Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 14 Maret 2023

Krisis Iklim Memicu Konflik Satwa Liar dan Manusia

Konflik satwa dan manusia terpicu oleh krisis iklim. Mengapa?

Konflik manusia-satwa liar terus meningkat imbas dari perubahan iklim (Foto: dokumentasi KLHK)

DARI gajah Sumatera yang masuk ladang masyarakat, orangutan yang masuk permukiman penduduk, hingga paus bungkuk yang bertabrakan dengan kapal, konflik satwa liar dan manusia tak menunjukkan tanda-tanda mereda. Menurut studi terbaru di jurnal Nature Climate Change yang terbit Februari lalu, konflik tersebut terpicu oleh krisis iklim. Sebaliknya, konflik satwa dengan manusia juga memicu krisis iklim.

Penelitian tersebut menganalisis 49 kasus konflik satwa liar dan manusia yang terjadi di semua benua, kecuali Antartika, dan di lima samudera. Menurut studi tersebut, konflik satwa dan manusia meningkat empat kali lipat selama 10 tahun terakhir.

Penelitian tersebut menyebutkan kenaikan suhu bumi dan curah hujan yang tak menentu menjadi penyebab umum konflik satwa dan manusia, yakni 80% dari kasus yang teliti. Sedangkan dari segi dampak, konflik manusia-satwa liar menyebabkan luka atau kematian manusia (43% dari kasus yang diteliti), luka dan kematian satwa liar (45% dari kasus yang diteliti), dan kehilangan hasil pertanian dan ternak (45% dari kasus yang diteliti).

Krisis iklim membuat perubahan terhadap habitat, ketersediaan dan distribusi sumber daya. Karena itu, manusia dan satwa liar mulai menjelajah ke tempat yang lebih aman untuk tinggal dan mencari pakan. Akibatnya, manusia dan satwa liar menjadi semakin dekat, yang pada akhirnya mendorong ke konflik manusia-satwa liar.

Seperti di Kutub Utara, perubahan iklim membuat es menipis. Wilayah jelajah beruang kutub menjadi lebih sempit dan kemungkinan mendapatkan makanan semakin kecil. Demi bertahan hidup, beruang kutub menuju ke daratan dan permukiman masyarakat. Hal tersebut mendorong konflik manusia dengan beruang kutub.

Sedangkan di Tanzania, krisis iklim membuat banjir sering melanda derah tersebut. Hal ini membuat manusia dan singa mengungsi ke tempat yang jauh dari banjir. Akibatnya, kemungkinan mereka bertemu semakin meningkat dan kasus serangan singa terhadap manusia juga naik.

Kemudian di Australia, suhu yang meningkat membuat perubahan perilaku pada beberapa satwa seperti ular bisa coklat (Pseudonaja textilis). Kondisi yang lebih panas membuat ular bisa coklat semakin agresif dan menyebabkan insiden gigitan ular ke manusia bertambah jumlahnya.

Tak hanya di darat, di laut kenaikan suhu membuat sekelompok hiu di Afrika Selatan lebih sering terlihat di daerah pesisir pantai dan mendorong peningkatan serangan hiu ke manusia.

Di Indonesia konflik satwa liar dan manusia juga kerap terjadi. Kebakaran hutan yang dipicu oleh El Niño membuat gajah Sumatera dan harimau Sumatera keluar dari habitatnya dan masuk ke permukiman masyarakat untuk mencari makanan. Pada Februari lalu, seorang petani di Kecamatan Tangse, Aceh tewas akibat diinjak kawanan gajah liar yang memasuki kebunnya.

Data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menunjukkan pada periode Januari-Oktober 2022 telah terjadi 69 konflik manusia dan gajah Sumatera. Sedangkan pada 2021, terjadi 145 kasus.

Tak hanya gajah Sumatera, BKSDA Aceh juga mencatat pada 2017-2021, konflik harimau Sumatera dan manusia terjadi 76 kali. Umumnya, harimau memangsa ternak atau masuk ke kebun masyarakat. "Kita mesti tahu hubungan antara krisis iklim dan konflik manusia-satwa liar sangat penting untuk mitigasi,” kata Brina Abrahms, ahli biologi satwa liar dari University of Washington, kepada The Guardian.

Krisis iklim tak hanya memicu konflik satwa dan manusia, konflik satwa dan manusia juga menyebabkan krisis iklim. Hutan yang hilang akibat penebangan untuk perkebunan dan permukiman membuat satwa menyingkir karena kehilangan rumah. Deforestasi dan pemakaian energi fosil adalah penyebab terbesar krisis iklim.

Ikuti perkembangan konflik satwa dengan manusia di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Translated by  

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain