Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 07 Oktober 2022

Indonesia Bisa Digugat Jika Target NDC Tak Tercapai

Implikasi kemenangan penduduk Kepulauan Selat Torres bagi dalam mitigasi krisis iklim. Target NDC Indonesia naik.

Pulau Masig, salah satu pulau di Selat Torres yang berlokasi di utara Australia (Foto: Sydney Morning Herald via CNN)

KEMENANGAN penduduk Kepulauan Selat Torres di PBB terhadap pemerintah Australia dalam menangani bencana iklim bisa berimplikasi terhadap negara-negara di dunia yang mengajukan mitigasi iklim melalui NDC.

Kini negara bisa digugat jika abai melindungi penduduknya dari bencana iklim akibat pemanasan global. “Kami mengingatkan kembali berdasarkan pengalaman negara lain bahwa Indonesia bisa digugat jika gagal meraih target target penurunan emisi,” kata Stephanie Juwana, Direktur Indonesian Ocean Justice Initiatives (IOJI) pada 6 Oktober 2022.

Konstruksi Kayu

Target penurunan emisi tiap negara ada dalam dokumen NDC atau nationally determined contribution yang diajukan tiap negara ke PBB dalam Konferensi Iklim tahunan. Proposal NDC adalah hasil kesepakatan 197 negara dalam Perjanjian Paris 2015 dalam usaha mencegah krisis iklim melalui penurunan emisi karbon yang merupakan resultante pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Indonesia memiliki target penurunan emisi karbon pada 2030 yang tercantum dalam NDC yaitu sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Target itu diraih dengan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Menjelang Konferensi Iklim COP27 di Mesir, Indonesia menaikkan target menjadi 31,9% dan 43,2%.

Stephanie menjelaskan bahwa Indonesia, sebagai negara kepulauan, memiliki jumlah penduduk rentan terhadap perubahan iklim yang sangat tinggi. Dia mengutip data Badan Pusat Statistik (2020) yang menyebutkan bahwa dampak perubahan iklim seperti kenaikan air laut, ancaman gelombang ekstrem, dan banjir rob akan mengancam 42 juta penduduk Indonesia yang tinggal kurang dari 10 meter di atas permukaan laut.

Selain itu, IPCC, kumpulan ilmuan iklim di bawah PBB, juga menyebut bahwa Indonesia ada di posisi yang rentan akibat perubahan iklim. Stephanie mengutip pula data satelit LAPAN yang menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim mengubah morfologi pantai, merendam pulau-pulau kecil, dan mencemari sumber air tawar. “Pulau Nipa, Pulau Anak Krakatau, Pulau Kalinambang, Pulau Anak Ladang dan Pulau Karakitang telah kehilangan wilayahnya karena terdampak kenaikan permukaan air laut,” kata Stephanie.

BNPB (2020) juga mencatat selama tahun 2016-2018, 1.685 desa tepi laut terkena gelombang pasang. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan adanya kenaikan permukaan air laut di wilayah barat Indonesia setinggi 3.10-9.27 mm per tahun. Berdasarkan laporan BPS (2020), cuaca ekstrim, dan gelombang laut menghantam kehidupan nelayan tangkap dan berdampak pada masyarakat yang tinggal di pesisir.

Jeremia H. Prasetya, Program Manager IOJI, menjelaskan bahwa ancaman-ancaman yang menghalangi aksi-aksi mitigasi dan adaptasi iklim bisa diatasi dengan nature-based solutions. “Indonesia memiliki luasan mangrove dan padang lamun terbesar di Indonesia, ekosistem karbon biru bisa menjadi potensi untuk mencapai target mitigasi iklim,” kata Jeremia.

Potensi dari ekosistem karbon biru ini bisa hilang dengan tingginya pencemaran air, tambak udang, pembangunan pelabuhan, deforestasi dan degradasi mangrove, hingga minyak tumpah.

Pada 23 September 2022, Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB memutuskan bahwa Australia gagal melindungi penduduk asli Kepulauan Selat Torres dari dampak perubahan iklim. Australia dinyatakan bersalah berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penduduk asli Kepulauan atas kerugian yang diderita, terlibat dalam konsultasi untuk memulihkan komunitas di pulau tempat mereka hidup.

Kasus ini bermula dari pengaduan delapan warga negara Australia dan enam anak mereka pada 2020. Dalam pengaduannya, penduduk Kepulauan Selat Torres mengklaim bahwa hak mereka terlanggar karena Australia gagal membuat kebijakan adaptasi iklim seperti membangun tembok laut (seawall)di pulau-pulau dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Dampak perubahan pola cuaca memiliki konsekuensi langsung pada mata pencaharian, budaya dan cara hidup tradisional yang mereka jalani. Menurut penduduk pulau, banjir besar yang disebabkan gelombang pasang (rob) selama beberapa tahun terakhir telah merusak kuburan keluaga dan membuat serpihan tersebar di pulau.

“Memelihara kuburan leluhur dan mengunjungi kuburan untuk berkomunikasi dengan kerabat yang lebih dulu berpulang adalah inti dari budaya kami,” tulis penduduk dalam pengaduan itu. Selain itu upacara pendewasaan dan inisiasi hanya bermakna jika dilakukan di pulau tersebut.

Penduduk Kepulauan Selat Torres juga menilai curah hujan lebat dan badai yang merupakan dampak dari perubahan iklim, telah merusak tanah dan pepohonan sehingga mengurangi jumlah makanan dari pertanian tradisional maupun penangkapan ikan.

Di Pulau Masig, misalnya, naiknya permukaan air laut telah menyebabkan air asin meresap ke dalam tanah dan pohon kelapa menjadi sakit, kemudian mematikan buah, dan air kelapanya, yang merupakan bagian dari makanan tradisional penduduk pulau itu.

Dalam putusan yang sama, Komite HAM PBB menjelaskan bahwa terlepas dari serangkaian upaya Australia, seperti pembangunan tembok laut baru di empat pulau yang diharapkan selesai pada tahun 2023, langkah-langkah tambahan yang tepat waktu diperlukan untuk mencegah risiko bagi penduduk kepulauan.

Tanpa upaya nasional dan internasional yang kuat, dampak perubahan iklim dapat mengekspos individu pada pelanggaran hak untuk hidup. Oleh sebab itu, target NDC Indonesia tidak boleh meleset dari apa yang ditetapkan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain