Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 27 Agustus 2024

Rokok dalam Paradigma Konsumsi Berkelanjutan

Dengan dampak dan rantai produksinya, rokok bukan barang kategori konsumsi berkelanjutan. Mengapa?

Perkebunan tembakau yang memicu deforestasi

SEBELUM normatif dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy telah lama menyuarakan hak konsumen dalam pidato di Kongres Amerika Serikat pada 1962. Kennedy menyitir empat hak dasar yang harus dimiliki konsumen, yaitu: hak atas keamanan, hak memilih, hak mendapatkan informasi, dan hak didengar pendapatnya. Tanggal pidato Kennedy itu menjadi Hari Hak Konsumen Sedunia sejak 1983.

Indonesia mengadopsi prinsip dasar hak konsumen dalam konstitusi. Bahkan kita meluaskan terminologi  hak konsumen. Dalam UU Perlindungan Konsumen, konsumen berhak mendapatkan ganti rugi dan kompensasi, plus hak melakukan gugatan, baik secara individual maupun kelompok. Saking luasnya, undang-undang sektor juga memasukkan prinsip tersebut sehingga acap tumpang-tindih.

Bukan hanya perluasan hak konsumen, dimensi lain adanya keseimbangan (fairness) dalam bertransaksi dan pola konsumsi konsumen, yakni aspek tanggung jawab dan kewajiban konsumen. Aspek kewajiban konsumen sudah terwadahi cukup baik dalam Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen, yakni membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Oleh gerakan konsumen dunia, tanggung jawab konsumen terelaborasi dalam lima pilar:

Pertama, memedulikan masyarakat terhadap nilai uang, nilai barang maupun nilai pada manusia. Ini tecermin dalam hak dan kewajiban konsumen saat bertransaksi dan mengonsumsi barang dan jasa. Kedua, melindungi alam dan lingkungannya. Poin ini yang paling penting dan krusial terkait isu pemanasan global, bahkan fenomena krisis iklim. Perilaku konsumen dalam berkonsumsi berkaitan dengan fenomena kerusakan alam global. Sebab semua pola perilaku konsumen dalam keseharian menghasilkan jejak karbon.

Ketiga, mengetahui dan memperjuangkan hak yang berlaku secara universal. Regulasi di Indonesia belum ada yang mengatur hal ini, termasuk dalam UU Perlindungan Konsumen. India mempunyai dua produk undang-undang fundamental, yakni Essensial Services Act dan Essensial Comodity Act. Bahan pangan dan obat-obatan termasuk aspek Essensial Comodity Act.

Keempat, memperjuangkan keadilan atas sistem politik dan ekonomi yang memarjinalkan konsumen lemah dan miskin. Sistem ekonomi dan bahkan sistem politik kadang tidak adil. Contoh, kartel harga, oligopoli, dan praktik monopoli. Kelima, menggalang kekuatan dengan menggerakkan energi masyarakat. Poin ini memberikan pesan konsumen tak boleh egois, hanya memperjuangkan haknya sendiri. Konsumen tak boleh diam saat hak konsumen yang lain dilanggar.

Kelima pilar ini, jika dirangkum, menghasilkan pola konsumsi yang berkelanjutan, yakni pola konsumsi yang tidak hanya bicara hak dan kewajiban saja, tapi pola konsumsi yang memperhatikan dimensi lebih luas, seperti memperhatikan generasi mendatang, memperhatikan alam dan lingkungan, plus memperhatikan dimensi hak asasi manusia.

Pola konsumsi berkelanjutan bisa dimaknai dalam dua perspektif, yakni jenis komoditas yang dikonsumsi dan cara menggunakan komoditas tersebut. Energi fosil, seperti minyak bumi dan batu bara, jika dieksplorasi dan digunakan oleh manusia, adalah jenis energi yang tidak punya basis konsumsi berkelanjutan.

Sebagaimana energi fosil, produk air minum dalam kemasan dan minuman berpemanis daalm kemasan adalah produk minimal dalam perspektif konsumsi berkelanjutan. Pengambilan air dari daalm tanah membuat barang publik ini menjadi terbatas.

Barang lain yang tak berkelanjutan adalah produk tembakau alias rokok. Dari sisi hulu, sebagian besar pertanian tembakau dilakukan dengan membuka lahan atau deforestasi. Menurut riset SEATCA (2017), 302.746 hektare lahan dibuka untuk tanaman tembaka. Indonesia menjadi negara yang membuka lahan untuk perkebunan tembakau paling luas, 206,387 hektare.

Industri rokok juga menghasilkan emisi karbon dalam proses produksi. Merujuk laporan perusahaan rokok multinasional pada 2011, sebagaimana disampaikan WHO Indonesia, dalam satu tahun pabrik rokok menghasilkan 1.973 ton limbah berbahaya dan beracun dalam memproduksi rokok. Proses produksi dan distribusi juga menghasilkan 84 juta ton emisi setara karbon dioksida.


Artikel lain tentang rokok:


Belum lagi puntung rokok. Data United Nation of Development Program (2017) menunjukkan sebanyak 4,5 triliun puntung rokok, atau sekitar 766 juta ton, berakhir di lautan. Di Indonesia, menurut data WHO, terdapat 116 juta puntung rokok setiap hari. Padahal puntung rokok termasuk kategori sampah limbah berbahaya dan beracun, karena mengandung 7.000 zat kimia berbahaya.

Pada 2023, produksi rokok di Indonesia mencapai 318 miliar batang dan dengan jumlah perokok lebih dari 73 juta perokok aktif (35% dari total populasi). Sebatang rokok menghasilkan 14 gram CO2, dari mulai proses penanaman, produksi, sampai ke pembuangan. Maka, jika satu orang merokok satu bungkus sehari selama 50 tahun, ia menghasilkan jejak karbon sebanyak 5,1 ton CO2. Untuk mengimbangi perlu 132 pohon dan waktu 10 tahun.

Produk tembakau juga kontraproduktif dari sisi konsumsi berkelanjutan, karena punya dampak eksternalitas negatif yang serius, terutama bagi rumah tangga miskin. Secara keseluruhan, di Indonesia partisipasi rumah tangga dlam konsumsi rokok tinggi, yaitu 65,89%. Artinya di 65,89% rumah tangga terdapat setidaknya satu perokok.

Lebih miris lagi jika merujuk data Badan Pusat Statistik. Rokok merupakan komponen pengeluaran tertinggi nomor dua di rumah tangga, setelah beras. Konsumsi rokok jauh lebih tinggi dari pada konsumsi protein hewani seperti telur, daging ayam dan bahkan tempe (protein nabati). Data menunjukkan, konsumsi rokok filter di perkotaan 12,21% dan perdesaan 11,63%. Bandingkan dengan anggaran untuk konsumsi daging ayam ras 4,63% di perkotaan, dan 3,49% di perdesaan. Kajian Universitas Indonesia menunjukkan anak yang lahir dari keluarga perokok  memiliki risiko kontet 5,5% lebih tinggi dibanding anak-anak yang lahir dari keluarga bukan perokok.

Tembakau, menurut WHO, secara global juga membunuh 7 juta orang perokok aktif dan 1,2 juta perokok pasif per tahun. Di Indonesia tidak kurang dari 225 ribu orang meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan tembakau.

Maka rokok bukan termasuk barang kategori konsumsi berkelanjutan. Kita bersyukur pada 26 Juli 2024, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang kesehatan, terutama bagian ke-21, Pasal 428-469. Beberapa poin terpenting dalam pasal pengendalian tembakau pada PP 28/2024 adalah larangan penjualan ketengan, penjualan berbasis zona, larangan total iklan rokok di media digital dan media sosial, peringatan kesehatan bergambar menjadi 50% dari kemasan, jam tayang iklan rokok di media elektronik menjadi jam 22-5 pagi.

Dengan demikian, mengacu pada paradigma konsumsi berkelanjutan, konsumen yang cerdas dan berdaya bukan konsumen yang menuntut haknya saja, tapi konsumen yang bertindak dengan memikirkan dimensi yang lain, dimensi yang lebih luas, termasuk dimensi hak asasi manusia, hukum, sosial ekonomi, lingkungan global. Salah satunya dengan setop membeli dan mengonsumsi rokok.

Ikuti percakapan tentang konsumsi berkelanjutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain