Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 04 Januari 2021

Cara Negara Lain Mengelola Hutan

Beberapa negara berhasil memanfaatkan hutan dengan tidak menebang dan mengambil kayunya. Nilai ekonomi dan jasa lingkungan hutan jauh lebih banyak ketimbang kayu atau mengonversi lahannya.

Petani Kosta Rika menjajakan hasil perkebunan di pinggir jalan (Foto: YeiFormatos/Pixabay)

LUAS penebangan dan konversi hutan jauh lebih tinggi dibanding rehabilitasi dan pemulihannya, seperti disimpulan Lechner dan Lonsdale dalam Trusting in trees: How four countries transformed their forests (2018). Meski begitu ada beberapa negara yang luas rehabilitasi lahannya bagus.

Di bagian selatan Virginia dan Kentucky hingga Texas dan Florida di Amerika Serikat, yang memiliki sejarah panjang konversi hutan, manajemen hutan berubah memasuki pertengahan abad 20. Pengelolaan hutan lebih intensif ketika kebutuhan pasokan kayu berkualitas semakin nyata. 

Di sana sekitar 86% hutan milik pribadi dan perusahaan. Manajemennya tumbuh berkelanjutan meski dengan peraturan terbatas. Antara 2010-2015, 50% volume tutupan hutan tumbuh. Selain burung dan mamalia asli yang mendapat keuntungan, lebih dari 200.000 orang bekerja pada 2016. Hutan menjadi bagian penting ekonomi perdesaan setempat.

Finlandia lain lagi. Praktik hutan berkelanjutan telah berjalan lebih satu abad, bahkan sejak 1865 ekonomi negara itu mengandalkan pabrik bubur kayu. Walaupun pernah terdegradasi parah lebih dari seratus tahun lalu, manajemen hutan lestari berjalan melalui pemanenan yang direncanakan dan undang-undang regenerasi hutan.

Seluas 61% hutan Finlandia juga dimiliki pribadi. Sebanyak 25% oleh negara, dan hanya 8% dikelola perusahaan. Pengelolaan hutan telah membuka lapangan pekerjaan, mata rantai penjualan kayu, drainase, dan pajak. Kolaborasi antar sektor menghasilkan cadangan hutan meningkat dari 1.500 juta meter kubik pada 1970 menjadi 2.500 juta meter kubik pada 2015. Padahal secara keseluruhan luas hutannya sama.

Daratan Inggris pernah  tertutup hutan seluas 30%. Tapi pada pergantian abad ini, hutan mereka tinggal 5%. Dalam 50 tahun terakhir angka tutupan hutan tumbuh menjadi 13%. Pemicunya adalah regulasi dan insentif ekonomi dalam hal penanaman. 

Sama seperti Finlandia, sekitar 73% hutan Inggris milik pribadi, yang mencakup kebun-kebun hutan bersejarah, perwalian amal, serta dana investasi. Meskipun kawasan hutan di Inggris meningkat selama abad terakhir, impor kayu dan produk kayu masih mencapai hampir 80%. Sebab, hutan-hutan di Inggris lebih banyak untuk rekreasi dan hutan sejarah yang dilestarikan sehingga penebangannya amat sedikit.

Uruguay yang lebih muda menawarkan contoh pengembangan sektor kehutanan melalui pemeliharaan hutan primer. Pada 1975 negara ini menerapkan insentif manajemen hutan, berupa pembebasan pajak, subsidi penanaman hutan baru, serta bea pajak untuk ekspor kayu. Hasilnya lonjakan hutan kayu putih dari 25.000 hektare pada 1987 menjadi lebih dari 1 juta hektare pada 2015. Sebagian besar dilakukan oleh perusahaan dan investor internasional. 

Keempat negara di atas mengambil pendekatan manajemen kehutanan berbeda, tapi mereka melalukan hal sama: menumbuhkan hutan melebihi apa yang mereka hilangkan melalui pemanenan, dengan sejumlah insentif.

Dalam laporannya pada 2020, Forest Incentive Programs: Property Taxes for Minnesota, USDA Forest Service menjelaskan bahwa Undang-Undang Insentif Kehutanan Berkelanjutan (SFIA) mengatur bahwa pemilik tanah menerima pembayaran insentif tahunan apabila tanahnya didaftarkan sebagai hutan negara. Pada 2020 nilai yang diterima pemilik tanah sekitar US$ 9.40 hingga US$ 20.24 per are per tahun, tergantung luas dan lama waktu “sewa” tanah tersebut.

Kebijakan demikian itu ditiru Kosta Rika. Negara ini memelopori insentif inovatif yang membayar pemilik tanah untuk memelihara hutan di lahan pribadi sejak 1997. Negara memberikan tunjangan tahunan kepada pemilik tanah yang setuju mempertahankan lahan berhutan mereka. Inovasi yang serupa dengan negara-negara maju itu dilaporkan oleh Innovation News Network (2020). 

Seperti banyak negara berkembang lain yang mengandalkan pembangunan pada pengerukan sumber daya alam, deforestasi Kosta Rika mencapai 69% pada 1977. Terus naik hingga sepuluh tahun kemudian. Mulai 1997, Kosta Rika memulai serangkaian pemulihan hingga pada 2010 tutupan hutan mencapai 52,4%.

Pemulihan dimulai dengan membuat Undang-Undang Kehutanan pada 1996. Dengan mengakui secara hukum nilai ekonomi, sosial dan jasa lingkungan hutan, undang-undang ini memberikan dasar pemikiran bagi pemerintah untuk membayar jasa tersebut. Pendekatan pembayaran langsung itu mewakili inovasi yang signifikan dalam kebijakan konservasi dengan memberikan insentif ekonomi kepada pemilik lahan swasta untuk melestarikan hutan mereka.

Meski pembayaran awalnya sulit karena konversi hutan jauh lebih menjanjikan, insentif ini memberi tambahan penting bagi pendapatan rumah tangga pemilik tanah yang tertarik menjaga tanahnya tetap berhutan. Sejak dimulainya program itu, lebih dari 10.000 petani menerima pembayaran melestarikan hampir 1 juta hektare hutan. Kosta Rika menjadi satu-satunya negara yang secara signifikan meningkatkan tutupan hutan tropisnya. 

Pengalaman Kosta Rika menyebar ke banyak negara berkembang lain, seperti Meksiko, Ekuador, Bolivia, Vietnam, Mozambik, dan Uganda. Mereka meniru cara Kosta Rika membayar pemilik tanah berdasarkan ukuran persil, bukan nilai ekologis atau risiko pembukaan lahan. 

Para pemilik lahan luas juga turut dalam program ini. Meski kehilangan potensi pendapatan besar jika menjual kayu, mereka mendapatkan penghasilan tambahan melalui ekowisata.

Kosta Rika masih terus mengembangkan manajemen hutan lestari dengan menambah alasan mengapa tiap pemilik lahan mesti mempertahankan hutan mereka, selain nilai ekonomi jika menebang dan mengonversinya. Dari pengalaman Kosta Rika kita bisa belajar bahwa masalah kehutanan tak terletak pada hutannya, melainkan keputusan dan perilaku manusia.

Indonesia punya program melalui kredit tunda tebang: pemerintah memberikan modal usaha dengan jaminan lahan dan pohon yang tak ditebang selama pengembalian pinjaman. Adakah program yang lebih inovatif dan masif dalam pengelolaan hutan?

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain