Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 17 Desember 2025

Eksperimen Ekonomi Pemanfaatan Hutan Indonesia

Indonesia mengalami beberapa era pemanfaatan hutan. Dari ekstraktif hingga perdagangan karbon.

Hutan sebagai sistem pendukung kehidupan

SEJAK merdeka, pemerintah membuat beberapa eksperimen pemanfaatan hutan Indonesia. Beberapa periode itu:

Era Industri Ekstraktif

Hutan alam Dipterocarpaceae (Meranti sp) membentang luas di pulau Sumatera dan Kalimantan. Permintaan akan kayu meranti di pasar internasional cukup tinggi. Pemerintahan Orde Baru memanfaatkan bonanza kayu itu selama tiga dekade dimanfaatkan sebagai penggerak roda pembangunan, dan  merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi.

Akibatnya hutan alam dieksploitasi habis-habisan untuk diekspor kayunya dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan). Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan) baik asing maupun domestik terus bertambah.

Pada 2000, jumlah HPH naik menjadi 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare. Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi US$ 9 miliar per tahun terhadap pendapatan nasional. 

Ekses yang timbul dari izin HPH yang tidak terkendali ini antara lain adalah tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut menjadi konsesi HPH. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) tidak dipatuhi di lapangan karena pengawasan aparat kehutanan setempat lemah. Kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik.

Ekstraksi hutan secara masif yang semula difokuskan untuk menjadi penghasil devisa negara telah menyisakan kerusakan hutan alam di Indonesia. Menurut FAO (1990), laju deforestasi dalam periode 1970-1975 dan 1981-1985 berkisar antara 550 ribu sampai 600 ribu hektare setiap tahun.

Dalam rentang 1982-1990, FAO juga mencatat angka deforestasi sebesar 1,5 juta hektare per tahun. Di sisi lain, industri kehutanan, terutama kayu gergajian, kayu lapis dan pulp, semakin berkembang pasca pemberlakuan larangan ekspor kayu bulat. Dalam situasi tersebut, dimulailah pengembangan hutan tanaman pada era 1990-an.

Pembangunan hutan tanaman diarahkan sebagai sebuah revitalisasi kehutanan yang bermata ganda yakni sebagai rehabilitasi kawasan hutan yang terdegradasi dan pemenuhan bahan baku industri kehutanan. Awal pengembangan hutan tanaman dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 7/1990 tentang hak pengelolaan hutan tanaman industri (HTI).

Areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak produktif. Meskipun konsesi HTI hanya diberikan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif, namun dalam praktiknya sering kali terjadi penerbitan HPHTI terjadi pada lahan hutan yang produktif. 

Berdasarkan studi kelayakan perusahaan HTI pada 1998, terdapat 22 persen lahan yang dikelola sebagai HTI merupakan hutan alam yang produktif. Selain itu, lebih dari 2,7 juta hektare konsesi HPH telah dikonversi menjadi HTI. 

Dengan bergantinya rezim Orde Baru pada 1998, kejayaan kayu pun ikut pudar. Akibat, pengelolaan hutan tak memakai kaidah kelestarian, bencana ekologis timbul. Kebakaran hutan dan lahan khususnya dari bekas hutan gambut yang menghasilkan bencana asap, selalu muncul setiap tahun memasuki musim kemarau seperti sekarang.

Era Ekonomi Karbon

Sebelum Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon terbit, regulasi perdagangan karbon belum diatur secara eksplisit, meskipun praktik perdagangan karbon telah dilakukan secara parsial baik secara antar negara yang dibungkus dalam kerja sama, misalnya, antara Indonesia dengan Norwegia pada 2010, atau pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL) dengan perusahaan lain di luar negeri atau masyarakat yang dibantu LSM/NGO dengan perusahaan lain di luar negeri. 

Perdagangan karbon mulai ditata melalui mekanisme bursa karbon dan atau perdagangan langsung. Pemerintah Indonesia telah membangun Bursa Karbon melalui PT Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon yang diresmikan  oleh Presiden Joko Widodo pada 26 September 2023.

Sayangnya, perdagangan karbon agaknya manis di atas kertas saja. Hingga 22 Agustus 2025, nilai transaksi karbon IDXCarbon hanya Rp 78,37 miliar, jauh di atas perhitungan potensi awal Rp 1.600 triliun.

Setahun kemudian, Perpres 98/2021 diganti dengan Perpres 110/2025 yang lebih komprehensif dan mengakomodasi mekanisme perdagangan karbon yang lebih progresif. Kementerian Lingkungan Hidup sudah melakukan kesepakatan dengan sejumlah mitra global. Dalam COP30 di Brasil, pemerintah menawarkan proyek karbon senilai Rp 16 triliun.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan perdagangan karbon sektor kehutanan akan segera diresmikan sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim dan percepatan ekonomi hijau. Pada tahap awal, perdagangan karbon ini mencakup skema pengelolaan hutan oleh swasta (Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan/PBPH) dan perhutanan sosial.

Potensi penyerapan karbon PBPH sebesar 20-58 ton CO2 per hektare dengan harga US$ 5-10 per ton CO2. Sementara itu, perhutanan sosial berpotensi menyerap hingga 100 ton CO2 per hektare dengan harga mencapai 30 Euro per ton.

Potensi perdagangan karbon dari sektor ini pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 26,5 juta ton CO2, dengan nilai transaksi berkisar Rp 1,6-3,2 triliun per tahun. Angka ini jauh di bawah target karbon negatif dalam FOLU net sink sebesar 190 juta ton. Jika dioptimalkan hingga 2034, potensi tersebut diproyeksikan meningkat signifikan, mencapai Rp 97,9 triliun hingga Rp 258,7 triliun per tahun.

Dari potensi tersebut, kontribusi pajak diprediksi mencapai Rp 23 triliun hingga Rp60 triliun, sementara Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditaksir mencapai Rp 9,7 triliun hingga Rp 25,8 triliun per tahun. Selain manfaat ekonomi, program ini berpotensi menciptakan 170 ribu lapangan kerja di berbagai lokasi proyek karbon.

Secara matematis potensi perdagangan karbon Indonesia yang akan dijual ditingkat global cukup tersedia. Mampukah kita memanfaatkan potensi ini dalam pemanfaatan hutan seraya menjaganya agar hutan menjadi pelindung kita.

Ikuti percakapan tentang manajemen hutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain