Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 22 Juni 2023

Apa Itu Biodiversity Loss

Ada hubungan signifikan dalam kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) dengan ketahanan pangan. Seperti apa?

Biodiversity loss dan ketahanan pangan

BIODIVERSITY loss adalah sebuah terminologi untuk mendefinisikan kehilangan keanekaragaman hayati. Hilangnya keanekaragaman hayati terjadi ketika setiap bentuk keanekaragaman hayati (seperti keanekaragaman genetik, spesies, dan ekosistem) mengalami penurunan di suatu wilayah tertentu melalui proses seperti kematian (termasuk kepunahan), perusakan, atau pemindahan manusia. Penurunan terjadi dalam berbagai skala, mulai dari kepunahan global hingga kepunahan populasi, yang menyebabkan penurunan total keragaman dalam skala yang sama. 

Biodiversity loss berhubungan dengan kuantitas bahan pangan lokal. Perubahan paradigma dalam memandang dan menghargai alam adalah penyebab terjadinya degradasi ekosistem.

Konstruksi Kayu

Alam memiliki nilai yang di dalamnya ada: (i) pandangan dunia, yaitu cara manusia memahami dan berinteraksi dengan dunia; (ii) sistem pengetahuan, yaitu kumpulan pengetahuan, praktik dan kepercayaan seperti sistem pengetahuan akademik, adat dan lokal yang diwujudkan dalam pandangan dunia; (iii) nilai-nilai yang luas, yaitu prinsip-prinsip moral dan tujuan hidup yang memandu manusia-alam interaksi; (iv) nilai-nilai spesifik, yaitu penilaian tentang pentingnya alam dalam konteks tertentu (nilai-nilai instrumental, relasional, dan intrinsik); dan (v) indikator nilai, yaitu ukuran kuantitatif dan deskriptor kualitatif yang digunakan untuk menunjukkan pentingnya alam dalam hal metrik biofisik, moneter, atau sosiokultural.

Perubahan dalam menilai alam dan tereduksinya hubungan manusia-alam melahirkan simplifikasi jenis dan pemilihan jenis dalam penyiapan makanan. Pilihan bahan pangan pada akhirnya menjadi terbatas, dan sebaliknya. Perubahan cara dan gaya hidup seseorang akan secara kolektif mendorong penilaian terhadap alam dan seluruh sumber daya yang ada di dalamnya hanya dari sisi harga pasar.

Jika pemanfaatan keanekaragaman hayati fokus pada hal yang dapat diperdagangkan, relasi manusia dengan keanekaragaman hayati untuk urusan pangan, kebutuhan hiburan, dan pemeliharaan kesehatan berakhir pada eksploitasi berlebihan. Padahal, semua itu berangkat dari dokumentasi pengetahuan lokal masyarakat dalam sistem Traditional Ecological Knowledge (TEK) atau Local Ecological Knowledge (LEK).

Kajian Sullivan (2013) memastikan bahwa ini terjadi karena eksistensi LEK dan TEK dalam mekanisme pasar lokal ditangkap dan digantikan oleh pasar global yang memaksa perkembangan dan distribusi pengetahuan mengenai nilai dan manfaat keanekaragaman hayati menjadi kurang merata. Pengendalian akses dan lemahnya pengaturan benefit sharing atas sumber daya alam yang dilindungi, terutama dalam konteks keanekaragaman hayati yang menyebabkan terjadinya peningkatan laju kehilangan.

Apa yang ditulis van der Eng (2020) mengenai penurunan produksi pangan di pulau Jawa menjadi salah satu bukti. Belum lagi jika menilik kasus pemanfaatan keanekaragaman hayati satwa liar seperti daging dan sisik tenggiling sama nasibnya dengan suara dan warna bulu pada burung, cula pada badak, kulit pada buaya, dan gading pada gajah yang dieksploitasi secara berlebihan. Padahal upaya pemulihan atas benefit yang diambil dari masing-masing spesies untuk kebutuhan manusia berbeda-beda. 

Menurut Bryant dan Bailey (1997) dalam Third World Political Ecology, perubahan lingkungan erat kaitannya dengan ekonomi politik global. Dalam konteks biodiversity loss, banyak catatan sejarah di sebagian besar negara seperti yang diulas Anderson (2019), menyatakan hal ini adalah masalah politik. Peran negara yang teknosentris gagal menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan keberlanjutan penggunaan biodiversitas.

Summary for Policymakers of the Methodological Assessment Report on the Diverse Values and Valuation of Nature of the Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES, 2022) menyatakan keputusan ekonomi dan politik didominasi oleh seperangkat pemahaman yang sempit terhadap nilai keanekaragaman hayati, yaitu prioritas nilai-nilai alam yang diperdagangkan di pasar. 

Bila dihubungkan dengan konsepsi dan permasalahan pangan saat ini, jebakan pemanfaatan sumber daya yang fokus pada keanekaragaman hayati bernilai jual secara ekonomi ini mengabaikan keragaman jenis pangan yang dapat dimanfaatkan. Fokus pemanfaatan keanekaragaman hayati pada konsepsi pasar menciptakan pengabaian terhadap alam secara tidak langsung.

Keanekaragaman hayati yang tidak atau belum diketahui nilai ekonominya cenderung tidak dikelola dan menjadi open access. Masyarakat yang tinggal di sekitar ekosistem gambut Tahura Orang Kayo Hitam Jambi adalah contohnya. Pengetahuan yang terbatas mengenai bentuk     pemanfaatan lahan gambut mendorong transaksi jual beli lahan yang mengubah bentang alam.

Lemahnya pengetahuan pengelolaan ekosistem tidak hanya terjadi pada masyarakat, juga pada institusi pemerintah atau aktor negara di tingkat lokal. Dari publikasi jurnal Wulandari, dkk (2021) kita tahu staf Tahura OKH Jambi yang mengelola ekosistem gambut memiliki pengetahuan lemah terhadap keragaman spesies gambut.

Kelestarian keanekaragaman hayati merupakan jawaban atas tantangan pembangunan berkelanjutan, masalah perubahan iklim, dan ketahanan pangan. Setelah Brazil, Indonesia memiliki keragaman sumber pangan yang tertinggi di dunia dengan berbagai macam jenis tanaman pangan. Yayasan Kehati (2015), Indonesia menempati peringkat ketiga dengan memiliki 77 jenis tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat, 75 jenis sebagai sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 110 jenis rempah dan bumbu, serta 40 jenis bahan minuman.

Sejak awal Orde Baru, Indonesia telah berupaya mengelola jumlah jenis dan mengatur populasi dan ketersediaannya bagi pemenuhan kehidupan masyarakat. Biodiversity Action Plan for Indonesia (BAPI) disusun setahun setelah keterlibatan Indonesia dalam menandatangani konvensi CBD pertama di Rio de Jainero tahun 1992 dan direvisi menjadi IBSAP 2003-2020 sebagai panduan pengelolaan dan pemanfaatan Kehati.

Setelah 2020, strategi dan rencana aksi yang baru sedang disusun hingga tahun ini dan akan disesuaikan dengan target-target Kumning-Montreal the Post-2020 Global Biodiversity Framework (GBF). Target-target tersebut dikelompokkan dalam tiga isu besar, yaitu:

  1. Pengurangan resiko ancaman terhadap keanekaragaman hayati sebanyak delapan target.
  2. Pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui pemanfaatan berkelanjutan dan pembagian manfaat sebanyak lima target.
  3. Upaya untuk mendukung implementasi dan pengarusutamaan isu 1 dan 2 ada sepuluh target.

Baik diversifikasi pangan lokal maupun kehilangan keanekaragaman hayati merupakan dua isu penting yang saling terkait dalam perspektif ekologi politik. Hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya soal keberadaan satu spesies tertentu di lokasi tertentu, juga melibatkan pertanyaan yang lebih dalam mengenai “mengapa ia tidak ada”, “kapan itu hilang”, “situasi apa yang menyebabkannya hilang”, dan “siapa yang menghilangkannya”. 

Oleh sebab itu, tantangan dalam diversifikasi pangan lokal tidak hanya melibatkan faktor-faktor ekologi, termasuk pengaruh ketersediaan dan dukungan stok keanekaragaman hayati, aspek politik, dan sosial yang kompleks. Tindakan yang diambil untuk upaya pemulihannya pun sangat dependen terhadap politik dan situasinya. Tantangan ini perlu diatasi dengan kerja sama antara pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk menciptakan lingkungan yang mendukung diversifikasi pangan lokal. 

Masyarakat adat dan lokal harus terlibat penuh. Laporan Global Biodiversity Outlook (GBO-5) mengidentifikasi berbagai penyebab, salah satunya yang paling tinggi yaitu betapa pentingnya peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam menjaga keanekaragaman hayati dan menerapkan pemanfaatan yang berkelanjutan. 

Kegagalan mencapai target terjadi karena mengabaikan peran, termasuk pengakuan yang terbatas dalam strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati tingkat nasional, jika pun ada, seperti yang disebut adanya pergeseran paradigma, maka itu hanya berbentuk ‘proyek jangka pendek’ yang sebenarnya tidak mengakar kuat.

Berbagai kebijakan yang termanifestasikan dalam bentuk peraturan perundangan khususnya di Indonesia pada kenyataannya juga tidak mengatur hal teknis bagaimana menumbuhkembangkan ekosistem di alam, melainkan fokus pada bagaimana perilaku manusia menghadapi dan mengelola ekosistem dan lingkungan dengan baik dan sebagaimana mestinya. Artinya, ada nilai-nilai, cara hidup, pengetahuan, tata kelola sumber daya dan sistem manajemen, ekonomi dan teknologi masyarakat adat dan komunitas lokal yang dapat menjadi bekal kesuksesan seluruh Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dunia.

Kita memerlukan perubahan signifikan dalam cara kita berinteraksi dengan alam, termasuk perubahan yang serius dalam pola makan dan sistem produksi pangan. Pada masa dengan tingkat ketidakpastian tinggi, penting bagi kita untuk menjaga keberagaman genetik melalui pengelolaan ketat terhadap keanekaragaman hayati di alam agar terhindar dari krisis pangan.

Untuk mengatasi tantangan itu, perlu kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, dan pemangku kepentingan lainnya, serta dukungan kebijakan yang tepat, insentif, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Perspektif ekologi politik memberikan wawasan yang penting dalam memahami dan mengatasi masalah biodiversity loss dan kesulitan diversifikasi pangan lokal.

Ikuti percakapan tentang keanekaragaman hayati di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Dosen tetap di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, anggota aktif Perkumpulan KKI Warsi, dan sedang menempuh pendidikan doktor di Program Studi PSL IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain