
KONSIDERAN Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 38/2009 menyebutkan salah satu alasan pemerintah membuat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah untuk mengatasi pembalakan dan perdagangan kayu ilegal.
Sejak bergulir pada 2007, aturan SVLK terus berubah. Terakhir adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8/2021 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi.
Pasal 217 Peraturan Menteri LHK Nomor 8/2021 menyebutkan bahwa verifikasi legalitas hasil hutan tak hanya berlaku bagi pemegang izin konsesi, juga pemilik hutan hak atau pemilik hutan rakyat. Kegiatan verifikasi, meliputi permohonan verifikasi, perencanaan verifikasi, pelaksanaan verifikasi, dan tata cara verifikasi relatif sama dengan kayu dari hutan negara berupa izin konsesi.
Selain itu, menurut aturan tersebut, standar verifikasi (prinsip, kriteria, indikator, dan verifier) dan pedoman verifikasi (metode verifikasi dan norma verifikasi) juga relatif sama antara hutan negara dan hutan hak.
Jika melihatnya berdasarkan rezim pengelolaan hutan, struktur aturan untuk pedoman dan standar verifikasi legalitas kayu seharusnya berbeda. Karena struktur kelembagaan, karakteristik sumber daya, dan perilaku aktor antara hutan negara dengan hutan rakyat jelas sangat berbeda.
Mari kita analisis dengan memulainya dari Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur perizinan bisnis berdasarkan risiko usaha.
Aturan turunan UU Cipta Kerja yang berhubungan dengan implementasi SVLK antara lain Peraturan Pemerintah 5/2021, Peraturan Pemerintah 23/2021, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.8/2021. Berdasarkan aturan-aturan itu semua usaha komersial pemanfaatan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, dan jasa hutan harus mengikuti sertifikasi standar yang mesti mengikuti pola SVLK.
Dari sini kita mesti menganalisisnya memakai kinerja kelembagaan. Salah satu metode menilai kinerja kelembagaan adalah memakai kerangka kerja analisis kelembagaan SSPK (struktur kelembagaan, karakteristik sumber daya, perilaku aktor, dan kinerja) yang dikembangkan oleh Nugroho (2016).
Kelembagaan (institution) merupakan sistem yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan (Scott 1994). Selanjutnya Schmid (1987) dalam Kartodihardjo (2004) menjelaskan bahwa kelembagaan merupakan inovasi manusia untuk mengatur atau mengontrol perilaku-interdependensi (behavior) antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi dalam mengatur perilaku orang atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu.
Kerangka kerja analisis kelembagaan SSPK dikembangkan dari kerangka kerja analisis kelembagaan IAD oleh Ostrom (2005; 2007; 2008) dan SSP oleh Schmid (1987; 2004). Kerangka kerja analisis dan pembangunan kelembagaan (Institutional Analysis and Development – IAD) yang dimotori oleh Elinor Ostrom menggunakan delapan komponen untuk mengungkap kinerja. Sementara, kerangka kerja analisis kelembagaan situasi, struktur, dan kinerja (situation, structure, and performance – SSP) yang dipelopori Allan Schmid menggunakan empat komponen untuk menganalisis kinerja suatu lembaga.
Komponen struktur kelembagaan menguraikan institusi dibangun untuk menata hubungan antar manusia (actors) melalui aturan yang membolehkan atau melarang suatu tindakan mencapai kinerja yang telah ditetapkan. Kelembagaan dapat berupa kelembagaan formal seperti undang-undang dan peraturan, aturan hak atas properti dan kontrak atau kelembagaan informal seperti tabu-tabu, tradisi, codes of conduct, norma dan kebiasaan (customs) (North 1990 dan Aoki 2001).
Komponen karakteristik sumber daya meliputi karakteristik fisik dan karakteristik penyediaan dan konsumsinya. Karakteristik fisik mendeskripsikan keadaan fisik dari sumber daya tersebut seperti kemudahan berpindah tempat (sifat alami ikan, satwa liar, dan ternak dapat bergerak dengan kemauannya sendiri, sementara pohon dan bahan tambang hanya akan berpindah ketika dipindahkan), ketersediaan sumber daya di alam, ukuran (atau luasan) dan nilai ekonomi sumber Daya, kemampuan alam meregenerasi (misal renewable dan non-renewable), kondisi fisik lapangan (kelerengan, erodibilitas tanah, kesuburan tanah, curah hujan, dan lain sebagainya), lokasi/ aksesibilitas sumber daya, tutupan lahan, produktivitas sumber daya, dan lain-lain.
Sementara komponen perilaku aktor berhubungan dengan respons atau reaksi aktor terhadap struktur kelembagaan yang melingkupinya dan karakteristik sumber daya yang dimanfaatkannya. Aktor adalah individu atau kelompok yang memiliki posisi sebagai pengambil keputusan dan entitas yang memiliki kemampuan untuk menentukan aksi dari serangkaian alternatif kelembagaan yang tersedia. Aktor meliputi warga sebuah negara, pemerintah, dan birokrat pemerintah dalam berbagai tingkatan, masyarakat terdampak, LSM, perguruan tinggi, korporasi pada berbagai skala, bahkan individu pemakai sumber daya alam.
Adapun komponen kinerja untuk pengelolaan sumber daya selalu ditujukan pada kelestarian sediaan (stock) dan aliran manfaat (flow). Kelestarian sediaan terkait dengan karakteristik fisik sumber daya dan aliran manfaat terkait dengan karakteristik penyediaan dan konsumsi sumber daya. Banyak indikator untuk menilai kinerja kelestarian karakteristik fisik sumber daya hutan, seperti kestabilan luas kawasan hutan, luas dan kondisi tutupan hutan, kesehatan hutan, produktivitas hutan, berfungsinya hutan untuk penyangga kehidupan sosial, budaya, ekonomi, lingkungan.
Dalam tinjauan komponen struktur kelembagaan, hutan negara diikat oleh aturan formal untuk izin usaha, aturan penebangan, dan aturan pemasaran. Sementara hutan rakyat yang dibangun di atas lahan hak membebaskan pemiliknya menentukan alokasi lahan. Hutan negara wajib memiliki izin usaha pemanfaatan kayu, sehingga pemanfaatan kayu yang punya fungsi lingkungan diatur oleh berbagai aturan oleh pemerintah.
Karena itu verifikasi legalitas kayu di hutan rakyat seharusnya dipakai pemerintah sebagai sarana pelayanan daripada membebaninya dengan pelbagai aturan. Dalam implementasi SVLK, pemerintah menekankan kewajiban kepada petani hutan rakyat, lalu mengabaikan pelayanan dalam bentuk pendampingan atau penyuluhan.
Dari komponen karakteristik sumber daya luas konsesi hutan negara rata-rata 100.000 hektare (APHI, 2019), sementara kepemilikan hutan rakyat di pulau Jawa rata-rata 2.000 meter persegi per orang (Hero et al. 2014). Produksi kayu hutan negara rata-rata lebih dari 30 meter kubik per hektare, sementara hutan rakyat rata-rata 0,2 meter kubik per batang saat panen.
Jika konsesi hutan negara dikelola secara profesional untuk mendapatkan untung, hutan rakyat umumnya sebagai tabungan. Kayu konsesi tumbuh alami, sementara hutan rakyat ditanam pemiliknya.
Karena itu aspek verifikasi di hutan rakyat sangat jelas. Karena itu verifikasi dalam lingkup SVLK mestinya hanya menyasar pemilik dan jenis kayunya. Sementara di konsesi, verifikasi harus sampai pada asal kayu untuk memastikan kayu tersebut berasal dari hutan alam yang legal.
Dari analisis perilaku aktor, pemilik hutan rakyat juga bebas memanfaatkan lahan dan kayu di atasnya untuk pelbagai keperluan. Sementara di hutan negara, selain fungsi ekonomi produksi untuk kemakmuran masyarakat, pemegang izin konsesi punya fungsi sosial untuk kehidupan masyarakat di sekitar konsesi mereka dan fungsi lingkungan untuk kelestarian alam.
Indikator lain dalam komponen kinerja untuk menilai keberhasilan pengelolaan hutan (negara maupun rakyat) dalam hubungannya dengan implementasi SVLK, antara lain: keuntungan legalitas kayu, penurunan kayu ilegal, kemudahan pelacakan asal usul sumber kayu, keinginan memanfaatkan legalitas kayu, kelestarian usaha kayu.
Dalam siklus ekonomi produksi, verifikasi legalitas kayu menjadi biaya tambahan bagi petani maupun perusahaan yang akan mengurangi pendapatan penjualan kayu. Maka kepatuhan mengikuti verifikasi legalitas kayu akan sangat tergantung pada sistem yang menaunginya.
Bagi petani, karena punya kebebasan dalam memanfaatkan kayu, mereka bisa mengabaikan SVLK jika mereka menilai ikut dalam sistem ini cenderung merugikan secara ekonomi. Sebaliknya, bagi pemegang izin konsesi, SVLK menjadi wajib karena mereka memanfaatkan kayu dari lahan negara.
Jadi meski bertujuan mencegah pembalakan dan perdagangan kayu ilegal, SVLK untuk semua jenis hasil hutan tak sepenuhnya sesuai dengan karakteristik dan prinsip pengelolaan hutan dan aktornya. Alih-alih mencegah perdagangan kayu ilegal, SVLK akan mendorongnya lebih masif dari hutan rakyat jika tak ditopang oleh kemudahan dan perhitungan ekonomi produksi yang tak merugikan bagi petani hutan hak milik.
Artikel ini ditulis bersama Fitta Setiajiati, dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :