Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 26 Agustus 2021

Emisi Limbah Medis

Limbah medis belum terolah dengan baik. Padahal, selain menghasilkan emisi gas rumah kaca, limbah medis tergolong limbah beracun.

Pengelolaan limbah medis selama pandemi covid-19 (Foto: R. Eko Tjahjono/FD)

LIMBAH medis naik 30% selama pandemi covid-19. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pada Maret 2020, awal pandemi, hingga Agustus 2021, limbah medis mencapai 20.110,585 ton.

Selain sulit terurai karena mengandung berbagai macam jenis plastik, limbah medis juga tergolong limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Apalagi, menurut temuan Lembaga Ilmu Pengetahuan, di awal pandemi saja ada 16% limbah medis atau 130 kilogram sehari dari total sampah yang ditemukan di sungai Cilincing dan Marunda di Teluk Jakarta.

Temuan LIPI itu mengkonfirmasi bahwa masyarakat maupun rumah sakit masih membuang sampah dan limbah medis ke sungai. Sumber limbah medis selama pandemi selain dari rumah tangga juga dari fasilitas layanan kesehatan, ruang isolasi, layanan vaksinasi, dan pusat deteksi covid-19.

Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Medrilzam mengatakan sebagian besar provinsi di Indonesia belum memiliki sistem pengolahan limbah medis. 

Berbicara dalam webinar “Darurat Limbas Medis: Kita Bisa Apa?” pada 24 Agustus 2021, Medrilzam mengakui bahwa jumlah limbah medis naik di luar dugaan. Dari 2.867 rumah sakit, hanya 122 layanan kesehatan yang memiliki pengolah limbah medis dengan kapasitas 73,03 ton per hari.

Selain itu ada jasa pengolahan limbah B3 sebanyak 42 unit dengan kapasitas 348,12 ton per hari, dukungan KLHK sebanyak enam unit dengan kapasitas 15,6 ton per hari, serta rumah sakit dengan tempat pembakaran limbah medis B3 yang tak berizin sebanyak 112 unit dengan kapasitas 73,04 ton per hari.

Umumnya pengolahan limbah medis B3 masih dibakar di insinerator, seperti dianjurkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam Surat Edaran Nomor SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 pada 24 Maret 2020, Menteri LHK memberikan panduan memusnahkan sampah medis dengan cara dibakar pada suhu 8000 Celsius. 

Akibatnya, selain menghasilkan emisi, pembakaran juga menghasilkan residu yang tak menghilangkan sifat beracun limbah B3. Sejauh ini baru ada satu lokasi pengolahan limbah B3 di Bogor yang memakai teknologi membran dari Jepang.

Inovasi mengolah limbah B3 tanpa bakar sebenarnya sudah dikembangkan LIPI dengan teknik rekristalisasi. Dengan memakai pelarut logam dan plastik, teknik ini mengembalikan limbah medis menjadi kristal plastik yang bisa dipakai kembali menjadi pelbagai jenis barang. Namun, temuan Sunit Hendrana, peneliti kimia LIPI, belum diproduksi massal.

Untuk menyelesaikan problem limbah medis ini, Medrilzam mengatakan bahwa Bappenas membuat proyek strategis yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 – 2024. Dalam rencana itu, kapasitas pengelolaan limbah B3 terpadu hingga 26.880 ton per tahun. “Ini pertama kalinya dalam sejarah RPJMN Indonesia ada agenda prioritas nasional khusus lingkungan hidup terkait pengelolaan limbah b3,” kata dia.

Dimas Almakna, anggota Doctor For Extinction Rebellion, kelompok peduli iklim, mengingatkan bahwa pengelolaan limbah medis tetap harus mengacu pada pencegahan krisis iklim. Ia mengutip satu studi bahwa limbah medis menghasilkan 7% emisi ke atmosfer jika tak dikelola dengan baik.

Penelitian Pusat Kesehatan Amerika Serikat bahkan menyebutkan limbah medis menghasilkan emisi karbon sebanyak 9-10% dari total gas rumah kaca secara nasional. Maka jika Indonesia memproduksi 1,2 miliar ton emisi setara CO2 setahun, limbah medis menyumbang 120 juta ton. Dari mana emisi karbon limbah medis?

Umumnya dari pembakaran. Residu hasil pembakaran harus diangkut ke tempat pembuangan akhir yang memerlukan bahan bakar dalam transportasi. Setelah ditimbun di tempat pembuangan akhir, limbah medis yang beracun itu menghilangkan kemampuan tanah dalam menyerap emisi dari udara.

Jejak karbon limbah medis kian bertambah jika ia dibuang sembarang ke alam. Selain mencederai lingkungan, limbah medis akan membunuh eksosistem di sekelilingnya. Jika ke laut limbah medis akan membunuh biota laut karena racun mikroplastik dan pelbagai zat kimia yang terkandung di dalamnya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain