Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 02 Mei 2022

Mangga Berbuah Ulat

Cerita mudik dan Lebaran: krisis iklim di kampung. Hujan salah musim.

Cerita mudik: mangga berbuah ulat (Gambar: Indra Fauzi/FD)

SETELAH dua tahun virus corona mencegah mudik, tahun ini kita bisa pulang untuk merayakan Lebaran. Kita bisa mudik, mengunjungi kenangan, menemui mereka yang turut andil dalam membentuk masa depan. Sebelum Ramadan, ibu saya memberitahu, saat kami mudik, pohon mangga di halaman belakang dan depan rumah kemungkinan sedang berbuah.

Bulan Mei memang seharusnya kemarau, bulan ketika mangga Harumanis sedang ranum dan matang petik. Dalam perjalanan mudik sewaktu melewati Indramayu di jalur pantai utara Jawa, saya lihat warung-warung pinggir jalan menjajakan berstupa-stupa mangga. Ibu saya selalu ingat saya suka makan mangga.

Ia pernah menyesal tak kepalang ketika sekali waktu saya pulang, mangga sudah habis. Itu tahun 1997. Tanpa telepon dan belum ada jaringan seluler, saya bisa tiba-tiba berdiri di depan pintu saat libur sekolah. Ayah dan ibu saya tak tahu jadwal saya pulang. Waktu itu, mereka baru menghabiskan tiga mangga terakhir. Ibu saya menyesal. Setelah itu, tiap mangga berbuah, ia selalu menyisihkan lima butir.

Kini sudah ada telepon seluler. Tentu saja saya bisa memberi tahu kapan pulang. Jadi menyimpan mangga tanpa ada jadwal pulang terdengar konyol. Tapi itulah cinta yang tak bersyarat. Ia melampaui logika. Atau, itu memang jadi alarm ia kangen anak-anaknya sehingga mangga jadi alasan untuk menyuruh kami pulang.

Ibu saya selalu terkenang dengan penyesalannya, lebih dari 25 tahun lalu, sementara saya sudah lupa dengan kejadiannya. Ia selalu mengulang penyesalan tiap kali saya minta tak usah menyisihkan mangga karena bisa busuk, sementara saya belum ada jadwal pulang karena urusan pekerjaan.

Pada musim Lebaran tahun ini, mangga depan rumah juga berbuah. Banyak pengumpul atau pedagang yang datang ke rumah hendak memborongnya. Ibu saya menolak. Ia membayangkan mangga yang harum dan manis itu akan disantap anak-anaknya tiap berbuka puasa, tiga hari sebelum Lebaran.

Rencana itu buyar. Musim tak lagi sama. Mei yang seharusnya kering seperti biasa, kini hujan setiap sore. Akibatnya, ulat muncul mencium gula mangga. Mereka menyerang mangga yang sudah berbuah. Ibu saya tahu ketika memanennya dua hari sebelum saya tiba. Mangga yang terlihat ranum dari luar menyimpan ulat di dalamnya.

Mangga tetangga juga sama. Ulat menyerang setiap mangga di kampung ini. Tak ada yang bisa panen mangga karena dagingnya sudah jadi makanan ulat. 

Juga ancaman longsor tebing kali yang menjadi batas desa dan membelah area hutan dan persawahan. Di hulu, kali itu jadi deras karena mata airnya melimpah, melongsorkan tanah sawah yang dilewatinya. Akibatnya, arusnya berkelok-kelok hingga melewati kampung. Rumah-rumah di pinggir kali nyaris karam karena halaman belakangnya rontok.

Hujan yang berubah juga mengubah tanaman. Biasanya, menurut primbon palawija yang jadi acuan petani bertahun-tahun, Mei adalah waktu menanam kacang tanah, setelah selesai panen padi. Kini petani masih menanam padi, bahkan baru setengah usia untuk musim kedua. Jadi, biasanya pada Ramadan petani panen padi sehingga orang-orang kampung bisa menabungnya untuk Lebaran, kini padi sawah terbaru sebagai bagian dari perayaan 1 Syawal belum tersedia.

Orang kampung tak paham bahwa perubahan-perubahan itu, hama yang salah musim itu, adalah bentuk nyata bencana iklim. Pemanasan global telah menyelewengkan musim dari jadwal rutin bertani. Menanam padi, palawija, merayakan Lebaran dengan nasi segar adalah tradisi yang membentuk ingatan kolektif tiap orang. Kita menyebutnya kebudayaan.

Tapi ayah saya tak menyalahkannya. Atau bersetuju dengan gejala-gejala krisis iklim. Katanya, musim berubah karena sebuah siklus. Toh, seperti penanggalan lunar, bulan akan kembali ke orbitnya setelah 365 hari. Seperti bulan Ramadan yang jatuhnya selalu beda-beda di tiap penanggalan Masehi, musim juga berubah.

Saya menduga ayah yang tak mengeluh itu hanya bagian dari kerendahan hati. Ia dan para petani di kampung ini tak terbiasa menyalahkan orang lain atau faktor luar karena selalu bisa menerima keadaan sebagai bagian dari rasa syukur. Mereka terbiasa dengan adaptasi sebagai cara manusia mengakui kekuatan alam. Kitalah, selalu begitu ayah mengingatkan, yang harus mengikuti alam, bukan menaklukkannya.

Tapi, bagaimana dengan ulat di buah mangga? Bukankah itu merugikan akibat hujan yang salah musim? Bagi ayah saya, ulat juga punya hak untuk hidup. Ia tak menyesal tak bisa menikmati atau menyuguhkan mangga. Bagi dia sudah menjadi jalan dan waktunya mangga berbuah pada bulan Mei dibarengi hujan sehingga memberikan makan pada ulat. Begitulah siklusnya. Jika ia berubah, begitulah alam menghendakinya.

Saya tak membantahnya lagi. Konon, menurut para ahli, ini zaman Antroposen, masa ketika aktivitas manusia membuat bumi jadi rentan akibat produksi emisi yang mengotori atmosfer sehingga panas terperangkap di sana dan memantul kembali ke bumi menaikkan suhu pelan-pelan. Hujan salah musim itu akibat krisis iklim.

Manusia mungkin bisa beradaptasi dengan keadaan yang berubah dengan mengikutinya sebagai bagian dari insting bertahap hidup. Tapi jika perubahan itu karena ulah manusia, bukankah kita mesti mengubahnya agar tak terjadi perubahan yang mengancam eksistensi kita? Mungkin ini oksimoron: kita harus berubah untuk mencegah perubahan.

Ayah saya pamit tidur bersiap menyambut hari Lebaran besok. Dalam sunyi-senyap kampung di kaki Ciremai ini, saya teringat haiku Sitor Situmorang yang terkenal tentang keganjilan: Malam Lebaran. Bulan di atas kuburan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Mengelola blog catataniseng.com. Menjadi wartawan sejak 2001 dan penerima penghargaan Mochtar Lubis Award serta Jurnalis Jakarta Award untuk liputan investigasi. Bukunya: #kelaSelasa: Kumpulan Twit tentang Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain