Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 14 Juni 2024

Profesor Hariadi Kartodihardjo: Guru Kita Semua, Murid Kita Semua

Kenangan tentang Profesor Hariadi Kartodihardjo. Ia ilmuwan yang tak pelit berbagi pengetahuan.

Hariadi Kartodihardjo (Foto: Tempo)

TELAH sepekan lewat Profesor Hariadi Kartodihardjo meninggalkan kita. Pada 2 Juni 2024 subuh, guru besar kebijakan kehutanan IPB University ini wafat di usia 66. Bagi saya, sosok yang bersahaja ini mentor semua aktivis lingkungan. Ia guru bagi semua orang, tempat mencurahkan hati berbagai masalah lingkungan dan kehutanan. Namun, ia tak semata itu. Ia adalah tambatan soal kemanusiaan.

Kami, para aktivis lingkungan, acap memanggil beliau Profesor Haka atau Pak Haka, lafal pengucapan dari akronim namanya. Ketika saya masif aktif di Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) pada 1997-2004, kami semua menjulukinya sebagai “Bapak Tata Kelola”. Dari dia, kami memahami bahwa urusan lingkungan yang ruwet dan rusak ini berakar pada kekacauan tata kelola yang buruk.

Di masa itu lahir Tap MPR Nomor IX. Desakan para aktivis yang telah mendapatkan pemahaman dari diskusi-diskusi dengan Pak Haka dan para mentor lain, melahirkan kebijakan-kebijakan turunan sebagai terobosan meningkatkan kapasitas birokrasi dan komunitas.

Saat tsunami Aceh pada 2004, Pak Haka meminta saya beberapa kawan membuat draf naskah akademis yang akan diajukan sebagai bahan untuk membuat Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Ia memandu kami menyusun naskah akademis yang mudah dipahami sekaligus “memprovokasi” perspektif yang benar dari sudut pandang perlindungan lingkungan. Berhari-hari kami menyusun draf itu di rumahnya di Darmaga hingga masuk ke Komisi VIII dan kemudian menjadi undang-undang.

Namun, dari hari ke hari perlindungan lingkungan makin terkoyak. Lingkungan makin rusak akibat tak seimbangnya eksploitasi dan proteksinya. Dalam banyak kesempatan, Pak Haka selalu mengingatkan agar kami tetap berpikir jernih meski keadaan memburuk dan terjepit. Ia selalu percaya hal-hal baik pada saatnya akan tampil, kebenaran-kebenaran ilmiah akan menemukan jalannya sendiri, seraya terus diperjuangkan.

Pak Haka yang saya kenal adalah guru yang “entengan” berbagi ilmu dan pengetahuan. Prasangka baiknya pada apa saja membuat kami tak segan berdikusi meski kami tahu pengetahuannya jauh melebihi yang lain. Ia tak sungkan bertanya jika ada pengetahuan baru dari lawan bicaranya. Ia telah menjadi guru sekaligus murid bagi siapa saja.

Jika ia ke lapangan dalam rangka meneliti, Pak Haka juga tak segan mendengarkan informasi apa saja dari siapa saja. Dari keterbukaan pikiran itu, ia merumuskan perspektif sehingga sudut pandangnya acap tak terduga. Dengan begitu ia bisa mengajukan solusi yang mungkin atas sebuah problem. Rumusannya membuat siapa saja yang mendengar cerita dan pengalamannya akan mendapatkan perspektif yang baru.

Karena itu ciri utama pikiran-pikiran Pak Haka adalah keberpihakannya kepada mereka yang lemah dan tersisih. Bagi dia, kemiskinan tak terjadi karena nasib, tapi karena ketimpangan dan implementasi regulasi yang tak adil. Dengan dasar pemikiran itu, kritiknya pada regulasi dan kebijakan selalu menyasar pada hal-hal yang administratif. Bagi Pak Haka, administrasi acap jadi sumber ketidakadilan itu. 

Sebab yang administratif kerap tak memperhitungkan apa yang terjadi di lapangan. Padahal, fakta lapangan itulah yang seharusnya menjadi dasar regulasi sebagai solusi membereskan problem-problem yang dihadapi masyarakat. Tak heran jika ia selalu menganjurkan agar naskah-naskah akademik ditulis ulang dalam bahasa sederhana dan populer, bahkan ditulis dalam bahasa daerah tempat penelitian sehingga bisa diakses oleh masyarakat yang menjadi objek studi.

Dengan begitu, problem yang dirumuskan para peneliti dan solusi yang mereka tawarkan bisa diimplementasikan oleh masyarakat di lokasi-lokasi penelitian. Pak Haka acap menganjurkan para peneliti tak cukup berpuas diri jika hasil studinya dimuat dalam jurnal terindeks Scopus. Studi yang berguna justru jika bisa diimplementasikan di masyarakat.

Selamat jalan Pak Haka. Sampai jumpa.

Ikuti percakapan tentang tata kelola di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Ketua Divisi Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Pengurus Pusat 'Aisyiyah

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain