Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 16 Juni 2022

Anggaran FOLU Net Sink

FOLU Net Sink membutuhkan biaya Rp 204 triliun. Untuk apa saja?

Tutupan hutan di Jambi sebagai penyerap karbon dalam mencapai net-zero emission (Foto: Asep Ayat/FD)

KRISIS iklim akan dicegah dengan menurunkan emisi karbon sekaligus menyerapnya. Sebab pemanasan global terjadi ketika emisi dari bumi, akibat aktivitas manusia, tak terserap lalu menguap ke atmosfer menjadi gas rumah kaca. Hari ini, konsentrasi gas rumah kaca mencetak rekor baru sebesar 420,99 part per million, menurut catatan Manua Loa Observatory di Hawaii. Sumber utamanya pembakaran energi fosil yang menyumbang 40% gas rumah kaca.

Untuk mencegah bencana iklim, konsentrasi gas rumah kaca harus diturunkan menjadi 25 miliar ton setahun atau 45% dari produksi emisi tahunan sekarang. Sayangnya, target seluruh negara dalam dokumen nationally determined contribution (NDC) ke PBB hanya bisa menurunkan emisi 25%. 

Di Indonesia, mitigasi krisis iklim akan bertumpu pada lima sektor: energi, kehutanan dan penggunaan lahan, pertanian, limbah, dan proses industri. Untuk menurunkan emisi di semua sektor itu, pemerintah membutuhkan biaya hingga Rp 3.779 triliun hingga 2030.

Biaya itu untuk menurunkan emisi sebanyak 29% dari prediksi emisi pada tahun itu sebanyak 2,87 miliar ton setara CO2. Sektor energi membutuhkan biaya paling besar, meski penurunan emisinya tak lebih banyak dibanding sektor kehutanan karena energi membutuhkan perubahan teknologi yang mahal.

Jika sektor energi mengandalkan energi baru dan terbarukan, sektor kehutanan mengandalkan pada FOLU net sink atau emisi negatif sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Menurut perhitungan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, biaya yang dibutuhkan menurunkan 17,4% emisi sektor kehutanan sebesar Rp 192 triliun.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan punya hitungan berbeda. Penurunan emisi 17,4% setara dengan 140 juta ton emisi karbon setara CO2. Menurut Istanto, Direktur Bina Usaha Pemanfaatan Hutan, FOLU net sink membutuhkan biaya hingga Rp 204 triliun. “Cukup besar dari cukup berat,” katanya dalam webinar Menjaga Hutan, Menjaga Indonesia oleh Forest Digest dan Yayasan Madani Berkelanjutan pada 16 Juni 2022.

Pemerintah akan menanggung 45% anggarannya. Sisanya adalah peran dunia usaha. Ada empat sumber pembiayaan pemerintah sebagai sumber pembiayaan FOLU net sink: obligasi hijau (green sukuk) dan pasar karbon domestik, transfer anggaran, pendapatan asli daerah, dan pengurangan deforestasi dan degradasi lahan (REDD+ dan perdagangan karbon melalui skema result based payment).

Biaya FOLU net sink

Sementara dari swasta akan mengandalkan multiusaha kehutanan. Para pemilik konsesi hutan diizinkan mengembangkan komoditas selain kayu, seperti jasa lingkungan. Karena itu perdagangan karbon menjadi instrumen utama sebagai insentif bagi dunia usaha turut serta dalam program FOLU net sink.

PT Rimba Makmur Utama, misalnya, mengembangkan perdagangan karbon dari 157.000 hektare konsesi gambut di Kalimantan Tengah. Mereka menjaga konsesi hutan agar memiliki penyerapan karbon tinggi sehingga jasanya bisa dijual kepada produsen emisi. “Bisnis kehutanan sekarang tak lagi mengandalkan komoditas kayu,” kata Dharsono Hartono, CEO PT RMU.

Sebagai bisnis baru, perdagangan karbon sebetulnya banyak yang meminatinya. Namun, kebijakannya yang tak kunjung bulat membuat investor masih menunggu. Menurut guru besar Fakultas Kehutanan IPB Dodik Ridho Nurrochmat, kebijakan nilai ekonomi karbon masih kisruh antar prinsip dan teknisnya.

Prinsip itu menyangkut standar perdagangan karbon, sementara teknis menyangkut perdagangannya. Menurut Dodik, pemerintah masih maju-mundur dalam merumuskan kebijakan perdagangan karbon akibat antar sektor belum kompak menyepakati prinsipnya dan masih mengacu pada perdagangan internasional. “Kalau seperti ini, pemodal tak akan masuk,” katanya.

Semestinya, kata Dodik, pemerintah memisahkan regulasi perdagangan karbon domestik dan perdagangan karbon internasional. Perdagangan karbon domestik bisa difokuskan untuk memenuhi NDC dan internasional untuk pasar sukarela.

Sama seperti perdagangan karbon, praktik multiusaha kehutanan juga tak kunjung jalan meski pelbagai praktik dalam skala studi sudah menunjukkan keberhasilan. “Multiusaha ini masih jadi pemanasan,” kata Dodik. Para pelaku bisnis belum mempraktikkannya dalam skala ekonomi usaha.

Penyebabnya adalah kejelasan pasar, menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi Soeprihanto. Bagi investor, kata dia, mereka akan masuk ke multiusaha atau perdagangan karbon jika produk dan pasarnya jelas. “Bagi investor yang terpenting adalah bisa mengembalikan investasi,” kata dia. 

Walhasil, peran swasta untuk turut serta menurunkan emisi melalui FOLU net sink masih belum terlihat. Padahal, mitigasi penurunan emisi sudah harus dimulai tahun ini. 

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Translated by  

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain