Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 10 April 2023

Riset Masalah Tersembunyi Kebijakan Publik

Ada masalah ada gejala. Peneliti dan pembuat kebijakan publik harus mengenali keduanya.

Riset masalah tersembunyi

SELAMA ini kebijakan publik yang secara praktis diartikan sebagai peraturan dan petunjuk teknis pelaksanaannya, diturunkan dari kewajiban administrasi bagi unit kerja tertentu. Anggapan ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Juga: aturan terbit untuk menyelesaikan problem di lapangan. Anggapan kedua ini lebih kepada asumsi dan harapan. 

Masalahnya, problem di lapangan acap menjadi misteri. Selain persoalan itu berkembang dari waktu ke waktu, sebuah masalah bisa melampaui fungsi dan tugas suatu unit kerja di lembaga pemerintah. Karena itu dari sini timbul titik buta (blind spot). Persoalan di masyarakat tak diselesaikan lembaga pemerintah hanya karena bukan kewenangan tugas dan fungsinya. Atau lembaga yang berwenang menyelesaikannya tak bisa menanganinya karena sedang sibuk menangani problem lain di tempat lain. 

Dalam kenyataan, kita tidak bisa berkreasi lebih bebas sesuai kondisi. Implementasi selalu dibatasi peraturan, dengan perspektif yang bisa saja ketinggalan oleh perubahan kondisi lapangan. Atau sejak awal peraturan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Akibatnya, apa yang dikerjakan aparatur negara sesuai dengan aturan, namun belum tentu sesuai dengan masalahnya, meski tetap sejalan secara administrasi sehingga di atas kertas problem teratasi. Dengan administrasi para pengawas lebih mudah mengenai kebenaran dan kekeliruan pelaksanaan sebuah aturan. Inspektorat lebih senang juga dengan hal-hal administratif karena lebih mudah membuat rekomendasi.

Sebuah peraturan juga bisa terbatas perspektifnya, meski para pembuatnya ingin memasukkan segala segi. Pembatasan terjadi karena sektor. Akibatnya, selain perspektif menjadi sempit, telaah masalah juga tak mencakup seluruhnya. Dengan begitu, paradigma para pembuat kebijakan juga menjadi terbatas meski mereka paham kompleksitas masalah di lapangan. 

Dengan kenyataan-kenyataan itu, realitas selalu tidak bebas. Realitas selalu dihubungkan dengan tugas aparatur pemerintahan yang terbatas. Akibatnya, aturan menjadi terbatas. Fakta menjadi tergantung pada latar belakang peraturan dan siapa yang menjalankannya. Setiap bidang pekerjaan serta setiap kasus membawa faktanya sendiri-sendiri, bukan berdasarkan realitas yang membentuknya.

Tak hanya dalam pembuatan kebijakan, di kalangan akademik, telaah atas fakta seperti itu juga acap terjadi. Peneliti membuat kerangka pikir sendiri dalam menentukan masalah penelitian. Akibatnya, hasil penelitian tak sesuai dengan masalah yang sesungguhnya dialami masyarakat, dunia bisnis, atau lingkungan.

Apalagi, jika penelitian atau pelaksanaan kebijakan terjadi karena proyek. Karena terbatas waktu dan target yang jelas, para pelaksana proyek punya cara mempertanggungjawabkan kegiatan tanpa risiko. Dana riset dalam proyek dianggap sebagai dana kegiatan yang habis sekali pakai, bukan investasi. 

Dalam “Handbook of Public Policy Analysis: Theory, Politics, Methods”, Frank Fischer, dkk (2015) ada tulisan Thomas A. Birkland yang menyebut bahwa koherensi isu, masalah, dan solusi alternatif dalam kebijakan publik sangat penting karena menentukan isu mana yang akan mendapat perhatian dari masyarakat dan pengambil keputusan.

Riset kebijakan pun menjadi penting dan perlu dihubungkan dengan kondisi masyarakat serta karakteristik wilayah yang beragam. Riset ini perlu dimulai dari pemahaman fakta lapangan, lalu menetapkan akar masalah dengan pendekatan multidisiplin.

Bayangkan, seorang peneliti kebijakan publik terikat oleh bidang, sektor, dan cara pandangnya sendiri yang terbatas. Padahal suatu fenomena di masyarakat bisa sekadar gejala dan bukan akar masalahnya. Akar masalahnya itu tersembunyi sehingga solusinya pun tak sesuai dan relevan. Bahkan kebijakan menjadi fatamorgana: seolah sesuai padahal ilusi.

Ikuti percakapan tentang kebijakan publik di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Translated by  

Bagikan

Komentar



Artikel Lain