Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 Agustus 2023

Perdagangan Satwa Mengancam 900 Spesies Hampir Punah

Perdagangan satwa dan tumbuhan mengancam flora dan fauna yang hampir punah.

Banyak spesies terancam punah yang masih diperdagangkan (foto: BBC)

FLORA dan fauna makin banyak yang terancam punah. Selain sebab alamiah, jumlah spesies satwa dan tumbuhan itu juga kian menipis karena perdagangan satwa dan tumbuhan.

Studi di Nature Ecology and Evolution menyebutkan lebih dari 904 spesies flora dan fauna tidak memiliki perlindungan dari perdagangan. Mereka masih diperdagangan, secara legal maupun ilegal, dengan status mereka yang terancam punah atau masih banyak karena statusnya belum dikelompokkan ke dalam kepunahan.

Para ahli ekologi dan perdagangan satwa liar dari University of Oxford, International Union for Conservation of Nature (IUCN), United Nations Programme’s World Conservation Monitoring Center (UNEP-WCMC), dan the Zoological Society of London mengidentifikasi gap dengan membandingkan data yang ada di daftar merah IUCN dan daftar spesies dilindungi di Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) (Baca: Beda IUCN dan CITES). 

Idealnya, spesies berstatus terancam punah yang ditetapkan IUCN masuk daftar larangan perdagangan CITES. Faktanya, dua perlima dari spesies yang dianggap beresiko punah akibat perdagangan internasional tidak tercakup dalam daftar CITES.

Dari 38.245 spesies terancam punah, 5% di antaranya, atau 2.211 spesies, terancam punah akibat perdagangan internasional. Dari 2,211 spesies tersebut, hampir setengahnya, atau 1.041 spesies, memiliki status konservasi critically endangered dan endangered. Namun, dari 2.211 spesies terancam punah tersebut, hanya 59%-nya atau 1.307 spesies, yang terdaftar dalam CITES.

Artinya, ada 904 spesies terancam punah yang tidak diatur perdagangannya oleh CITES dan terancam keberadaannya oleh perdagangan flora dan fauna. Lebih dari 20% merupakan jenis tumbuhan dari kelas Magnoliopsida dan Dipterocarpaceae. Sebanyak 25% merupakan kelas Actinopterygii atau ikan bersirip kipas. Sedangkan sisanya merupakan jenis ikan bertulang rawan (89 spesies), burung (63 spesies), reptil (61 spesies), dan amfibi (55 spesies).

Studi ini juga membandingkan data yang ada di IUCN dan CITES sebagai bahan bagi pembuat kebijakan memitigasi kepunahan satwa dan tanaman. Para peneliti yang tergabung dalam studi ini juga menyarankan CITES untuk mempertimbangkan temuan yang ada dalam studi ini dan memperkuat perlindungan untuk spesies terabaikan.

Dalam hal perdagangan satwa liar, Indonesia telah mengekspor 7,7 juta satwa liar hidup sejak 1975. Hal ini membuat Indonesia ada di peringkat 9 dari 80 negara terkait volume perdagangan satwa liar.

Sekalipun legal, perdagangan satwa liar berdampak pada kepunahan spesies. Perdagangan satwa legal seringkali menjadi kamuflase untuk menutupi perdagangan satwa ilegal, khususnya bagi spesies terancam punah yang dilindungi.

Mneuurut UNDP, perdagangan ilegal flora dan fauna merupakan bentuk kejahatan perdagangan kedua paling tinggi setelah narkoba. Perdagangan ilegal flora dan fauna bernilai hingga US$ 23 miliar per tahun. Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar perdagangan flora dan fauna liar dengan nilai transaksi US$ 1 miliar per tahun.

Sementara data WWF Indonesia menunjukkan Indonesia banyak mengekspor bagian dari satwa liar dilindungi sejak lama. Ratusan orang utan yang diselundupkan ke luar negeri setiap tahunnya. Ribuan kukang dan trenggiling dijual ilegal ke luar negeri setiap tahunnya. Belum lagi soal telur penyu, kulit harimau, dan banyak lagi.

Sejatinya, baik di Indonesia ataupun global, sudah ada aturan yang melarang keras perdagangan satwa liar dilindungi. Namun, penegakan hukum dan pengawasan yang lemah menjadi penghambat dan celah bagi para oknum untuk merauk keuntungan dari perdagangan satwa liar ini.

Ikuti percakapan tentang perdagangan satwa liar di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain