Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 Juni 2022

Candi Borobudur Terdampak Perubahan Iklim

Perubahan iklim, faktor alam, dan perilaku manusia mengancam situs Candi Borobudur. Butuh solusi yang menyeluruh, tidak sekadar solusi ekonomi melalui kenaikan harga tiket.

Stupa Candi Borobudur (Foto: moslem_alit01/pixabay)

RENCANA kenaikan tarif masuk Candi Borobudur menjadi Rp 750 ribu bagi wisatawan lokal menjadi topik populer awal pekan ini. Pengumuman yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membelah warga net di media sosial. Sebagian pro dengan dasar perlindungan situs warisan budaya Indonesia. Tapi lebih banyak lagi yang kontra atas dasar azas keadilan.

Luhut, seperti dikutip CNBC, mengatakan saat ini Candi Borobudur rentan akan pelapukan dan perubahan iklim. Sehingga kuota turis yang ingin naik ke Candi Borobudur akan dibatasi menjadi 1.200 orang per hari.

Batuan candi memang rawan retak dan lapuk pada permukaannya, terutama karena panas sinar ultraviolet. Panas matahari membuat batu-batuan pembentuk candi akan mekar dan membuka pori-porinya.

Ketika malam, udara yang lebih dingin membentuk embun pada batu, kemudian melekat pada partikel-partikelnya. Menjelang siang, embun ini menguap dan melepaskan partikel-partikel tersebut.

Proses yang terjadi dan berulang selama ribuan tahun itu membuat batu Borobudur rapuh dan lapuk. “Batu-batu candi tidak sekuat yang kita kira," kata Junus Satrio Atmodjo, Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Nasional. "Daya kohesinya melemah." 

Junus menunjukkan foto Candi Borobudur 100 tahun yang lalu menggambarkan “garis-garis relief yang terpahat semakin menipis.”

Tanpa pemanasan global, Borobudur sebenarnya sudah terancam karena perubahan lingkungan sekitarnya. Kompleks candi yang dulu dikelilingi sawah dan kebun kini berubah menjadi permukiman sehingga suhu di sekitarnya naik.

Menurut Junus, populasi lumut pada batu candi semakin berkurang. “Sesungguhnya ini baik bagi konservasi," kata dia. "Tapi di sisi lain lumut pada permukaan batu itu menjadi perlindungan bagi batu di dalamnya. Jika permukaan batu kering, air atau embun semakin mudah dan semakin cepat melepaskan partikel."

Cara mitigasi paling ideal untuk memperlambat proses pelapukan batuan Candi Borobudur adalah dengan mengembalikan lingkungan sekitar candi yang usianya diperkirakan lebih dari 1.000 tahun ini. Namun dengan bumi yang semakin panas, ancaman pelapukan batuan sulit diperlambat.

Penelitian Wiwik Kasiyati dan Brahmantara (2009), yang mengutip data Klimatologi, suhu udara maksimum di Borobudur mencapai 370 Celsius pada dekade 1990-an. Suhu rata-rata pada dekade tersebut berkisar 24,9-26,4C. Saat ini suhu rata-rata siang di sekitar Candi Borobudur mencapai 32-35C. “Tertinggi pernah mencapai 38C,” kata Junus.

Bukti pemanasan global merusak relief Borobudur bisa dilihat pada relief Karmawibangga yang tersembunyi di kaki candi. Relief ini bisa dilihat jika sudut tenggara dari kaki Candi Borobudur dibuka. “Relief yang tertutup di kaki candi lebih bagus kondisinya ketimbang relief yang terpahat di dinding luar,” kata Junus.

Candi Borobudur (Foto: Jonathan Smit/Pixabay)

Ketika Gunung Merapi meletus hebat pada 2010, Candi Borobudur tertutup abu vulkanik yang dibawa angin. “Memang tebalnya hanya beberapa milimeter, tapi ini memberi tekanan pada pori-pori batu,” kata Junus yang pada saat itu menjabat Direktur Peninggalan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Dari penelitiannya, Junus dan timnya mengajukan solusi dengan membersihkan candi dengan menyikat batu-batunya. Saat itu, kata dia, ratusan relawan datang dari berbagai lokasi di Indonesia membantu membersihkan candi. Para relawan dibekali sikat sapu dan minuman gratis saat istirahat.

Di luar perubahan iklim dan faktor alam, manusia juga punya andil besar dalam kerusakan situs candi ikonik ini. Banyaknya turis yang datang ke candi, dengan berbagai macam alas kaki memberi tekanan pada anak tangga Candi Borobudur di sisi timur dan utara. “Anak tangga itu sudah melengkung, terlihat dengan jelas,” kata Junus.

Perilaku turis juga berpotensi merusak situs yang masih menjadi tempat ibadah umat Buddha. Balai Konservasi Borobudur pernah mengambil sampel air yang mengalir dari Candi Borobudur di bak penampung. “Hasilnya, air dari candi mengandung urine,” kata Junus. Ini merupakan dampak dari turis yang membawa anak-anaknya ke tingkat teratas, tapi tak mau repot turun dari candi, jika anak-anaknya ingin pipis.

Selain itu ada juga perilaku tidak terpuji turis yang menyelipkan sampah ke dalam stupa. Dari bungkus plastik, bungkus permen, bungkus rokok dan filternya, bisa ditemukan di dalam stupa tiga tingkat teratas. Namun, di antara semua sampah itu, permen karet menimbulkan kerusakan paling besar.

Permen karet bisa ditemukan di lantai, celah batu dan permukaan wajah patung-patung di candi. Jika dihitung, jumlahnya bisa mencapai ratusan dalam sehari. “Bayangkan permen karet melekat pada permukaan batu berusia ribuan tahun,” kata Junus.

Permen karet yang ditempelkan akan masuk ke dalam pori-pori batu yang merekah saat siang. Untuk membersihkannya sangat sulit. Bahkan jika dilakukan pada malam hari saat udara lebih dingin, batu-batu itu tetap mengelupas.

Junus berpendapat pembatasan turis ke Candi Borobudur diperlukan untuk mengurangi kerusakan akibat manusia. Tetapi, dia tidak setuju jika pembatasan itu dilakukan dengan memakai faktor ekonomi. Menurut dia, banyak cara untuk membuat pembatasan turis.

Ia mencontohkan caranya bisa melalui membangun sistem yang memungkinkan tur virtual secara detail atau menggelar pameran Borobudur di mal. “Kebanyakan turis Indonesia punya rasa ingin tahu yang besar,” kata Junus.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Hilmar Farid menyebutkan angka pembatasan 1.200 turis per hari merupakan hasil kajian direktoratnya terkait daya tampung Candi Borobudur. Namun, “kami tidak pernah memberikan usulan harga tiket (Borobudur),” katanya.

Belakangan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyampaikan keberatan terkait rencana kenaikan harga tiket mencapai stupa Candi  Borobudur. Keberatan ini disambut Luhut dengan menunda rencana tersebut.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain