Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 Juli 2022

Krisis Iklim Membahayakan Jamaah Haji

Pemanasan global akibat krisis iklim mengancam ibadah haji. Perlu tindakan ambisius mencegah kenaikan suhu bumi.

Pemanasan global dan krisis iklim mengancam ibadah haji

HARI ini, 9 Juli 2022 yang bertepatan dengan 9 Zulhijjah 1443 Hijriyah, sekitar 1 juta umat Muslim melaksanakan ibadah wukuf di Padang Arafah, sebuah hamparan 20 kilometer tenggara Mekah, kota suci umat Islam di Arab Saudi. Wukuf adalah rukun haji paling sakral. Di sini para jemaah dianjurkan memperbanyak zikir.

Di masa krisis iklim, tantangan ibadah haji adalah kenaikan suhu permukaan bumi. Menurut laporan Pusat Pengkajian Islam Universitas Nasional (PPI UNAS) bersama peneliti Yayasan Indonesia Cerah, naiknya suhu global dan cuaca ekstrem akan membahayakan jemaah haji dalam satu abad kedepan. Laporan berjudul “Dampak Kebijakan Iklim bagi Ibadah Haji”, menganalisis kenaikan suhu bumi dengan daya tahan tubuh manusia dalam cuaca yang panas dan lembab. 

Kelembaban tinggi membuat uap air dalam tubuh akan tertahan sehingga kulit akan lebih kering akibat susah berkeringat. Walhasil keadaan ini dapat memicu dehidrasi, penyakit kulit, bahkan kematian.

Hasbullah bin Burhan, jemaah haji asal Cianjur, Jawa Barat, meninggal pada 15 Juni 2022 akibat dehidrasi. Sejak 4 Juni, setidaknya ada lima jemaah yang dirawat karena kekurangan cairan tubuh.

“Panas ekstrem oleh perubahan iklim akan membuat ibadah haji lebih sulit dan lebih berbahaya bagi komunitas Islam," kata Ketua Pusat Studi PPI Universitas Nasional Fachruddin Mangunjaya.

Tak hanya membahayakan umat Muslim saat ibadah haji, perubahan iklim juga mengancam negara-negara yang dihuni mayoritas umat Islam. Umumnya negara-negara Muslim berada di dekat khatulistiwa atau di selatan garis bumi yang lebih hangat. 

Sejumlah studi memprediksi krisis iklim membuat belahan bumi selatan lebih hangat dibanding belahan bumi utara. Krisis iklim juga membuat ketimpangan karena negara-negara di utara yang lebih maju cenderung lebih siap menghadapi dampak krisis iklim memakai teknologi.

Karena itu, kata Fachruddin, sebelum bahaya krisis iklim kian gawat dan mengancam aktivitas manusia, mencegahnya akan lebih baik. Ia mengutip surat Al Baqarah ayat 30 yang menyatakan perintah Tuhan kepada manusia menjadi khalifah sehingga menuntut tanggung jawab merawat planet ini agar terhindar dari kehancuran. Krisis iklim adalah ancaman paling mematikan masa depan bumi.

Laporan-laporan satelit perekam cuaca menunjukkan tahun ini menjadi tahun dengan kenaikan suhu tertinggi dalam sejarah. Suhu bumi naik 1,20 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850. Para ahli menyatakan bencana iklim akan membuat bumi tak sanggup menanggungkan dampak bencana jika suhu bumi naik melebihi 1,5C.

Kebijakan iklim seluruh dunia saat ini, dilihat dari proposal mitigasi krisis iklim dalam Konferensi Iklim COP26 tahun lalu, akan membawa dunia menuju kenaikan suhu 2,7C dalam 80 tahun ke depan. Sengatan panas akan naik sepuluh kali lipat dari hari ini jika dunia gagal mencegah kenaikan suhu.

Kenaikan suhu bumi terjadi atmosfer tak sanggup lagi menyerap emisi dan gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Deforestasi, pembakaran energi fosil, sampah, proses-proses industri, dan gaya hidup tinggi emisi manusia membuat produksi emisi kian banyak. Ekosistem bumi melemah menyerapnya. Akibatnya, bumi terperangkap dalam ruang tertutup yang suhunya naik pelan-pelan.

Menurut riset Universitas Nasional, peluang terjadinya suhu panas lembap di musim ibadah haji tahun ini mencapai level "bahaya" akan lebih besar, terutama di Mei dan Juni, dua bulan yang biasanya lebih dingin di Mekah. Namun, peluang mencapai tingkat "bahaya ekstrem" hanya 4% pada September, dan 0% di semua bulan lainnya. Artinya, ibadah haji akan terhindar dari dampak pemanasan bumi jika target menurunkan emisi bisa terpenuhi saat ini.

Lima negara yang paling bertanggung jawab atas perubahan iklim saat ini adalah Amerika Serikat, Cina, Rusia, dan Brasil, dan negara-negara Uni Eropa. Mereka adalah negara kaya dan penyumbang emisi lebih sehingga punya tanggung jawab dan potensi paling besar untuk menghilangkan karbon paling cepat.

Di luar lima negara penghasil emisi terbanyak, tindakan global juga penting untuk mencegah krisis iklim. Laporan Unas mendorong negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim mengambil aksi mengurangi dampak perubahan iklim agar pelbagai ibadah di luar ruang, seperti ibadah haji, tak terdampak.

Soalnya, negara-negara mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Turki, Bangladesh, Mesir, dan Indonesia punya kebijakan emisi yang membahayakan ibadah haji. Negara-negara ini bukan penghasil emisi paling tinggi, tapi kebijakannya belum sesuai dengan penurunan emisi seperti yang disepakati dalam konferensi-konferensi iklim dunia.

Negara yang sudah ambisius untuk mengurangi emisinya adalah Maladewa dan Maroko. Usaha mereka menjadi percuma tanpa tindakan bersama seluruh negara di dunia, termasuk negara mayoritas Muslim. Ibadah haji akan menjadi rukun Islam kelima paling terdampak jika dunia gagal mencegah krisis iklim.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain