Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 13 Juli 2023

Cegah Deforestasi dengan Beralih ke Susu Nabati

Peternakan menyumbang emisi gas rumah kaca yang besar. Beralih ke susu nabati bisa jadi solusi krisis iklim

Susu nabati

SUSU nabati adalah minuman yang dibuat dari tumbuhan sebagai substitusi dari susu hewani. Di masa krisis iklim, kita perlu beralih ke minuman yang terbuat dari biji-bijian- kacang-kacangan, atau serealia dengan campuran air, pengental, dan diperkuat dengan tambahan protein ini. Susu nabati memiliki warna, tekstur, dan rasa yang mirip dengan susu hewani.

Mengingat fungsinya yang sama, masyarakat perlu mulai beralih dari susu hewani ke susu nabati. Walaupun memiliki kandungan protein yang lebih sedikit, produk susu nabati biasanya dibuat menggunakan tambahan protein. Menurut Sousa dan Kopf, dalam Nutritional implications of an increasing consumption of non-dairy plant-based beverages instead of cow's milk in Switzerland, kandungan lemak jenuh yang ada pada susu nabati juga lebih sedikit dibanding susu hewani.

Mengonsumsi susu nabati semakin relevan apabila kita melihatnya dari segi keberlanjutan lingkungan. Produksi usu hewani merupakan salah satu penyumbang deforestasi terbesar, menurut Assunção, Lipscomb, Mobarak & Szerman dalam Agricultural productivity and deforestation in Brazil (2017).

Sementara pembebasan lahan dalam pembuatan susu nabati hanya untuk pertanian tanaman yang akan dijadikan susu, sementara dalam proses pembuatan susu hewani, diperlukan lahan untuk pertanian bahan baku pakan hewan dan untuk peternakan. Kebutuhan lahan yang lebih sedikit berarti hutan yang dialihfungsikan sebagai lahan komersil akan berkurang.

Selain memerlukan lahan lebih banyak, produksi susu hewani mengeluarkan gas rumah kaca yang masif dibanding susu nabati. Produksi susu hewani memerlukan peternakan yang mengeluarkan banyak emisi gas rumah kaca, terutam metana. Pemeliharaan hewan ternak mengeluarkan emisi gas CH4 dan N2O. Emisi dari hewan ternak masih ditambah emisi yang dikeluarkan saat produksi pakan hewan dan logistik ke peternakan.

Dengan beralih ke susu nabati, masyarakat akan mengurangi permintaan pasar terhadap susu hewani. Permintaan pasar yang berkurang tentunya akan memperlambat industri peternakan yang tidak berkelanjutan. Pembukaan lahan untuk peternakan dan emisi yang dikeluarkan akan berkurang. Meskipun perkembangannya terhambat, industri peternakan tidak akan mati karena masyarakat masih memerlukan daging dan kulit hewan ternak sebagai bahan makanan dan kerajinan.

Susu nabati sudah banyak tersedia di pasar Indonesia. Beberapa jenis susu nabati yang populer di Indonesia adalah susu oat, susu kedelai, dan susu almond. Susu nabati biasanya dijual di pasar modern, tetapi beberapa jenis susu, seperti susu kedelai, juga sering ditemukan dijual oleh pedagang kaki lima.

Susu nabati yang paling baik untuk dikonsumsi bukan hanya dilihat dari segi nutrisi, tetapi juga dari emisi yang dikeluarkan. Masyarakat perlu memilih mana susu nabati dengan emisi karbon paling sedikit sebagai bagian dari mitigasi krisis iklim. Hal yang dapat dijadikan pertimbangan adalah efektivitas bahan dengan produk susu yang dihasilkan, logistik bahan menuju tempat produksi, dan distribusi produk dari pabrik ke pasar. Beberapa susu nabati yang dapat dijadikan opsi adalah susu oat, susu beras, dan susu kedelai.

Susu oat adalah susu nabati yang paling populer di pasaran saat ini. Banyak kafe menggunakan susu oat sebagai substitusi utama susu sapi dalam produknya. Sayangnya susu oat bukan opsi terbaik bagi lingkungan, khususnya di Indonesia. Produsen susu oat paling populer di Indonesia masih menggunakan oat yang diimpor dari Australia. Impor bahan baku pembuatan susu oat mengeluarkan emisi karbon yang cukup besar dalam perjalanannya.

Susu beras merupakan alternatif yang layak dicoba mengingat beras merupakan salah satu serealia yang banyak ditanam di Indonesia. Namun, pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan kenaikan konsumsi beras sebagai bahan pangan (Septiadi & Joka, 2019).

Saat ini susu beras acap dipakai sebagai substitusi susu sapi tanpa menambah impor yang dilakukan pemerintah, tetapi dalam jangka panjang pemerintah akan kesulitan memenuhi kebutuhan beras masyarakat. Akhirnya impor atau tak impor, cadangan beras harus ditambah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pembuatan susu beras.

Susu kedelai merupakan susu nabati yang sudah lama beredar di pasar Indonesia. Produksi susu kedelai juga menggunakan lebih sedikit air dari susu hewani dan beberapa jenis susu nabati lainnya. Untuk membuat satu liter susu kedelai hanya menghabiskan 28 liter air. Angka tersebut jauh lebih sedikit dari susu sapi yang memerlukan 628 liter air dan susu oat yang memerlukan 48 liter air.

Masalahnya, penggunaan susu kedelai sebagai alternatif utama susu hewani memnyebabkan berkurangnya suplai kedelai sebagai sumber protein yang lebih murah dan ramah lingkungan daripada daging.

Menggantikan susu hewani yang telah menjadi bagian pokok dalam diet kita memang bukan hal mudah. Namun, hal itu diperlukan mengingat pemanasan global yang menyebabkan krisis iklim sudah semakin parah. Konsumsi susu nabati lebih memungkinkan berkelanjutan dibanding susu hewani.

Ikuti percakapan tentang krisis iklim di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Mahasiswa Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain