Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 12 Maret 2023

Peluang Ekonomi Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon menjadi instrumen mitigasi iklim. Apa yang kurang?

Perdagangan karbon

PADA 2022, pemerintah Indonesia meningkatkan komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) menjadi 31,89% dengan usaha sendiri hingga 43,20% dengan bantuan internasional pada 2030. Dengan kata lain, semakin besar peluang perdagangan karbon karena pasar emisi semakin naik. 

Target-target itu mengacu pada prediksi emisi dengan basis perhitungan 2010 sebesar 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030. Dengan penurunan sebesar 31,89%, emisi yang hendak direduksi 915 juta ton setara CO2. Jika harga karbon per ton sekitar US$ 5-10, nilai perdagangan karbon dari target tersebut paling tidak US$ 4,6 miliar atau Rp 70 triliun.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah sudah membagi penurunan emisi di lima sektor. Sektor kehutanan dan lahan (FOLU) punya target paling besar, yakni 17,4%, lalu energi 12,5%, limbah 1,4%, proses produksi dan industri 0,2%, dan pertanian 0,3%.

Salah satu cara mencapai target tersebut antara lain melalui pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Penurunan emisi dengan mengganti energi fosil ini sebanyak 10,1 juta ton, efisiensi energi 16,7 juta ton, transisi bahan bakar rendah karbon 9,56 juta ton, dan reklamasi setelah penambangan 0,38 juta ton. Di sektor kehutanan ada kebijakan FOLU net sink dengan menargetkan bisa mencapai emisi negatif 140 juta ton.

Perdagangan karbon menjadi instrumen ekonomi dan lingkungan dalam kebijakan mitigasi iklim. Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon pada 2021. Namun, dua aturan turunan berupa peraturan menteri yang menjadi petunjuk teknis dan pelaksanaan perdagangan emisi belum terbit hingga kini.

Selain itu, ada beberapa masalah lain untuk mendukung ekosistem perdagangan karbon:

  • Regulasi terkait operasionalisasi pasar karbon perlu dilengkapi, khususnya di sektor-sektor teknis
  • Perlu memastikan kesiapan infrastruktur yang dibutuhkan dalam mendukung perdagangan karbon, antara lain:
  1. Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang merupakan sistem berbasis web untuk melakukan pencatatan dan pelaporan sebagai dasar pengakuan pemerintah atas kontribusi penerapan NEK dalam pencapaian target NDC.
  2. Bursa Karbon, yang merupakan sistem untuk mengatur pencatatan perdagangan karbon, pencadangan karbon dan status kepemilikan unit karbon.
  3. Pelaku usaha masih belum memahami terkait ketentuan mekanisme perdagangan karbon yang berlaku di Indonesia.
  4. Peraturan operasional pajak karbon belum terbit, hal ini berpotensi:
  5. mengurangi peluang pendapatan negara untuk pembiayaan proyek perubahan iklim yang bersumber dari pajak karbon.
  6. Pelaku perdagangan karbon tidak mendapatkan benefit pengurangan pajak karbon.
  7. Penerapan pajak karbon akan berdampak pada harga karbon. Pajak karbon adalah alat efektif karena memungkinkan perusahaan dan rumah tangga menemukan cara berbiaya rendah mengurangi penggunaan energi fosil dan beralih ke alternatif yang lebih bersih.

IMF menggambarkan simulasi ilustrasi pengenaan pajak karbon yang cukup rasional jika pajak karbon sebesar US$ 25 per ton. Dengan tarif pajak karbon sebesar ini, emisi yang bisa dikurangi dalam satu dekade sebanyak 21%. Bagi negara, pajak karbon akan menambah sekitar 0,8% PDB.

Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) RAPBN 2022, pemerintah merancang dua alternatif skema pajak karbon, yakni memungut pajak karbon melalui instrumen yang sudah ada seperti cukai, pajak penghasilan (PPh), PPN, PPnBM, atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP); dan skema kedua memungut pajak karbon melalui instrumen baru yang akan disesuaikan nantinya.

Terkait tarif pajak karbon, Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan tarif pajak karbon yang ideal untuk negara berkembang berkisar antara US$ 35-100 per ton atau sekitar Rp 507.500-Rp1,4 juta per ton. Angka tersebut jauh di atas tarif yang diajukan pemerintah dan sudah disetujui DPR, yakni Rp 30 per kilogram setara CO2

Perlu sosialisasi masif tentang mekanisme perdagangan karbon kepada pelaku usaha untuk menumbuhkan pasar karbon di dalam negeri, mendorong percepatan regulasi terkait serta penerapan lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG). Pemulihan hutan, pemakaian alat-alat rumah tangga, pemakaian energi terbarukan, dan investasi hijau menjadi basis perdagangan karbon untuk menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan.

Ikuti percakapan tentang perdagangan karbon di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Analis hukum Kementerian Sekretariat Negara

Topik :

Translated by  

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain