Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 12 Mei 2022

Krisis Iklim dalam Serbuan Belalang Sumba

Ledakan populasi belalang Sumba atau belalang kembara mengancam tanaman pangan di Sumba Timur. La Nina menjadi penyebabnya.

Serangan belalang Sumba atau belalang Kembara pada 2019 (Foto: heinrich Dengi/MaxfmWaingapu)

SEJUMLAH video viral di media sosial menampilkan langit Sumba di Nusa Tenggara Timur yang dipenuhi dengan belalang. Mereka memenuhi langit dan memakan semua daun yang mereka hinggapi, meninggalkan hanya batang daun semata. Di jalan-jalan, nimfa atau belalang Sumba muda yang belum bersayap melompat-lompat. Dalam satu jam mereka bisa berpindah hingga 1-5 kilometer.

Ledakan populasi belalang Kembara (Locusta migratoria) tengah terjadi di Pulau Sumba. Mulanya populasi belalang terjadi di Sumba Timur pada Januari. Mereka lalu beterbangan mengisi langit. Populasinya terus bertambah dan wilayah serangannya semakin meluas. Angin dari timur memperluas wilayah “serangan” belalang kumbara hingga ke Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.

“La Niña menjadi penyebab masifnya belalang Sumba,” kata Ketua Tani Center IPB, Hermanu Triwidodo pada 11 Mei 2022. Belalang kembara akan bertelur setiap 35 hari. Telur ini hanya akan menetas pada kelembapan tertentu.

La Niña atau fenomena menurunnya suhu muka air laut di pasifik ini menyebabkan hujan turun lebih awal yaitu pada bulan Oktober di Sumba, lalu kering. Ketika Januari hujan mulai turun lagi, tiga generasi belalang kembara menetas bersamaan.

Hujan deras sebenarnya akan membuat telur belalang Sumba gagal menetas karena terendam. Tetapi hujan akibat La Niña yang membuat hujan turun-lalu kering-hujan lagi-dan seterusnya menghasilkan kelembapan yang sesuai untuk belalang bertelur dan menetas.

Selain itu, kata Hemanu, bentang alam Sumba Timur sebagian besar berupa sabana merupakan tempat bertelur yang sesuai bagi belalang kembara. Dari 7.000 kilometer persegi luas Kabupaten Sumba Timur, 40% merupakan sabana.

Belalang kembara merupakan satu-satunya belalang yang mengalami fase transformasi dari 51 spesies famili Acrididae. Spesies ini juga tercatat sebagai hama yang bisa menyerang hampir seluruh tanaman hortikultura.

Belalang kembara memiliki tiga fase transformasi. Pada fase soliter, saat populasi rendah dalam suatu hamparan, mereka cenderung memiliki perilaku individual. Ketika pada fase transient, populasinya mulai tinggi, mereka akan menghasilkan senyawa kimia yang membuat mereka membentuk kelompok-kelompok kecil.

Lalu pada fase gregarius, mereka bergabung dan membentuk gerombolan besar yang sangat merusak. Menurut studi Sosromarsono (1998), fase gregarius membuat belalang kembara menjadi agresif dan rakus sehingga setiap area pertanian yang dilewatinya mengalami kerusakan total.

Tani Center IPB sudah memperkirakan hal ini akan terjadi ketika Februari lalu mereka melakukan riset di Sumba. Pada akhir April, populasinya membesar, ditambah lagi angin timur yang membuat belalang ini menyerang kabupaten lainnya. Jika tidak dikendalikan, spesies ini mengancam ketahanan pangan di pulau Sumba. 

Berdasaran data Tani Center IPB hingga pertengahan Maret ada 483,4 dari 9.034,9 hektare tanaman padi Sumba Timur yang terserang hama belalang. Sementara tanaman jagung, dari 9.803,4 hektare seluas 2.772,3 hektar diserang populasi belalang kembara.

IPB melakukan intervensi agar masyarakat tidak melakukan penyemprotan insektisida di Sabana. Sebab, area tersebut juga digunakan untuk menggembalakan ternak, melalui pertukaran 2 kilogram belalang dengan 1 kilogram beras pada Maret lalu. Di Kecamatan Pahunga Lodu, Sumba Timur, masyarakat empat desa mengumpulkan 2,1 ton belalang dalam 8 jam dalam program pertukaran dengan IPB.

Belakangan, kata Hermanu, Direktorat Tanaman Pangan Kementerian Pertanian melakukan Langkah serupa dengan program pertukaran 1 kilogram belalang dengan uang Rp 5.000. “Mereka sudah mempersiapkan dana untuk 10 ton belalang,” Kata Hermanu.

Dana yang dianggarkan sekitar Rp 50 juta. Menurut perkiraan, 1 kilogram belalang itu setara dengan 350 ekor imago alias belalang dewasa yang berterbangan atau 1.000 ekor nimfa alias belalang kecil. Jadi jika 10 ton belalang tertangkap, populasi belalang yang ada di Sumba Timur mencapai 3,5 juta ekor.

Di laman Kementerian Pertanian, Direktur Perlindungan Tanaman Pangan, Mohammad Takdir Mulyadi, menyebutkan bahwa selama pekan Idul Fitri, tim pemburu belalang mengumpulkan 1 ton belalang kembara dewasa. “Cara pengendalian yang sesuai dan efektif adalah secara mekanik dengan menggunakan jaring untuk menangkap,” kata dia pada 3 Mei 2022. Tapi, dia tidak menampik penyemprotan insektisida kimia juga dilakukan pada malam hari di lokasi koloni-koloni ketika belalang kembara aktif makan.

IPB, kata Hermanu, juga tengah mengembangkan patogen berupa bakteri untuk menginfeksi belalang agar populasinya turun lebih cepat secara alami.

Hermanu memiliki catatan khusus terkait bencana ledakan populasi Belalang Kembara di Sumba. “Bencana ini bisa dijadikan kesempatan untuk perbaikan gizi masyarakat,” kata Hermanu. Dia menitik beratkan pada tingginya angka stunting di Pulau Sumba. Belalang Kembara, kata dia, memiliki kandungan protein tinggi hingga 30 persen. Protein dan rasa yang dimilikinya hampir sama dengan udang. “Sehingga layak dijadikan panganan manusia,” kata dia.

Di Gunung Kidul, Jawa Tengah, belalang merupakan panganan khas. Belalang dalam bentuk gorengan yang krispi atau dalam bentuk abon harganya bisa mencapai Rp 190 ribu per kilogram. Meskipun jenis belalang yang dijadikan panganan berbeda, yaitu belalang Jawa (Valanga nigricornis).

Meski banyak upaya mengendalikan hama belalang, sulit memprediksi kapan populasi ini bisa terkendali. Sebab, La Niña, hujan yang tidak menentu yang merupakan dampak dari perubahan iklim yang sesungguhnya berkontribusi kepada ledakan populasi.

Serbuan belalang kembara ini juga bukan pertama kali terjadi di Sumba. Selama beberapa tahun terakhir, ledakan populasi belalang Sumba yang sama sudah melanda pulau ini. Tahun ini, jumlah populasi dan waktunya lebih panjang dari biasanya. 

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain