Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 31 Juli 2021

Multiusaha Kehutanan Makin Menjanjikan

Pemerintah mengubah arah baru bisnis kehutanan dengan multiusaha kehutanan. Bakal ada lima jenis bisnis kehutanan ke depan.

Hutan di sekitar situ Cisanti yang menjadi hulu daerah aliran sungai (DAS) Citarum di Jawa Barat (Foto: Rifqy Fauzan/FD)

UNDANG-Undang (UU) Cipta Kerja mengubah lanskap pengelolaan hutan semakin jelas. Paradigma baru dalam bisnis kehutanan kini adalah multiusaha kehutanan: konsesi atau areal hutan tak hanya untuk pemanfaatan kayu, melainkan seluruh komoditas hutan yang ada di dalamnya.

Agaknya pemerintah makin sadar bahwa kayu bukan lagi industri yang menjanjikan. Manajemen hutan kayu selama lebih dari 40 tahun menghasilkan degradasi hutan yang serius karena penebangan pohon tak diikuti reforestasinya. Kita hanya mengambil kayu tanpa mau melestarikan hutannya.

Secara aturan bisnis multiusaha kehutanan termaktub dalam Peraturan Pemerintah 23/2021, sebagai turunan UU Cipta Kerja. Regulasi tersebut mengatur Kegiatan multiusaha kehutanan antara lain kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu, serta pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Menurut Agus Justianto, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, multi usaha kehutanan bisa memenuhi lima pilar dalam pengelolaan hutan lestari. Lima pilar manajemen hutan lestari adalah kepastian kawasan hutan, jaminan berusaha, produktivitas, diversifikasi produk, dan daya saing. 

“Lima pilar ini bisa meningkatkan pendapatan negara bukan pajak, menaikkan nilai ekspor, menggairahkan pasar domestik, sekaligus mitigasi perubahan iklim,” kata Agus dalam webinar Multiusaha Kehutanan dalam Pembangunan Nasional pada 29 Juli 2021.

Untuk mewujudkannya, kata Agus, pemerintah mengalokasikan area pemanfaatan hutan untuk perizinan multiusaha. Sesuai Peta Arahan Pemanfaatan Hutan untuk Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Tahun 2021, perizinan multiusaha kehutanan ada pada area hutan produksi/hutan produksi tetap yang berada di luar Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).

Areal tersebut seluas 7,33 juta hektare dengan pembagian 3,65 juta hektare dalam wilayah Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) yang disahkan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) dan 3,68 juta hektare dalam KPH yang rencana pengelolaan hutan jangka panjangnya belum sah. “Dalam memberikan perizinan multiusaha kehutanan, kami membuat tahapan beberapa perubahan pola,” kata Agus. 

Perubahan-perubahan itu, antara lain, pola perencanaan kegiatan, perubahan pola penyusunan dokumen perencanaan, perubahan pola pelaksanaan kegiatan, perubahan pola evaluasi kerja, dan perubahan pola sertifikasi PHPL sebagai respons dari konsekuensi diterapkannya multiusaha kehutanan. Setelah itu, sebagai fase akhir, tahapan rancangan peraturan menteri.

Merespons semangat pemerintah dalam membuat multiusaha kehutanan, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Ahmad Maryudi, menilai ada yang harus diperhatikan sebelum menerapkan multiusaha kehutanan. “Hutan harus dipandang sebagai penyangga kehidupan terlebih dahulu, tidak terfokus hanya tiga fungsi pokok menurut undang-undang saja,” kata dia.

Sebab, jika tak melihat hutan sebagai penyangga mahluk hidup, implikasinya cukup besar. Hutan dianggap bernilai dalam setiap jengkal sehingga pengelolaan hutan menjadi multifungsi baik sosial, ekonomi, dan ekologi tidak terkotak-kotak menurut fungsi pokok kawasan hutannya.

Ahmad menambahkan multifungsi kehutanan sudah menjadi tren di berbagai negara. Jerman, Norwegia, Kanada, Swedia, Finlandia, dan Amerika sudah menerapkannya. Tren ini mendorong memberikan beragam kemanfaatan hutan baik di level lokal maupun global.

Menurut dia, multiusaha kehutanan merupakan salah satu pilar untuk mendorong pengelolaan hutan multifungsi. Akan tetapi, hal tersebut tergantung dari pilihan produk dan pilihan rezim tata kelolanya. “Jika kita masih memandang pengelolaan hutan hanya kayu dan pilihan rezimnya masih ekstraktif dan eksploitasi, ini jauh dari pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.

Iman Santoso, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), menjelaskan bahwa dengan total luas kawasan hutan 120,6 juta hektare, kontribusi sektor kehutanan hanya 0,63%. Alasan tersebut karena sumber daya hutan Indonesia baru dimanfaatkan 5%. “Itu pun dalam bentuk hasil hutan kayu,” kata dia. “Sebanyak 95% lagi belum dimanfaatkan dan dikelola secara terencana.”

Penerapan multiusaha kehutanan pun, kata Iman, akan membuka peluang bisnis baru. Menurut dia akan ada lima skema bisnis baru akibat kebijakan multiusaha, yaitu industri berbasis hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan biospecting, agroforestri, jasa lingkungan, serta energi biomassa dan energi terbarukan. APHI sudah memproyeksikan lima jenis bisnis baru ini dalam peta jalan bisnis kehutanan 2019-2045.

Dalam peta jalan itu, nilai bisnis kayu akan mencapai US$ 101,7 juta pada 2045, sementara nonkayu mencapai US$ 26,2 juta, dan ekowisata US$ 4,2 Juta. Ketiga sektor tersebut jika diakumulasikan akan menyumbang kontribusi sebesar US$ 132,3 juta. “Sudah saatnya bisnis kehutanan memasuki era multiusaha kehutanan,” kata Iman.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain