Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 25 Mei 2021

Ancaman Homo Urbanus

Jumlah penduduk yang naik dan tumbuhnya perkotaan membawa masalah dalam mitigasi krisis iklim. Produksi emisi kian naik.

Persimpangan Shibuya atau Shibuya Crossing di Tokyo (Foto: Meguraw/Pixabay)

JUMLAH penduduk Indonesia kini sebanyak 270,2 juta jiwa, melesat dua kali lipat dari tahun 1977 ketika Rhoma Irama menyanyikan lagu “135 juta”. Namun, dalam satu dekade terakhir, laju pertambahan penduduk Indonesia sebesar 1,25%, melambat dibanding satu dekade sebelumnya sebesar 1,49%.

Menurut sensus penduduk terbaru Badan Pusat Statistik, sebanyak 56,1% atau 151,6 juta jiwa tinggal di pulau Jawa. Padahal, luas pulau ini hanya 7% dibanding total luas Indonesia. Sebaliknya, Papua yang menjadi pulau terbesar Indonesia hanya dihuni 8,6 juta penduduk atau 3,17%, paling sedikit dibanding pulau-pulau lain yang lebih kecil.

Survei BPS juga menunjukkan satu tren baru, yakni orang Indonesia makin panjang umur. Jumlah penduduk usia 15-64 tahun bertambah sekitar 3 juta dan usia di atas 65 tahun bertambah sekitar 1 juta dalam satu dekade terakhir. Sebaliknya, usia 0-14 tahun menurun sekitar 5 juta. Agaknya, penurunan jumlah kelahiran baru ini yang membuat laju pertumbuhan penduduk Indonesia turun antara 2010-2020.

Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan usia

Data ini mengonfirmasi kecenderungan lain yakni makin bertambahnya jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan. Persaingan yang ketat dan gaya hidup yang lebih mahal dibanding perdesaan membuat penduduk kota memiliki paradigma baru dalam memandang keluarga dan pandangan terhadap keturunan.

Penduduk Indonesia yang kini tinggal di perkotaan sebanyak 57,1%, naik sekitar 5 juta jiwa dibanding 2019. Urbanisasi turut berperan dalam meningkatkan jumlah penduduk kota dan pembangunan yang mendorong bergantinya perkampungan menjadi kota-kota baru.

Kenaikan dan pergeseran demografi ini turut mendorong paradigma dan nilai-nilai penduduk Indonesia berubah, termasuk dalam pola konsumsi dan aktivitas. Keduanya akan melahirkan emisi karbon sebagai indikator pertumbuhan ekonomi.

Menurut Institute for Essential for Service Reform, lembaga kajian, sumber emisi penduduk perkotaan paling banyak berasal dari pemakaian barang elektronik dan penggunaan lampu, lalu alat transportasi, dan pemakaian kertas. Jawa Barat menduduki provinsi terbanyak dalam produksi emisi per kapita 12.520 gram setara CO2 per orang per hari, mengalahkan penduduk Jakarta yang hanya 9.593 gram setara CO2.

Anak-anak muda di bawah 18 tahun paling banyak memproduksi emisi dibanding rentang usia lain. Produksi emisi turun pada usia 18-25 tahun dan naik lagi pada penduduk usia 25-35 tahun. Laki-laki lebih banyak memproduksi emisi dibanding perempuan, dengan rasio 13.580 gram setara CO2 per orang per hari dibanding 10.401,3 gram setara CO2.

Studi lain oleh mahasiswa IPB pada 2017 menemukan bahwa produksi emisi penduduk Jakarta per kapita sebesar 4 ton setara CO2 per orang per tahun. Dengan membandingkan lima jenis profesi, pengusaha adalah pekerjaan paling banyak memproduksi emisi sebanyak 6,6 ton per orang per tahun.

Penghasilan juga turut berperan dalam produksi emisi. Semakin besar pendapatan per bulan, semakin banyak emisi yang mereka produksi. Dari perbandingan penghasilan per bulan, setiap kenaikan pendapatan Rp 1 juta per bulan menaikkan produksi emisi 1 ton per tahun. Mereka yang penghasilannya lebih dari Rp 5 juta sebulan memproduksi emisi sebanyak 5,3 ton per tahun.

Di masa krisis iklim, komposisi ini mencemaskan. Dengan pertumbuhan penduduk kota dan makin naiknya pendapatan penduduk akan mendorong mereka makin banyak memproduksi emisi. Sebab, konsumsi energi makin naik, konsumsi makanan juga bertambah, sementara makin sedikit mereka yang berkecimpung dalam pekerjaan restorasi lingkungan. 

Majalah The Economist pada Mei 2007 memprediksi pada 2030 jumlah penduduk kota di seluruh dunia mencapai 80%. Pada tahun tersebut jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai 8 miliar orang. Asia adalah kawasan yang paling pesat pertumbuhan kota dan penduduknya.

Sementara tahun 2030 adalah masa ketika janji semua negara dalam konferensi iklim di Perjanjian Paris 2015 ditagih untuk menurunkan 45% emisi karbon dibanding level 2010 menjadi sekitar 25 miliar ton, kini 51 miliar ton per tahun. Dengan laju pertumbuhan penduduk kota seperti itu, mitigasi krisis iklim mendapat tantangan serius.

Dunia sedang berjuang menurunkan emisi untuk mencegah suhu bumi naik 1,50 Celsius pada 2030 setidaknya menurunkan emisi 7,6% per tahun. Jika gagal mencapai level itu, krisis iklim sulit dicegah dan target nol emisi pada 2050—keadaan ketika produksi emisi dan penyerapannya seimbang—tak akan tercapai.

“Ancaman dunia hari ini dan besok bukan terorisme,” kata Direktur CIA John Brennan. “Tapi jumlah penduduk.”

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain