Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 16 Oktober 2021

Suara Masyarakat dalam Wisata Premium Komodo

Pembangunan wisata premium komodo terus menuai protes. Suara masyarakat NTT untuk Jokowi.

Komodo di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (Foto: Dok. FD)

PRESIDEN Joko Widodo berkunjung ke Nusa Tenggara Timur untuk melihat progres pembangunan wisata premium komodo pada 14 Oktober 2021. Menyambut kedatangan itu masyarakat NTT menyampaikan kritik.

Meski gagal bertemu Presiden Jokowi di Labuan Bajo, perwakilan masyarakat menitipkan beberapa hal melalui Kapten Aditia, Sekretariat Kepresidenan. Menurut Venanius Haryanto, anggota Forum Masyarakat dan pegiat lingkungan serta pelaku pariwisata Flores, ada tiga kritik yang mereka sampaikan kepada Jokowi:

Pertama, model pengembangan pariwisata premium bahkan superpremium di dalam Taman Nasional Komodo yang mengabaikan keberadaan kawasan itu sebagai tempat perlindungan alami bagi satwa, terutama komodo, dan ruang hidup warga setempat.

Mereka menentang keras pemberian konsesi bisnis wisata kepada sejumlah perusahaan seperti PT Sagara Komodo Lestari seluas 22,1 hektare di Pulau Rinca, PT Komodo Wildlife Ecotourism 274,13 hektare di Pulau Padar dan 151,94 di Pulau Komodo, serta PT Synergindo Niagatama di 17 hektare di Pulau Tatawa.

Kedua, masyarakat meminta perhatian serius Presiden menindaklanjuti peringatan dari UNESCO pada Juli 2021 yang menyatakan bahwa pembangunan bisnis pariwisata di Taman Nasional Komodo mengancam nilai universal luar biasa (outstanding universal values) dari kawasan Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia dan Cagar Alam dan Budaya (men and bioshpere reserve).

Selain, masyarakat juga menyampaikan status komodo oleh itu Unit Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), yang menaikkan status ancaman kepunahan Komodo krisis iklim dan aktivitas manusia. Masyarakat meminta Presiden mengevaluasi keseluruhan pembangunan pariwisata superpremium di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan melakukan meningkatkan upaya konservasi yang lebih jelas dan sistematis.

Ketiga, masyarakat mengkritisi keputusan Presiden 32/2018 yang akan mengalihfungsikan lahan seluas 400 hektare hutan Bowosie di Puncak Labuan Bajo-Flores menjadi kawasan bisnis wisata. Menurut Venanius, hutan itu memiliki fungsi ekologis penting bagi kota dan kampung-kampung di sekitarnya.

Alih fungsi hutan, kata Venanius, akan membuat wilayah ini semakin rentan terhadap bencana. Selain itu, ada konflik agraria dengan masyarakat setempat.

Atas dasar itu, masyarakat mendesak Presiden Jokowi untuk menghentikan alih fungsi hutan Bowosie; mencabut Perpres 32/2018 terutama pasal 2 dan 25, serta kebijakan turunannya; dan segera menyelesaikan secara berkeadilan konflik agraria dengan warga setempat.

Melengkapi keterangan tersebut, Venanius menegaskan bahwa yang dibutuhkan oleh masyarakat bukan proyek pariwisata super premium karena fasilitas turisme ini tidak menjawab apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Masyarakat, kata dia, lebih berharap jika pembangunan dilakukan di luar kawasan taman nasional. “Sebab mempersempit ruang hidup masyarakat yang tinggal sudah lama di dalam kawasan taman nasional,” kata Venan.

Menurut dia, pengelolaan pariwisata seharusnya berbasis komunitas masyarakat dikarenakan mereka sudah mengorbankan seluruh tanah ulayat saat penetapan kawasan pulau Komodo menjadi taman nasional pada tahun 1992. “Masyarakat menjadi tidak bisa bertani, menangkap ikan. Tapi itu mereka sudah merelakan. Kini, penghasilan satu-satunya dari wisata akan diambil oleh investor,” kata Venan.

Venan memberi gambaran, jika investor membangun resor atau usaha lainnya di dalam kawasan taman nasional, usaha yang dibangun masyarakat akan mati perlahan, begitu pun dengan kehidupan komodo. Ia memberi bukti bahwa ratusan tahun masyarakat bisa hidup berdampingan dengan komodo tanpa ada konflik. “Pembangunan pariwisata premium Komodo lebih banyak membawa mudarat,” kata dia.

Pada 2019, Presiden Jokowi berjanji akan menghitung beban lingkungan dalam pembangunan wisata premium komodo. Ia meminta anak buahnya tak mengorbankan konservasi komodo karena pembangunan fasilitas turisme. "Ini wisata premium," kata dia. "Yang tak bisa membayar tak bisa masuk."

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain