Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 02 Juli 2022

Perdagangan Karbon dalam Reformasi Perhutani

Kementerian BUMN mendorong reformasi dan transformasi Perhutani menjadi solusi berbasis alam. Akan didorong terlibat dalam perdagangan karbon.

Hutan Jawa (Foto: Kanenori/Pixabay)

TINGGINYA konflik lahan di areal Perum Perhutani yang menahun dan rendahnya nilai aset tegakan hutan menjadi catatan penting bagi BUMN kehutanan ini. Reformasi Perhutani sejak pembentukan holding perusahaan negara sektor kehutanan pada 2014 baru berdampak pada sedikit perbaikan kinerja keuangan.

Pahala Nugraha Mansury, Wakil Menteri BUMN, mengatakan ada kenaikan kinerja keuangan Perhutani akhir-akhir ini. Ia berbicara dalam Kongres Kehutanan VII pada Senin lalu. Pendapatan kotor Perhutani, kata Pahala, naik meski pendapatan bersih naik-turun karena terpukul pandemi COVID-19. Revenue pada 2020 sebesar Rp 4,5 triliun, naik menjadi Rp 5,2 triliun pada 2021. Tahun ini pendapatan Perhutani diperkirakan Rp 5,7 triliun.

Kewajiban Perhutani, perusahaan negara yang mengelola hutan produksi di Jawa, tak hanya menytor deviden kepada negara, juga menaikkan nilai sosial di sekitar lahan garapannya. “Dari ketahanan pangan, energi hingga kesehatan lingkungan. Itu sebabnya kinerja keuangan harus ditingkatkan,” kata Pahala.

Perhutani memiliki enam inisiatif strategis dalam mengembangkan bisnis dan dekarbonisasi. Pertama, reorganisasi melalui penggabungan anak perusahaan yang memiliki rantai nilai dan produk. Menurut Pahala, masalah terbesar anak perusahaan Perhutani saat ini adalah kurangnya sinergi, kesulitan likuiditas dan merugi. “Perhutani harus melakukan optimalisasi, restrukturisasi dan fokus pada pengembangan ke depan,” kata mantan bankir Bank Mandiri ini.

Kemudian, hilirisasi produk. Menurut Pahala, saat ini Perhutani belum optimal memberikan nilai tambah pada produk kayu tertentu. Padahal, pengolahan produk hilir sektor kehutanan berpeluang memberikan tambahan pendapatan sekitar 10% dari total pendapatan 2021 atau sekitar Rp 500 miliar per tahun.

Yang paling utama, kata Pahala, adalah pengembangan usaha. “Perhutani harus menjadi perusahaan solusi berbasis alam. Target penurunan emisi, kita ingin betul-betul ada peran Perhutani,” katanya.

Menurut Pahala, saat ini Indonesia memiliki dua proyek terverifikasi melindungi hutan gambut di Kalimantan, yaitu Rimba Raya Biodiversity Reserve dan Katingan Mentaya Project. Kedua proyek ini menyerap emisi CO2 sebesar 12 juta ton per tahun berdasarkan Verified Carbon Standard (VCS).

Perhutani, kata Pahala, akan mengikuti langkah tersebut. Perhutani akan menjual karbon offset atau serapan karbon dari tanaman, kepada BUMN penghasil emisi yang besar untuk membangun pelestarian lingkungan.

Pahala menghitung IRR atau internal rate of return dari penjualan karbon di lahan Perhutani antara 16-67%, dengan asumsi pajak karbon Rp 30.000 per ton CO2. Pada 20 Juni 2022 lalu, Perhutani telah meneken head of agreement (HoA) dengan Pertamina Power Indonesia.

Perhutani dan PT Perkebunan Nasional (PTPN) saat ini memegang 67 izin konsesi hutan yang sedang dipertimbangkan untuk proyek solusi berbasis alam (NBS) dengan total wilayah 3,6 juta hektare. Berdasarkan kajian pra kelayakan, kata Pahala, ada sembilan konsesi yang berpotensi menghasilkan kredit karbon 6-11,5 juta ton per tahun dengan proyeksi IRR 7-65%.

Dalam aspek ekonomi hijau, Perhutani juga tengah menyiapkan berkolaborasi dengan PLN untuk menyediakan biomassa sebagai co-firing (pencampuran) sebagai alternatif energi pengganti batu bara.

Pada 1 Maret lalu, Perhutani telah meneken perjanjian kerja sama untuk memasok biomassa selama setahun untuk PLN, tepatnya untuk mengganti bahan bakar energi untuk PLTU Rembang 2 x 35 megawatt di Jawa Tengah dan PLTU Pelabuhan Ratu 3 x 350 megawatt di Jawa Barat.

Perhutani akan memasok biomassa sebanyak 11.500 ton per tahun untuk PLTU Pelabuhan Ratu dan 14.300 ton per tahun untuk PLTU Rembang. Biomassa itu bisa bersumber dari kaliandra untuk kayu, tandan kosong kelapa sawit dan sekam. Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH), unit kerja di bawah divisi regional provinsi, akan menjadi pemasok biomassa bagi PLTU di sekitar wilayahnya.

PLTU Rembang, misalnya, mendapat pasokan biomassa dari KPH Pati, KPH Blora, KPH Mentingan, KPH Jatirogo dan KPH Cepu. Sementara PLTU Pelabuhan Ratu mendapat pasokan biomassa dari KPH Sukabumi. “Biomassa untuk co-firing ini sangat penting untuk mencapai target penurunan emisi atau NDC 29 persen pada 2030 atau net zero 2060,” kata Pahala. Kawasan hutan Perhutani di Jawa diperkirakan bisa memasok biomassa kepada 16 PLTU dengan nilai sebanyak 14.465 megawatt.

Ada juga program kemitraan tanaman pangan Perhutani. Di sini, Pahala menekankan pentingnya peran off taker untuk pengembangan tanaman pangan. Saat ini program telah melibatkan 5.396 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan 137 Koperasi aktif.

Perhutani juga sedang mendorong hutan pariwisata. Nilai potensi ekonomi, dalam hitungan Pahala, bisa mencapai Rp 300 miliar dari 30 titik ekowisata. “Inisiatif digitalisasi perlu dilakukan," kata Pahala. "Jumlah destinasi objek wisata yang dikelola Perhutani sangat besar, sebanyak 843 destinasi."

Pahala mengatakan bahwa fungsi BUMN kehutanan bukan sekadar membagikan deviden ke negara tetapi melestarikan alam, termasuk mendorong pencapaian target NDC emisi nol pada 2060 dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain