Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 24 Desember 2021

Krisis Iklim Mengancam Pohon Natal

Pohon cemara identik dengan pohon Natal. Terancam krisis iklim.

Pohon cemara yang acap dipakai sebagai hiasan perayaan Natal (Foto: Dok. FD)

BISNIS pohon Natal telah menjadi industri besar di seluruh dunia. Tradisi yang dibawa bangsa Jerman sejak abad 16 bahwa perayaan Natal identik dengan pohon cemara membuat peringatan kelahiran Yesus Kristus ini selalu semarak dengan warna-warni lampu yang digantung di pohon Natal.

Pohon cemara identik sebagai pohon Natal karena pohon ini tergolong jenis selalu hijau sepanjang musim. Ia bisa bertahan di musim hujan dan tetap ranum di musim kering. Ketika musim dingin tiba, pohon Natal menjadi rumah ribuan insekta dan serangga untuk berhibernasi selama menunggu musim menggigil pergi.

Di era krisis iklim keberadaannya terancam. The Guardian edisi 22 Desember 2021 melaporkan bahwa perkebunan pohon cemara di Oregon, pusat pohon Natal terbesar di Amerika Serikat, mati akibat kenaikan suhu di wilayah ini mencapai tiga digit Fahrenheit. Pada Juni lalu, suhu tembus 115F atau 46,10 Celsius. 

Pada pertengahan tahun ini Amerika Utara dilanda suhu ekstrem, sangat dingin dan panas sekaligus. Larry Ryerson, petani pohon Natal di Oregon, mengaku kehilangan 4.500 pohon cemara ketika suhu ekstrem melanda tempat tinggalnya. Pohon-pohon Natal itu layu dan mati akibat sengatan cuaca panas. 

Larry, 78 tahun, sudah 40 tahun menggeluti bisnis penjualan pohon Natal. Pundi-pundinya menggelembung tiap kali perayaan Thanksgiving dan hari Natal tiap 25 Desember. Tahun ini, akibat tanamannya mati, pembeli yang datang harus gigit jari karena tak mendapatkan pohon Natal yang mereka inginkan.

Di Amerika, ada 30 juta pohon Natal yang ditebang setiap tahun. Pada 2019, nilai transaksi jual-beli pohon Natal mencapai US$ 4,8 miliar atau Rp 72 triliun. Nilai ekonomi yang besar ini kini terganggu oleh pemanasan global.

Sebagai pohon selamanya hijau atau evergreen, pohon cemara juga menjadi penyerap polutan yang baik. Meski daunnya berbentuk jarum, pohonnya yang keras dan tinggi sanggup menyerap polusi setara pohon mahoni.

Dalam studi Astra Dwi Patra dari Fakultas Pertanian IPB pada 2002, kemampuan pohon cemara angin atau cemara laut (Casuarina equisetifolia) mampu menyerap nitrat oksida sebanyak 28,62-33,84%. Nitrat oksida atau (NOx) adalah gas yang menjadi bagian polutan kendaraan bermotor. Dalam polusi knalpot kandungan NOx sebanyak 29,8%.

Karena itu selain menjadi penahan angin di daerah pesisir, cemara laut juga menjadi pohon yang direkomendasikan sebagai pohon penyerap polusi di perkotaan. Jenis cemara lain, yakni cemara gunung, bahkan bisa menyerap polutan di lahan reklamasi bekas tambang.

Dengan kemampuan menyerap polutan, pohon cemara juga penyerap dan penyimpan karbon yang bagus. Masyarakat pesisir memakai kayunya yang keras untuk bahan perahu atau bangunan rumah.

Maka ketika ditebang lalu dibakar karbon yang ada dalam pohon cemara menguap menjadi gas rumah kaca. Menurut The Carbon Trust, kandungan karbon satu pohon cemara sebanyak 3,5 kilogram CO2 per tahun. Sementara The Ellipsos, perusahaan konsultan Kanada, menghitung kemampuan pohon cemara menyerap karbon setahun sebanyak 3,1 kilogram.

Cara terbaik menjadikan pohon cemara menjadi pohon Natal adalah mencabut dengan akarnya. Kandungan karbon sebanyak 3,5 kilogram itu terkandung dalam pohon Natal. Setelah dipakai, pohon sebaiknya ditanam kembali atau dikubur agar karbon yang terkandung di dalamnya tidak menguap.

Jejak karbon pohon Natal telah menjadi studi ilmiah untuk mengingatkan jejak karbon pemakaian pohon cemara. Krisis iklim menambah derita pohon Natal karena cuaca ekstrem membuat mereka mati.

Selain bisa menyerap polusi sebagai pencegah krisis iklim, jika cuaca ekstrem pohon Natal akan mati dan melepaskan karbon yang diserapnya. Krisis iklim membuat sebab akibat pelepasan gas rumah kaca saling terpaut.

Kenaikan suhu udara di Oregon yang mematikan pohon Natal itu terjadi karena suhu bumi naik 1,1C pada tahun ini. Bagaimana jadinya jika suhu bertambah 1,5C seperti diperkirakan para ahli akan tiba pada 2041?

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain