Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 23 Juni 2022

Agroforestri Tebu untuk Mengatasi Defisit Gula

Agroforestri tebu mungkin bisa menjadi solusi defisit gula. Tebu telah diakui sebagai komoditas multiusaha kehutanan.

Perkebunan tebu di area PT Inhutani V di Lampung (Foto: Endro Siswoko)

IMPOR menjadi solusi mengatasi defisit gula sejak 1967. Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2020 Indonesia mengimpor gula dari Thailand sebanyak 2,1 juta ton, dari Brazil 1,55 juta ton, dari Australia 1,2 juta ton, dari India 620.000 ton, dan 80.000 ton dari Afrika Selatan. Apakah ada solusi lain mengatasi krisis gula? Mari kita tengok agroforestri tebu.

Produksi gula nasional berasal dari tiga jenis perkebunan: perkebunan kecil rakyat, perkebunan swasta, dan perkebunan pemerintah. Ini urut-urutan penyumbang produksi gula nasional, yang berbanding lurus dengan luas perkebunannya. Karena itu ada usaha meluaskan terus perkebunan tebu untuk menggenjot produksi nasional. 

Konstruksi Kayu

Impor dan perluasan perkebunan tebu selalu berpangkal pada problem klasik produktivitas dan rendahnya rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu di lahan sawah sebesar 95 ton/hektare, dan di lahan tegalan sebesar 75 ton/hektare, dengan rendemen gula 7,3-7,5%. Varietas tebu yang matang tidak seimbang, masak awal, masak tengah, dan masak akhir juga jadi problem lain rendahnya produktivitas itu 

Setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Nomor 8/2021 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi, tebu secara eksplisit digolongkan sebagai tanaman jenis lain yang bisa dibudidayakan di dalam kawasan hutan. 

Sebelumnya, di PP 6/2007 juncto PP 3/2008 tak ada pengkategorian tebu bisa ditanam di dalam kawasan hutan. Hal ini menjadi peluang bagi pengelola hutan untuk memanfaatkan tebu guna menambah penghasilan melalui skema multiusaha kehutanan dan agroforestri.

Di Jawa, tebu dalam kawasan hutan berawal dari konflik sosial yang berkepanjangan. Dengan inovasi regulasi Menteri Lingkungan Hidup itu, tebu menjadi legal ditanam di kawasan hutan yang akan menjadi solusi konflik sosial melalui kerja sama petani dengan pemilik lahan (pemerintah atau badan usaha kehutanan milik negara). 

Menurut klasifikasi Edquist dan Johnson (1997) dalam (Rametsteiner and Weiss 2006) tiga fungsi dasar inovasi adalah (1) pengurangan ketidakpastian dengan memberikan informasi, (2) pengelolaan konflik dan kerja sama, dan (3) pemberian insentif. Apa tebu dalam regulasi Menteri Lingkungan Hidup itu telah memenuhi tiga unsur ini?

Ketidakpastian lahan dalam konflik sosial perambahan kawasan hutan berkurang ketika semua pihak mengakui wilayahnya masing-masing. Kesepakatan ini akan menurunkan konflik sosial dan kerja sama pasti meningkat. Kesepakatan dan kerja sama itu juga akan memberikan insentif ekonomi bagi para penggarap agroforestri sekaligus membuka lapangan pekerjaan baru.

Pertanyaannya apakah benar krisis gula terjadi akibat kurang lahan perkebunan tebu sehingga harus merambah kawasan hutan? Apa masalah pokok defisit gula: benarkah karena rendahnya rendemen produktivitas, varietas tebu, kurangnya teknologi budidaya atau lemahnya kolaborasi? Apakah regulasi Menteri Lingkungan itu hanya untuk mengakomodasi ketelanjuran pemanfaatan kawasan hutan secara ilegal?

Pemerintah memang menjadikan ketahanan pangan dalam agenda pembangunan nasional 2022-2024 dengan memprioritaskan program peningkatan ketersediaan, akses, serta kualitas konsumsi pangan. BUMN kehutanan diminta ikut ambil bagian dalam program ini dengan membangun klaster agroforestri tebu.

Dengan peraturan Menteri Lingkungan itu, tebu telah diakui sebagai komoditas multiusaha kehutanan, meskipun problemnya tidak langsung berhenti dalam pemberian status legal ini. 

Tebu di kawasan hutan memakai lahan-lahan konflik dan ketelanjuran dan bersifat invasif sehingga butuh waktu lama menyelesaikannya hingga muncul aturan Menteri Lingkungan itu. Problem lain adalah budidaya dan pemasaran. Sebagai komoditas baru multiusaha di kawasan hutan, tak mudah menciptakan pasar dan mengakses pasar yang sudah ada untuk memasarkan tebu dari kawasan hutan.

Soal penting lain adalah budaya perusahaan pemilik konsesi kawasan hutan. Selama ini produk kawasan hutan identik dengan kayu. Masuknya tebu sebagai komoditas baru memerlukan pengetahuan baru bagi para karyawan BUMN untuk mengelolanya, bahkan berinovasi membangun kerja sama dengan masyarakat pengelola yang mengembangkan komoditas tebu ini. Artinya, ukuran-ukuran kinerja karyawan pemilik konsesi juga perlu berubah menyesuaikan perubahan ini.

Maka inovasi regulasi sebagai respons atas keadaan yang ruwet bertahun-tahun tak mudah mempraktikkannya di lapangan. Perlu waktu, inovasi, dan menghilangkan silo untuk melihat problem nyata yang membuat kawasan hutan memiliki produksi yang rendah. Agroforestri tebu bisa menjadi solusi atas problem sosial di kawasan hutan jika ia berkontribusi pada problem defisit gula dan eksistensi hutan tetap terjaga.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Mahasiswa Program Doktor Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain