Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 Mei 2022

Saran Obama Mencegah Bencana Iklim

Seri Dokumenter “Our Great National Parks.” Barrack Obama menarasikan pentingnya melindungi bumi dengan menjaga hutan taman-taman nasional.

Our great national parks (Foto: Netflix)

SEBAGAI Presiden Amerika Serikat, kebijakan lingkungan Barrack Obama mendapatkan nilai yang bervariasi dari pegiat dan organisasi lingkungan hidup. Dia dipuji dengan rencana aksi iklimnya, dia juga dikritik karena tidak optimal menjalankan kebijakannya.

Selama menjabat, presiden kulit hitam pertama Amerika ini membuat dan memperluas kawasan lindung lebih dari 550 juta hektare yang terdiri dari 34 taman nasional. Ini merupakan rekor perluasan terbesar yang pernah dilakukan Amerika Serikat. Angka perluasan ini dua kali lebih besar dari perluasan yang dilakukan Thodore Roosevelt, yang dikenal sebagai “Presiden Konservasionis.”

Tak heran, ketika Obama menjadi produser eksekutif sekaligus narator dari lima episode seri dokumenter “Our Great National Parks,” dia berbicara sangat personal.

“Ibuku berkata salah satu alasan saya menjadi tenang, karena sejak dalam kandungan ia sering menghabiskan waktunya di pinggir pantai mendengarkan alam.”

“Michelle dan saya pernah membawa anak-anak kami ke Patagonia.”

Atau “saya teringat 30 tahun lalu saat saya bertemu dengan keluarga besar ayah di Kenya.” 

Dari sisi sinematografi, seri ini tak kalah dengan seri dokumenter lain yang sudah punya nama. Teknologi kamera mampu merekam dengan resolusi 4K, teknologi terbaru untuk merekam aktivitas hewan di malam hari seperti yang sudah digunakan oleh seri Apple TV+, Earth at Night in Color dan seri Netflix, Night on Earth.

Dalam episode pertama, Obama menjelaskan bagaimana sebuah taman nasional yang semula dibangun sebagai area rekreasi keluarga kini menjadi sebuah area yang melindungi masa depan. Dia memulainya dari Cagar Alam Hanauma Bay di Hawai, lalu ke Taman Nasional Loango di Gabon, kemudian ke Taman Nasional Yakushima di Jepang.

Episode berjudul “A World of Wonder”, merupakan pengantar ke cagar alam dan suaka margasatwa yang menakjubkan di pelbagai penjuru bumi yang menentukan arah seri ini. Baru pada empat episode berikutnya, Obama menarasikan kisah yang lebih fokus pada satwa unik, fauna terancam punah yang terlindungi dalam bentang alam dan taman nasional yang terpencil.

Ada kisah tentang kehidupan sehari-hari satwa di alam liar. Di sini untuk makan, kawin dan membesarkan anak, para satwa kadang harus menempuh bahaya. Seperti penguin rockhopper (Eudyptes chrysocome) yang hidup di selatan Chile yang harus menghindar dari singa laut di tengah gelombang samudera Pasifik untuk mencari makanan bagi anaknya. 

Ada juga cerita tentang hubungan simbiosis antar satwa dalam satu ekosistem. Seperti kuda nil yang hampir menghabiskan lebih dari separuh hidupnya berendam dalam mata air mzima di Taman Nasional Tsavo, Kenya. Mereka memberi manfaat timbal balik dengan ikan-ikan dan ganggang air yang hidup di dalamnya.

Pada episode terakhir, Obama mengisahkan tentang Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh, Indonesia. Di negara yang sempat dia tinggali semasa kanak-kanak mengikuti ayah tirinya, Obama menyebut Leuser sebagai benteng pertahanan terakhir bagi satwa-satwa terancam punah seperti: gajah Sumatera, badak Sumatera, orang utan dan harimau Sumatera.

Ketika kamera merekam hutan hujan tropis di Gunung Leuser dari udara, kita baru menyadari masih ada hutan alam yang tak tersentuh di Indonesia. Menurut Obama, gajah Sumatera menjadi pembuka jalan bagi hewan-hewan lain menembus hutan hujan yang rindang. Bahwa setiap langkahnya menjadi kehidupan bagi spesies kodok yang membutuhkan tempat bertelur pada saat musim kering tiba.

Dia menarasikan kesulitan badak Sumatera untuk bereproduksi sebagai hewan Allee effect dan menyebut orang utan sebagai salah satu spesies primata paling pintar yang pernah ada.

Tentu saja, satwa tiada tanding adalah harimau Sumatera. Caranya bergerak di alam liar, tatapan tajam matanya, loreng yang memenuhi tubuhnya. Sayang, kamera tersembunyi hanya merekam sang raja hutan hanya selama beberapa menit saja.

Harimau Sumatera adalah spesies harimau yang paling jarang dipelajari perilakunya di alam bebas. Salah satunya karena jumlahnya kian menipis.

Seri film dokumenter ini adalah optimisme Obama terhadap alam liar dan keanekaragaman hayati. Dia menyebut kini ada 15% lahan dan 8% lautan menjadi kawasan lindung di bumi. Dia juga tak menampik persinggungan ruang antara manusia dan hewan kerap menjadi konflik yang berujung pada kepunahan satwa.

Dia yakin ada solusi yang tepat untuk menjembatani konflik itu. Ia mengambil contoh Taman Nasional Volcano di Rwanda. Setelah perang suku Tutsi dan Hutu yang menenggelamkan bangsa ini, pemerintah Rwanda memulai perbaikan dengan memulihkan alam. Mereka menjaga gorila gunung dan monyet berbulu emas. 

Penduduk menanami kembali hutan dan gunung yang rusak akibat perang. Mereka membiarkan gorila dan monyet "merusak" tanaman pertanian. Pemerintah mengganti kerusakan itu. Harmonisasi manusia dan satwa dengan dukungan negara ini membuat populasi gorila sebagai kekayaan hayati Rwanda kembali.

Obama bukan David Attenborough, penyiar BBC yang berkeliling dunia mengabarkan kekayaan bumi untuk membangun kesadaran melindunginya. Suara Obama tidak menyihir saat menarasikan keajaiban alam liar. Dia tetap seorang politisi saat menyampaikan pentingnya konservasi dan bahaya kebijakan negara.

Meski kini dia bukan lagi seorang presiden yang menentukan kebijakan lingkungan, pengaruh dan pesannya tentang konservasi alam liar tetap kuat dan tersampaikan. 

Ancaman perubahan iklim juga menjadi catatan Obama. Agaknya ini pesan penting film dokumenternya

Dia menjelaskan bagaimana dampak perubahan iklim pada penyu hijau. Sepanjang sejarah, penyu hijau ini akan bertelur di Pulau Raine di perairan Australia. Namun suhu air laut yang menghangat saat ini menyebabkan jenis kelamin penyu hijau yang menetas saat ini hanya betina, sehingga kepunahan mengancam spesies ini. Apalagi Pulau Raine juga terancam tenggelam jika muka air laut meningkat.

Obama menyinggung polusi yang meningkat, hilangnya habitat dan kepunahan spesies yang terjadi saat ini merupakan dampak dari aktivitas manusia.  

“Kita adalah generasi pertama yang merasakan dampak dari perubahan iklim dan generasi terakhir yang mampu melakukan sesuatu untuk mengatasinya,” katanya. “Kita bukan tidak berdaya. Kita bisa membalikkan keadaan, jika kita bertindak sekarang.”

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



  • Yakin ingin menghapus komentar ini?

    deden ramdani ok

    13 Mei 2022

    otan temen tarzan

Artikel Lain