban akan pertanyaan ini tergantung pada periode kapan kita menetapkan garis batas dan apa yang terjadi dalam periode yang dibicarakan. 

Apabila kita menggunakan hasil analisis Modelski dan Thompson (1996) dengan memanfaatkan model analisis Kondratieff, era perdagangan global lada sudah berkembang pada 1350 dan rempah-rempah pada 1492.  Di Nusantara, perdagangan rempah-rempah sudah dimulai sebelum bangsa Eropa sampai di wilayah ini, yaitu perdagangan rempah-rempah yang dikuasai oleh para pedagang dari India, Persia, Arab dan Cina. Baru pada 1509 pedagang bangsa Portugis sampai di Goa, India, dan kemudian sampai di Malaka pada 1511. VOC lalu didirikan pada 1602.

Perbandingan GDP

 
Era globalisasi tahap ini merupakan era perdagangan global yang disertai oleh kolonialisasi. Artinya, model eksploitasi dengan mengatas-namakan perdagangan. 

Data pada gambar di bawah ini menunjukkan bahwa Belanda memperoleh pendapatan dari tanam paksa dalam jumlah yang besar. Pada tujuh tahun awal setelah Perang Diponegoro saja, van den Bosch bisa mengirim uang ke Belanda senilai 75.9 juta gulden, setara 35,3% pendapatan nasional Belanda ketika itu. 

Pendapatan tanam paksa tertinggi yang diterima oleh Belanda terjadi pada periode 1855-1860 dan 1860-1865 sebesar 139,8 juta gulden dan 126,8 juta gulden, atau masing-masing mencapai 50,7% dan 56,8% dari pendapatan nasional Belanda dalam periode tersebut.

Menurut data Bank Dunia, PDB Belanda pada 2021 adalah US$ 1.013 triliun. Sebanyak 50% dari jumlah tersebut adalah US$ 506.5 miliar atau sekitar Rp 7.795,03 triliun. APBN Indonesia pada 2021 hanya Rp 2.011,3 triliun.

Dengan mengasumsikan terdapat hubungan proporsional dalam perekonomian Belanda 1855-1860 dengan kondisi perekonomian Belanda sekarang, 50% pendapatan Belanda dari tanam paksa senilai 3,87 kali lebih besar dari APBN Indonesia pada 2021. Dari perkiraan kasar ini, kita mendapatkan gambaran kasar pula dari fenomena masa lalu yang bisa menjelaskan mengapa negara-negara tropika yang menjadi negara-negara jajahan bangsa Eropa masih tetap saja menjadi negara miskin sampai sekarang.

Apa yang dikerjakan penjajah terhadap bangsa yang dijajahnya? Politik apartheid dengan sendirinya telah membuat sekelompok manusia yang identitasnya berbeda dengan penguasa (penjajah) merupakan kelompok manusia yang derajatnya lebih rendah. 

Kolonialisme Belanda

Perbedaan status ini berimplikasi terhadap segala bentuk kehidupan termasuk tingkat kesejahteraannya baik melalui akses pendidikan, pekerjaan, dan terutama terhadap akses kepemilikan. 

Bangun struktur ekonomi dualistik dengan sendirinya juga merupakan cetak biru struktur ekonomi yang bersifat diskriminatif. Peningkatan intensitas feodalisme juga merupakan persenyawaan antara kolonialisme dengan diskriminasi. 

Latar belakang ini memberikan pemahaman mengapa kalimat pertama dalam Pembukaan UUD 1945 adalah “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Jadi, nilai tertinggi yang perlu dimiliki oleh suatu bangsa adalah Kemerdekaan.  Tanpa Kemerdekaan (dengan “K”) tidak ada kedaulatan, keadilan, atau nilai-nilai lain yang senada. Karena itu, menghilangkan nilai kemerdekaan (sama dengan menerapkan penjajahan) juga sama dengan menghilangkan nilai kemanusiaan itu sendiri.

Jadi, apa yang dikerjakan penjajah terhadap bangsa yang dijajahnya? Kalau belajar dari sejarah perbudakan, kita akan mendapatkan kenyataan bahwa kaum yang dijajah bisa menjadi bagian dari kekayaan bangsa yang menjajahnya—manusia menjadi barang dagangan dan menjadi bagian dari aset tidak bedanya dengan sapi atau kerbau. 

Apa yang terjadi secara psikologis apabila budaya yang dibangun adalah budaya penjajahan?   Sesuai dengan pemahaman budaya sebagai cara berpikir, cara merasa atau cara berperilaku yang telah menjadi tradisi, penjajahan akan mempengaruhi apa yang menjadi benar atau salah; dan apa yang menjadi baik atau buruk, yang hidup dalam suatu masyarakat. 

Penjajahan membentuk nilai yang hidup dalam masyarakat yang kompatibel dengan tujuan penjajahan itu sendiri. Akibatnya, jalan yang ditempuh merupakan jalan yang salah.

Perangkap sosial (social traps) sebagaimana diungkapkan oleh John Platt (1973) pada dasarnya menggambarkan suatu situasi atau kondisi di mana suatu masyarakat berada di dalam kehidupan suatu perangkap, sebagaimana halnya sekelompok ikan yang masuk ke dalam satu perangkap; mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka berada dalam suatu perangkap. 

Andaikan saja mereka menyadari sedang berada di dalam suatu perangkap, mereka mengalami kesulitan untuk bisa keluar dari kondisi atau situasi yang telah memerangkapnya. Demikian pun halnya bangsa-bangsa tropika, termasuk Indonesia yang sudah/sedang berada dalam satu perangkap sosial peninggalan Belanda pada masa lalu.  

Ilustrasi peninggalan dalam bidang ekonomi yang masih sampai sekarang dapat dikatakan sebagai rancang-bangun ciptaan Belanda sejak zaman dulu adalah rancang bangun berupa kondisi bahwa semua produk perkebunan yang memiliki sifat alami dapat diangkut langsung ke Belanda sebagai bahan baku.

Semua produk tersebut diangkut supaya secepatnya sampai di Belanda dan diolah di sana.  Rancang bangun dan jejaring transportasi mulai dari pedalaman hingga ke pelabuhan dibuat untuk memenuhi kriteria tersebut. 

Rancang bangun tersebut masih relatif berlaku hingga sekarang sebagaimana diperlihatkan oleh nilai produk ekspor yang rendah. Nilai ekspor seluruh produk Indonesia ternyata masih lebih rendah daripada nilai ekspor seluruh produk Malaysia.  Suatu bukti nyata industrialisasi kita tertinggal dari Malaysia.

Dalam hal sistem perekonomian, para pendiri Indonesia sudah menyadari bahwa struktur ekonomi yang dibangun Belanda merupakan struktur yang tidak cocok untuk membangun perekonomian Indonesia setelah merdeka. Jalan keluar dari social traps struktur ekonomi ciptaan Belanda menurut para pendiri Republik kita adalah mengamalkan UUD 1945 Pasal 33. Dengan membangun koperasi sebagai hak konstitusional rakyat Indonesia, Indonesia akan bisa keluar dari perangkap sosial peninggalan sejarah penjajahan masa lalu.

Ikuti percakapan tentang kolonialisme di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain