Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 31 Oktober 2022

Kebebasan Akademik dan Kriminalisasi Peneliti

Kebebasan akademik sangat penting. Termasuk debat informasi, hasil, kesimpulan, dan metodologi sebuah studi.

Kebebasan akademik

KEBEBASAN akademik menjadi perdebatan sejak lima abad lalu. Debat terjadi sebagai tanggapan atas pelanggaran negara totaliter yang merugikan perkembangan sains karena tekanan kepada akademisi yang mengemukakan pendapat saintifik di ruang publik. Akademisi di sini adalah dosen di perguruan tinggi atau peneliti, yang bekerja di lembaga penelitian pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat.

Di Indonesia ada tiga undang-undang yang menjamin dan melindungi kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan/atau otonomi keilmuan bagi civitas academica perguruan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung-jawab.

Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan “penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan”.

Sebab universitas adalah barang publik, menurut Henry Giroux, guru besar McMaster University Kanada, dalam artikel “Why universities must defend democracy” pada 2017. Menurut dia, universitas menjadi ruang perlindungan untuk mempromosikan cita-cita demokrasi, imajinasi sosial, nilai-nilai sipil dan “kewargaan” yang terlibat secara kritis.

Itu juga sejalan dengan arti "universitas" dalam bahasa Latin, yakni “keseluruhan” yang mencerminkan tujuan totalitas gagasan. Universitas menggambarkan kriteria kebenaran dan pengetahuan ilmiah yang mencerminkan komposisi kolektif yang mewakili keragaman populasi masyarakat umum.

Mengutip Jon Nixon, Giroux menyatakan pendidikan harus dikembangkan sebagai ruang terlindung untuk berpikir, walau bertentangan dengan pendapat umum, ruang untuk mempertanyakan kebijakan publik, untuk membayangkan dunia dari sudut pandang dan perspektif berbeda.

Pidato rektor Universitas Leiden Belanda, Carel Stolker, “Reflections on Higher Education in 2040”, menyebut bahwa semboyan universitas adalah “praesidium libertatis” (benteng kebebasan) yang melambangkan keberanian berbicara kebenaran kepada penguasa. Karena itu keragaman opini merupakan prinsip inti universitas. Universitas harus selalu menjadi tempat yang aman untuk bertanya dan mencari jawabannya.

Jauh sebelum mereka, kita punya Bung Hatta yang menulis artikel “Tanggung Jawab Moral Kaum Intelegensia” pada 11 Juni 1957. Bung Hatta (1902-1980) mengingatkan bahwa tanggung jawab akademisi adalah menjaga sikap intelektual dan moral sesuai tabiat ilmu, yaitu mencari dan membela kebenaran.

Pembatasan kebebasan akademik yang pernah dan sedang terjadi sekarang tampaknya bukan hanya terkait dengan pengembangan sains, juga peran akademisi di lingkaran kepentingan dan kekuasaan. Kriminalisasi akademisi terjadi dalam pelbagai bentuk: gugatan kepada ahli yang menjadi saksi di pengadilan hingga sanksi bagi peneliti yang menghasilkan data berbeda dengan yang diinginkan pemerintah.

Saya pernah masuk dalam daftar hitam peneliti yang dikeluarkan Menteri Kehutanan 2001-2004. Pangkalnya karena saya ikut membidani uji materi kebijakan kehutanan ke Mahkamah Agung. Akibatnya jarang ada lagi pembahasan kebijakan kehutanan secara terbuka.

Penelitian dan data ilmiah bisa juga keliru. Tapi meresponsnya dengan kriminalisasi atau memasukkan penelitinya ke dalam daftar hitam jelas lebih keliru. Kesimpulan baik atau buruk yang berangkat dari data bisa diuji dengan melihat ke dalam metode pengambilan datanya atau cara menarik kesimpulannya.

Sebaliknya, kejujuran juga harus menjadi basis kesimpulan peneliti. Jangan sampai mereka baru memegang kaki gajah sudah menyimpulkan mereka memegang gajah. Lalu menyampaikan kepada publik apa yang mereka rasakan sebagai tubuh gajah. Atau data kasuistis diklaim sebagai data nasional.

Kesimpulan fakta yang buruk atau baik akan terlihat dengan melacaknya secara historis. Misalnya, hutan yang ditumbuhi tanaman buah-buahan tak bisa langsung dicap sebagai hal buruk tanpa melihat sejarahnya. Bisa saja, hutan buah-buahan itu tadinya lahan kosong atau kritis. Buah-buahan adalah tanaman masyarakat yang bersedia menanaminya kembali sebagai insentif agar mereka tak merusak hutan.

Dengan kata lain, merespons penelitian dengan kriminalisasi akan menjauhkan kita dari perdebatan tentang fakta. Cara terbaik menanggapi data ilmiah adalah dengan membukanya dalam debat akademik. Percakapan akademik seperti ini akan membuat kebijakan publik kian matang. 

Business Daily edisi 3 April 2017 menurunkan artikel “Why sustainable development plans have failed”. Isinya menganalisis 94 studi tentang kebijakan keberlanjutan yang gagal karena masalah komunikasi. Kenski dan Jamieson (2017) dalam The Oxford Handbook of Political Communication menyebut komunikasi sebagai pertukaran interpretasi informasi yang membuat informasi semakin solid.

Karena itu larangan kepada akademisi dan peneliti, bukan saja perlu dibicarakan di ranah akademik, juga perlu digali persoalannya di ranah politik. Kebebasan akademik, termasuk mempertanyakan hasil dan metodologi, seharusnya menjadi tradisi kita agar informasi menjadi fakta yang teruji.

Ikuti perkembangan kebebasan akademik di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Translated by  

Bagikan

Komentar



Artikel Lain