Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 03 Maret 2023

Konservasi Tumbuhan Endemik Gunung Pancar

Tumbuhan endemik Gunung Pancar terancam punah. Belum masuk kategori IUCN.

Gunung Pancar, lokasi keanekaragama hayati endemik pulau Jawa (Foto: Iyan Robiansyah)

BAGI Anda yang tinggal di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mungkin pernah mendengar Gunung Pancar. Gunung kecil setinggi 300-800 meter dari permukaan laut ini berada di Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di masa pandemi Covid-19, Gunung Pancar terkenal karena dikunjungi banyak orang, termasuk selebritas, yang hiking, menikmati curug, atau sekadar jalan-jalan.

Selain sebagai tempat wisata, Gunung Pancar menjadi salah satu lokasi tumbuhan endemik pulau Jawa. Gunung Pancar dan area di sekitarnya telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam (TWA) sejak 1988 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 156/kpts-II/1988 dengan luas 447,5 hektare.

Topografi Gunung Pancar umumnya bergelombang terjal dengan kemiringan lahan sekitar 15-40%. Curah hujan rata-rata 3.000-4.500 milimeter per tahun, suhu terendah 240 Celsius, suhu tertinggi 33C, dan kelembaban udara 58-82%.

Secara administrasi, pengelolaan TWA Gunung Pancar berada di bawah pemangkuan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sejak 1993, hak pengusahaan pariwisata di Gunung Pancar diberikan kepada PT Wana Wisata Indah yang berdiri pada 1986 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 54/Kpts-II/93. 

Hutan Gunung Pancar merupakan hutan dataran rendah (lowland forest) yang termasuk kedalam Ekoregion Hutan Hujan Jawa bagian Barat (Western Java Rainforests Ecoregion).

Kekayaan jenis tumbuhan di Gunung Pancar telah menarik perhatian peneliti tumbuhan sejak lama. Peneliti pertama yang melakukan studi tumbuhan di sini adalah Carl Ludwig Blume, dokter medis kelahiran Jerman 1796. Semenjak kedatangannya di Pulau Jawa pada tahun 1818, Blume diangkat menjadi Wakil Direktur Kebun Raya Bogor (KRB) dan selanjutnya menjadi Direktur KRB pada 1822 menggantikan Caspar Georg Carl Reinwardt, direktur pertama KRB.

Dari 1818 sampai 1825, Blume menjelajah sebagian besar daerah Jawa Barat, termasuk Gunung Pancar. Setelah itu ada Wilhelm Sulpiz Kurz, seorang botanis kelahiran Jerman 1834 yang bekerja sebagai asisten di KRB pada 1859-1863. Selain di Gunung Pancar, pada periode tersebut, Kurz juga mengunjungi beberapa daerah lain di Jawa Barat seperti Cisarua, Gunung Pangrango, dan Gunung Mandalawangi.

Setelah periode Blume dan Kurz, Gunung Pancar menarik banyak peneliti flora dari berbagai negara untuk mengungkap keanekaragaman tumbuhan yang terdapat di dalamnya. Peneliti terakhir yang diketahui melakukan penelitian tumbuhan di Gunung Pancar adalah tim dari Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang pada awal 2023 mencoba menelusuri kondisi terkini populasi jenis-jenis tumbuhan endemik yang ada di Gunung Pancar.

Gunung Pancar merupakan rumah bagi setidaknya delapan jenis tumbuhan endemik Pulau Jawa, yaitu Piper pantjarense, Ternstroemia houtsoortiana, Peristrophe pantjarensis, Taeniophyllum pantjarense, Liparis prianganensis, Bulbophyllum semperflorens, Pandanus nitidus, dan Cryptostylis javanica. Empat jenis yang disebutkan pertama merupakan jenis dengan sebaran sangat sempit dan hanya ada di Gunung Pancar. Dengan luas area yang cukup sempit, keberadaan 8 jenis tumbuhan endemik ini menjadi sangat spesial dan menjadikan Gunung Pancar salah satu area dengan kepadatan jenis tumbuhan endemik tertinggi di Pulau Jawa. 

Keberadaan tumbuhan endemik di Gunung Pancar saat ini terancam punah. Ancaman terbesar datang dari alih fungsi tutupan hutan menjadi area perkebunan dan pertanian. Keterangan dari pegawai BBKSDA Jawa Barat yang bertugas di resor TWA Gunung Pancar, luas TWA yang masih berupa hutan alami saat ini kurang dari 20 hektare. Sebagian besar tutupan kawasan TWA sudah berupa perkebunan Pinus (Pinus merkusii), Kopi (Coffea sp.) dan lahan pertanian masyarakat.

Selain itu, ancaman terhadap tumbuhan endemik juga datang dari degradasi kondisi hutan akibat aktivitas wisata, penebangan pohon, dan pemanenan yang tidak berkelanjutan, khususnya untuk jenis-jenis anggrek yang berpotensi sebagai tanaman hias. Sebanyak 50% atau 4 dari 8 jenis tumbuhan endemik yang ditemukan di Gunung Pancar adalah dari suku Angrek-angrekan (Orchidaceae).

Untuk mendukung konservasi seluruh jenis tumbuhan endemik Gunung Pancar, perlu perencanaan dan aksi konservasi menyeluruh yang melibatkan seluruh pihak (stakeholders) terkait. Beberapa aksi kegiatan yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut:

Survei populasi. Kegiatan ini penting untuk mengetahui kondisi terkini populasi seluruh jenis tumbuhan endemik yang ada di Gunung Pancar. Dengan kegiatan ini, beberapa informasi berikut akan diperoleh: ukuran dan struktur populasi, distribusi, preferensi habitat, dan ancaman. Data dasar ini nantinya dapat digunakan sebagai baseline bagi perencanaan dan aksi konservasi jenis tumbuhan endemik Gunung Pancar beserta habitatnya.

Penilaian status konservasi. Kegiatan ini berfungsi untuk mengetahui risiko kepunahan seluruh jenis tumbuhan endemik Gunung Pancar. Kriteria dan kategori dari daftar merah IUCN (IUCN red list) bisa menjadi patokan dalam proses penilaian. Status tumbuhan endemik hasil penilaian dapat dimanfaatkan oleh berbagai stakeholders, baik dalam proses perencanaan, implementasi program, pendanaan, dan pemanfaatan jenis target secara berkelanjutan. Saat ini seluruh jenis tumbuhan endemik yang berada di Gunung Pancar belum memiliki status konservasi berdasarkan IUCN Red List atau berstatus not evaluated (NE).

Peningkatan perlindungan jenis dan habitat. Kegiatan ini vital untuk mencapai tujuan utama konservasi, yaitu melindungi tumbuhan di habitat alaminya atau in situ. Konservasi secara in situ  penting karena memastikan tumbuhan untuk tumbuh dan berkembang di habitat yang sudah cocok dengan kebutuhan spesifik mereka. Kedelapan jenis tumbuhan endemik Gunung Pancar saat ini belum masuk ke dalam jenis lindungan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan (PermenLHK) Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Konservasi ex-situ. Konservasi di luar habitat alami atau ex-situ berperan sebagai benteng terakhir jika populasi jenis tumbuhan mengalami kepunahan di habitat alaminya. Berdasarkan data website Manajemen Koleksi Kebun Raya Indonesia (MAKOYANA) yang dikelola oleh BRIN, kedelapan jenis tumbuhan endemik Gunung Pancar belum terkoleksi secara ex-situ di kebun raya seluruh Indonesia.

Aktivitas perbanyakan dan penanaman untuk mendukung pemulihan ekosistem dan populasi jenis tumbuhan endemik, baik in situ maupun ex-situ. PT Wana Wisata Indah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan pariwisata telah melakukan program penanaman bibit pohon untuk mengatasi degradasi lahan di area TWA Gunung Pancar.

Kampanye peningkatan kesadaran publik. Seluruh usaha yang telah disebutkan sebelumnya membutuhkan dukungan masyarakat. Oleh karena itu, kampanye peningkatan kesadaran publik mempunyai peran yang sangat strategis. Kegiatan ini dapat berupa seminar, pelatihan, maupun konten-konten edukatif di berbagai platform media sosial. 

Konservasi jenis tumbuhan endemik memiliki posisi strategis dalam pencapaian salah satu visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, yaitu mewujudkan Indonesia asri dan lestari yang ditandai dengan terpeliharanya kekayaan keragaman jenis. Selain itu, kegiatan ini juga mendukung Indonesia dalam pencapaian dua agenda global, yaitu: 1) Global Strategies for Plant Conservation (GSPC), salah satu agenda dari Convention on Biological Diversity (CBD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity, dan 2) Sustainable Development Goals (SDGs), terutama mendukung penggunaan ekosistem darat yang berkelanjutan (SDG15).

Ikuti pembahasan konservasi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Staf peneliti Kebun Raya Bogor Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Anggota Forum Pohon Langka Indonesia

Topik :

Translated by  

Bagikan

Komentar



Artikel Lain