Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 05 Juni 2020

Kisah Kaum Tsamud yang Tak Mau Berbagi

Al Quran menceritakan kisah kaum Tsamud yang dihukum akibat tak mau berbagi air dengan unta. Daerah subur itu kering akibat manusia tak peduli dengan mahluk lain.

Unta gurun.

SEBAGIAN besar isi Al-Quran adalah cerita. Kisah-kisah itu diceritakan bukan sekadar untuk diambil hikmahnya. Apa yang terjadi pada umat-umat terdahulu adalah pelajaran penting bagi kita saat ini.

Salah satu surat dalam Al-Quran yang memuat banyak cerita nabi-nabi adalah Surat Asy-Syu'ara (Para Penyair). Surat ini sebenarnya diturunkan sebagai “pelipur lara” untuk Nabi Muhammad SAW yang sedang berduka karena dakwahnya ditolak oleh kaumnya.

Dengan surat ini Allah ingin memberitahu bahwa hal yang sama juga sebenarnya dialami oleh nabi-nabi sebelumnya. Maka mengalirlah cerita-cerita mereka, mulai dari Nabi Musa, Ibrahim, Nuh, Hud, Shalih, Luth, Nuh, dan Syuaib.

Kita akan membahas cerita Nabi Shalih yang diturunkan kepada kaum Tsamud, kaum Arab kuno yang tinggal di Pegunungan Athlab di Madain Shaleh, kini masuk Provinsi Madinah  di wilayah Hijaz. Mereka diyakini datang dari utara yang kemudian hijrah ke sealatan Arab.

Kenapa saya memilih kisah yang tertera di ayat 141 hingga 159 ini? Ada dua sebab. Pertama, karena kondisi alam kaum Tsamud kurang lebih sama dengan di Indonesia yang subur dan makmur. Kedua, karena ini ada hubungannya dengan lingkungan hidup dan berbagi bumi dengan makhluk lain.

Di surat Asy-Syu’ara, Allah memakai pola atau template yang sama dalam menceritakan nabi-nabi. Diawali dengan dikenalkannya nabi sebagai “saudara” mereka. Bukan musuh atau orang luar. Seperti halnya saudara, mereka hanya menginginkan kebaikan, menyayangi mereka, dan tidak menginginkan hal buruk terjadi pada kaumnya.

Lalu disusul perintah untuk takwa. Dalam banyak penerjemahan bahasa Inggris, takwa diartikan sebagai kesadaran. Kesadaran akan apa? Akan diri, akan alam sekitar, dan akan Allah sebagai Pencipta. Setelah itu diteruskan dengan pernyataan bahwa mereka tidak meminta bayaran atau keuntungan dari masyarakat. Tidak ada kepentingan materiil yang mereka kejar.

Nah, setelah membangun kepercayaan, mereka biasanya menyentuh problem terbesar yang mereka hadapi saat itu. Setiap nabi diutus dengan misi yang berbeda, karena problem mereka tidak sama. Untuk Nabi Shalih, misi utamanya adalah mengatasi gaya hidup berlebihan (ayat 151).

Gaya hidup berlebihan ini muncul karena orang Tsamud merasa aman tinggal di negeri laksana surga, pohon tumbuh subur dan menghasilkan buah-buahan yang membuat mereka aman dari kelaparan, mereka tinggal di tempat yang kokoh, yaitu gunung-gunung yang dipahat (ayat 146-149).

Kemakmuran dan kesuburan itu membuat mereka merasa aman soal kebutuhan pokok. Dan seperti masyarakat yang sudah melewati masalah kebutuhan pokok, mereka memiliki gaya hidup yang berlebihan.

Yang menarik, larangan Nabi Shalih untuk berlebihan itu tidak dengan kalimat, “Jangan berlebihan”, tapi “Jangan mengikuti orang-orang yang hidup berlebihan” (ayat 151). Artinya, ada tren yang diikuti. Ada gaya hidup komunal yang semua orang melakukannya dan merasa itu wajar.

Masalahnya, gaya hidup ini (seperti halnya gaya hidup hiperealitas modern), mendatangkan kerusakan pada alam. “Orang-orang yang berlebihan itu merusak di bumi dan tidak melakukan perbaikan” (ayat 152). Kerusakan terjadi karena ada eksploitasi besar-besaran pada sumber daya alam. Bukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, tapi untuk memanjakan nafsu hidup yang berlebihan (israf) itu.

Allah kemudian memunculkan unta sebagai simbol dari makhluk lain selain manusia. Kaum Tsamud diminta untuk berbagi sumber daya alam, dalam hal ini air, dengan unta itu. Ada penggiliran hari untuk memanfaatkan air (ayat 155). Tentu saja, mereka tidak terima karena selama ini dimanjakan alam. Mereka kemudian membunuh unta itu (ayat 157).

Ini persis sama dengan kita, manusia modern yang enggan berbagi sumber daya alam. Kita merampas hutan dan sungai serta sumber air bersih, lalu membunuh hewan-hewan yang kelaparan dan kehausan dan mampir ke lahan yang kita kuasai. Tidak sedikit kita dengar kisah pembantaian orangutan dan gajah (bahkan macan) yang masuk ke lahan perkebunan.

Yang terjadi kemudian adalah kaum Tsamud hidup menderita dan tersiksa (158). Mereka ditimpa kemarau yang tak habis-habisnya. Derita itu datang bukan karena membunuh unta. Unta hanyalah simbol dari kerelaan untuk berbagi dengan makhluk lain. Derita dan kemarau itu datang karena mereka melupakan hak makhluk lain untuk hidup bersama di bumi ini.

Dalam kisah itu ada pelajaran, tapi banyak orang yang tidak mau percaya (ayat 159).

Gambar oleh 4144132 dari Pixabay.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain