Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 13 Februari 2024

Ekidna Moncong Panjang Muncul Kembali di Papua Setelah 62 Tahun Menghilang

Ekidna moncong panjang kembali terlihat. Sempat dikira punah karena terakhir kali terlihat pada 1961.

Ekidna moncong panjang tertangkap kamera jebak (foto: Ekspedisi Cycloop)

DI antara spesies mamalia petelur, mungkin kita lebih mengenal platypus dibanding ekidna. Padahal, platypus bukanlah hewan asli Indonesia, sedangkan ekidna adalah hewan asli Indonesia, khususnya ekidna moncong panjang Sir David Attenborough, atau Zaglossus attenboroughi yang hanya ada di Papua.

Ekidna hewan yang yang unik. Tubuhnya berduri seperti landak, moncongnya panjang seperti tenggiling, dan kakinya seperti tahi lalat. Namun, ekidna bukan segolongan dengan hewan itu semua. Ia sudah lama tak terlihat di hutan Papua. 

Peneliti memperkirakan ekidna sudah punah karena tak pernah terlihat selama lebih dari 62 tahun. Sampai akhirnya sosoknya berhasil tertangkap kamera jebak pada Juli 2023. Ini pertama kalinya Z. attenboroughi terfoto dalam keadaan hidup dan pertama kalinya terlihat kembali sejak 1961.

Sosok ekidna moncong panjang tersebut terlihat berkeliaran di Pegunungan Cycloop, Papua. Demi keselamatannya, peneliti merahasiakan detail lokasi penemuannya. Dilihat dari statusnya, ekidna moncong panjang merupakan satwa yang terancam punah. Bahkan sebagian orang berpendapat ekidna moncong panjang telah punah.

Pada di tahun 1940-an, penduduk Papiua sering melihat mereka berkeliaran. Sosok ekidna baru bisa diketahui dari satu spesimen yang ditemukan oleh botanis Belanda, Pieter van Royen, pada 1961 di Pegunungan Cycloop.

Ekidna moncong panjang Sir David Attenborough bertubuh kecil, ditumbuhi rambut kasar, dan duri. Umumnya ekidna dewasa punya panjang tubuh antara 30-55 sentimeter, panjang ekor 7-9 sentimeter, dan berat tubuh 3-6 kilogram. Biasanya jantan lebih berat dibanding betina. Ekidna bukan hewan sosial, ia lebih sering menyendiri (soliter) dan aktif bergerak mencari makanan pada malam (nokturnal). 

Seperti namanya, ekidna moncong panjang memiliki moncong yang panjang. Moncong ini membantunya mengendus bau makanan dan menghindari predator. Moncong juga membantu ekidna untuk menangkap rayap atau serangga yang ada di sela-sela kayu atau tanah, dibantu lidahnya yang lengket dan cukup panjang.

Yang paling unik dari ekidna adalah cara berkembang biaknya. Tak seperti mamalia lain yang melahirkan, ekidna berkembang biak dengan bertelur. Ekidna betina akan menelurkan satu butir telur berbulu bercangkang lunak. Dua puluh hari setelah pembuahan, telur tersebut akan keluar dan ekidna akan meletakkan telurnya di dalam kantung tubuhnya. Sepuluh hari kemudian, telur itu akan menetas.

Ekidna diperkirakan telah hidup di Papua sejak 160 juta tahun lalu. Ekidna moncong panjang Sir David Attenborough bukanlah satu-satunya spesies ekidna di tanah Papua. Terdapat 3 spesies lainnya, yakni ekidna moncong pendek (Tachyglossus aculeatus) yang hidup di Papua dan Papua Nugini. Ekidna moncong panjang barat (Zaglossus bruijini) yang hidup di Salawati, Waigeo, dan Batanta. Lalu ekidna moncong panjang timur (Zaglossus bartoni) yang hidup di Papua dan Papua Nugini.

Bagi masyarakat setempat, ekidna memiliki banyak representasi. Bagi warga kampung Ormu Wari, ekidna dianggap sebagai hewan keramat. Konon, anjing paling jago berburu takut jika bertemu dengan ekidna. Karena itu, masyarakat menganggapnya sebagai hewan yang dihormati layaknya raja di hutan.

Bagi warga Dormena, ekidna disimbolkan sebagai bentuk perdamaian antara dua pihak yang berkonflik. Sementara di Wambena, mencari ekidna menjadi hukuman bagi mereka yang bersalah. Secara tak langsung, hal tersebut mengusir si bersalah, karena ekidna adalah hewan yang sulit ditemukan dan ditangkap.

Pranata adat punya peran penting menjaga ekidna dan spesies lain yang menghuni Pegunungan Cycloop.

Ikuti percakapan tentang satwa langka di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain